MasukMentari baru saja naik setinggi batang kelapa. Cahaya keemasan menembus sela-sela dedaunan, jatuh di wajah Gadis yang tengah sibuk menyiapkan rantang bekal.
Suara langkah tergesa dari luar membuat Gadis menoleh. Mahen muncul di depan pintu. Di tangannya, ia membawa cangkul kecil dan topi anyaman bambu. “Mas, kamu mau ke ladang juga?” Gadis mengerutkan kening, menatap suaminya dengan raut khawatir. Mahen tersenyum, mengangguk mantap. “Iya, Dis. Aku nggak mau kamu kerja sendirian terus. Lagipula lukaku udah nggak terlalu sakit.” “Tapi Mas baru aja sembuh. Luka Mas masih belum kering betul.” Gadis meletakkan sendok kayu dan menghampirinya. Tatapannya lembut tapi tegas. “Kalau nanti malah kambuh, gimana?” Mahen menatap wajah Gadis yang bersinar lembut di bawah cahaya pagi. Senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku janji nggak akan maksa kerja berat. Aku cuma pengen bantu kamu. Biar aku tahu seberapa keras kamu berjuang setiap hari.” Nada suaranya begitu tulus hingga Gadis sulit menolak. Ia menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Ya sudah, tapi kalau Mas capek, langsung bilang, ya?” Mahen mengangguk mantap. “Siap, Nyonya.” Nada menggoda itu membuat Gadis mendelik, tapi tak kuasa menahan tawa kecil. Mereka berjalan beriringan menuju ladang. Jalan setapak yang mereka lalui masih basah oleh embun. Burung-burung di kejauhan berkicau riang, seolah ikut menyambut pagi baru pasangan itu. “Dulu aku nggak pernah bayangin, bakal kerja di ladang,” gumam Mahen sambil mengayunkan cangkul di pundak. “Aku cuma tahu dunia kota. Tapi di sini… semuanya terasa lebih hidup.” Gadis menatapnya sekilas, tersenyum lembut. “Kampung memang sederhana, Mas. Tapi kalau hati kita ikhlas, semua terasa cukup.” Mahen hanya tersenyum, dan dalam diam ia berpikir, perempuan sederhana di sampingnya itu justru punya keteguhan yang tak pernah ia temukan di mana pun. Setibanya di ladang, Gadis langsung menghampiri Pak Sarta, pemilik lahan yang sudah lama mempercayainya untuk bekerja. Lelaki paruh baya itu menatap Mahen dengan heran, lalu tertawa pelan. “Wah, ini pasti suamimu, Dis?” godanya. Gadis hanya menunduk malu. “Iya, Pak. Mas Mahen mau bantu kerja hari ini.” “Bagus! Biar kamu nggak sendirian lagi. Ayo, Nak Mahen, sini. Coba bantu bagian mencangkul dulu.” Mahen mengangguk mantap, tapi baru sepuluh menit bekerja, peluh sudah membanjiri wajahnya. Cangkulnya lebih banyak menyentuh batu daripada tanah, dan tiap kali mengangkat tanah, hasilnya miring tak beraturan. “Au!” seru Mahen pelan saat tanah yang ia cangkul justru memantul ke arah wajahnya, membuat pipinya penuh lumpur. Gadis yang tengah menanam bibit tak tahan untuk tertawa. “Mas, itu bukan cangkul, itu kayaknya Mas lagi bikin kuburan.” Mahen mendengus, tapi ikut tertawa. “Yah, salah teknik, kali.” Ia mencoba lagi, tapi hasilnya sama saja. Gadis mendekat, lalu memegang gagang cangkul bersamaan dengannya. “Mas harus gini, pelan tapi dalam. Jangan asal tenaga.” Gerakan mereka jadi berirama. Dari jarak sedekat itu, Mahen bisa mencium aroma sabun dari tubuh Gadis, juga melihat bulir keringat kecil yang meluncur di pelipisnya. Gadis tampak begitu serius, bibirnya sedikit mengerucut saat menjelaskan dan entah kenapa, itu membuat dada Mahen bergetar. “Sudah paham?” tanya Gadis sambil menatap ke atas, ke arah wajah Mahen. Mahen buru-buru mengalihkan pandangan. “Eh, iya. Paham.” Namun baru lima menit berlalu, tanah yang baru dicangkul malah memantul keras dan cipratan lumpur mengenai wajah Mahen. “Astaga!” Gadis terkejut, lalu tertawa keras. “Mas! Wajah Mas kayak topeng tanah liat!” Mahen ikut tertawa lepas. Ia mencoba membersihkan mukanya, tapi makin diusap malah makin belepotan. Melihat itu, Gadis mendekat, mengambil kain kecil dari keranjang dan menyeka wajah Mahen pelan. Sentuhan lembut itu membuat jantung Mahen berdetak tak karuan. Gadis begitu dekat… terlalu dekat. Namun Gadis tampak biasa saja, hanya fokus membersihkan wajahnya. “Udah, bersih. Sekarang jangan asal nyangkul lagi, Mas,” katanya dengan nada lembut yang justru membuat hati Mahen meleleh. “Siap, Bu Gadis.” Tawa mereka kembali pecah, ringan dan tulus. Beberapa pekerja lain yang melihat hanya tersenyum kecil. Matahari semakin tinggi. Panas mulai menyengat, tapi semangat mereka belum pudar. Mahen bekerja dengan tekun, mencoba mengikuti ritme Gadis. Walau sesekali salah langkah, Gadis tetap sabar membimbingnya. Waktu berjalan cepat hingga jam makan siang tiba. Gadis membuka rantang, aroma nasi dan tumis kangkung langsung tercium. “Nih, Mas. Makan dulu,” katanya sambil menyodorkan piring kaleng. Mahen menerimanya dengan senyum. “Wah, masakan kamu selalu enak, Dis.” “Mas baru nyicipin, kok udah muji,” goda Gadis sambil tersenyum malu. “Tapi aku tahu,” balas Mahen santai. “Masakan yang dibuat dari hati pasti rasanya beda.” Ucapan itu membuat pipi Gadis memanas. Ia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk mengambil air minum. Mereka makan dalam diam yang nyaman. Hanya terdengar suara desir angin yang menggerakkan daun-daun. Mahen sesekali mencuri pandang, memperhatikan cara Gadis makan dengan perlahan, sederhana, tapi anggun. Sampai akhirnya, dari kejauhan, Mahen melihat seseorang berdiri di ujung jalan setapak yang menuju ke ladang. Wira. Ia berdiri di kejauhan, di balik pohon pisang. Ia tidak menghampiri. Hanya memandangi Gadis yang tertawa kecil saat menyiapkan air minum untuk Mahen. Mahen bisa merasakan mata itu menusuk, membuat dadanya panas. Ia menoleh ke arah Gadis yang tidak sadar sedang diperhatikan. Gadis masih tersenyum, tampak begitu tenang di sampingnya. Ada rasa ingin melindungi yang tiba-tiba menyeruak dari dada Mahen, keinginan untuk menunjukkan bahwa Gadis bukan lagi gadis kecil yang bisa diremehkan siapa pun. Ia kini seorang istri, dan Mahen adalah suaminya. Tanpa pikir panjang, Mahen mendekat pelan, lalu menatap wajah Gadis yang sedang menuang air ke gelas kaleng. Gadis mendongak, hendak bertanya, “Kenapa, Mas?” Namun sebelum sempat kata itu keluar, Mahen menunduk dan menempelkan bibirnya lembut di kening Gadis. Seketika dunia berhenti. Suara angin menghilang. Waktu seperti menahan napasnya. Gadis membeku, rantang di tangannya hampir terlepas. Ciuman itu tidak lama, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak keras tak karuan. Hangat, lembut, tapi juga dalam, bukan seperti sekadar tindakan spontan. Di kejauhan, Wira yang melihatnya tertegun. Tatapannya menajam, rahangnya mengeras, lalu perlahan ia menunduk dan berbalik pergi. Langkahnya berat, namun tak satu kata pun ia ucapkan. Mahen melepaskan ciuman itu, menatap wajah Gadis yang masih menunduk, pipinya merah padam. “Mas…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Kenapa Mas lakukan itu?” Mahen menarik napas panjang. “Karena aku… nggak suka caranya menatap kamu dari jauh.” Gadis terdiam. Ia baru sadar ternyata Mahen tahu Wira memperhatikannya. “Mas, Wira itu cuma teman kecilku. Dia nggak bermaksud apa-apa.” “Tapi aku suamimu, Dis,” ucap Mahen tegas tapi lembut. “Wajar kan kalau aku nggak mau siapa pun memandang kamu seperti itu.” Kata-kata itu membuat dada Gadis terasa sesak. Ia ingin marah, tapi di sisi lain, hatinya justru berdebar hebat mendengar nada protektif itu. Belum pernah ada yang berbicara dengan nada sehangat dan sejujur itu padanya. “Mas nggak perlu cemburu,” ujarnya, mencoba menenangkan suasana. Mahen tersenyum samar. “Mungkin aku belum pantas cemburu. Tapi aku nggak bisa bohong kalau aku pengin kamu cuma lihat aku.” Kalimat itu membuat Gadis tak sanggup berkata apa-apa. Ia menunduk, memeluk lututnya, berusaha menenangkan diri. Mereka berdua terdiam cukup lama. Hanya angin yang menari di antara helai rambut Gadis.Mobil Mahen melaju menembus malam. Lampu-lampu jalan menerangi jalanan yang sepi. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Rahang Mahen mengeras, tangannya mencengkeram setir dengan kuat. Ia membenci ini. Membenci harus meninggalkan Gadis... istrinya yang cantik, yang sudah menunggunya di ranjang mereka. Membenci harus keluar tengah malam hanya karena panggilan dari wanita itu. Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di area parkir Rumah Sakit Permata Husada. Bangunan lima lantai itu masih terang benderang meski sudah larut malam. Mahen turun dari mobil dengan wajah dingin, memasukkan tangan ke saku jaket kulitnya. Ia berjalan dengan langkah cepat memasuki lobby, menuju lift, dan menekan tombol lantai tiga. Ruang rawat inap. Kamar 307. Pintu kamar itu terbuka. Mahen masuk tanpa mengetuk... ia sudah terlalu kesal untuk bersikap sopan. Di ranjang rumah sakit, seorang wanita duduk dengan kaki kiri yang dibalut perban. Mia. Ibu dari Karina. "Mahen!" Wajah Mia langsu
Kamar tidur utama di lantai dua rumah itu hanya diterangi oleh lampu tidur yang redup. Cahayanya yang lembut menciptakan suasana intim, hangat. Aroma lavender dari diffuser menyebar pelan, menenangkan. Gadis berbaring di ranjang king size dengan rambut barunya yang tergerai di atas bantal sutra. Dress peach sudah diganti dengan lingerie tidur berwarna putih gading yang sederhana namun anggun. Jantungnya berdebar... gugup sekaligus penuh antisipasi. Mahen keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melingkar di lehernya. Rambut hitamnya yang basah menetes air. Ia hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana panjang tidur. Otot-otot lengan dan dadanya yang terlatih terlihat jelas di bawah cahaya redup. Mata mereka bertemu. Mahen tersenyum... senyum lembut yang hanya ia tunjukkan pada Gadis. "Belum tidur?" tanyanya sambil mendekati ranjang. "Nungguin Mas." Gadis tersenyum malu. Mahen melempar handuknya ke sofa di sudut ruangan, lalu berbaring di samping istrinya. Tangannya meraih
Mobil Karina berhenti tepat di depan gerbang rumah mewah tempat Gadis tinggal. Gadis turun sambil membawa shopping bag. "Makasih ya, Rin. Udah nganterin." "Sama-sama! Besok aku jemput ya?" teriak Karina sebelum mobilnya melaju pergi. Gadis menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar. Ia masih belum terbiasa dengan penampilannya yang baru. Rambutnya yang kini berkilau terasa ringan di pundak, dress peach yang ia kenakan terasa asing namun nyaman. Gerbang otomatis terbuka setelah satpam mengenalinya. Gadis melangkah masuk ke halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Pohon-pohon bonsai dan bunga-bunga hias yang dirawat dengan sempurna oleh tukang kebun membuat suasana rumah selalu asri. Pintu utama terbuka. Bi Surti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak lama, menyambutnya. "Selamat data..." Bi Surti terhenti. Matanya membulat. "Astaga! Nona Gadis?" "Iya, Bi. Kenapa?" Gadis tersenyum canggung. "Beda banget, Non! Cantik sekali!" Bi Surti bertepu
"Dis, ikut aku yuk!"Gadis baru saja menutup buku ketika Karina muncul dengan wajah berseri-seri. Jam menunjukkan pukul tiga sore, waktu pulang sekolah yang biasanya mereka habiskan dengan langsung pulang ke rumah masing-masing."Kemana?" tanya Gadis sambil merapikan buku-buku di dalam tasnya."Mall. Ada yang mau aku kasih ke kamu," jawab Karina dengan senyum misterius. "Anggap aja hadiah dari sahabat terbaikmu ini."Gadis ragu sejenak. Ia harus pulang, menyiapkan makan malam untuk Mahen. Suaminya pasti sudah lelah setelah seharian bekerja. Tapi tatapan Karina yang berbinar itu sulit untuk ditolak."Cuma bentar kok. Please?" Karina memasang wajah memelas yang berhasil membuat Gadis luluh."Oke, tapi nggak lama ya.""Siap, Bos!"Mereka naik mobil Karina menuju Mall yang jaraknya sekitar dua puluh menit dari sekolah. Sepanjang perjalanan, Karina terus berbicara tentang rencana rahasianya, sementara Gadis hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum.Mall sudah ramai ketika mereka tiba.
Bel istirahat berbunyi nyaring, memecah keheningan kelas yang tengah dilanda rasa kantuk pasca-pelajaran Matematika. Gadis meregangkan tubuhnya yang pegal, lalu menoleh ke arah Karina yang sudah berdiri sambil menenteng dompet. "Gas, perutku udah keroncongan dari tadi," ujar Karina sambil menggandeng lengan Gadis. Mereka berjalan beriringan menuju kantin, seperti biasa. Kemana pun pergi, mereka selalu berdua. Persahabatan mereka terjalin, dan tak pernah ada yang bisa memisahkan keduanya. Kantin sekolah sudah ramai ketika mereka tiba. Aroma mie goreng dan gorengan bercampur jadi satu, membuat perut Gadis ikut berbunyi. Mereka mengantri di depan warung Bu Siti yang terkenal dengan baksonya yang legendaris. "Dua bakso sama es teh manis, Bu," pesan Karina. Gadis mengeluarkan uang dari sakunya, tapi Karina menepis tangannya. "Udah, aku traktir. Kemarin kan kamu yang bayarin." Senyum hangat terukir di wajah Gadis. Ia memang beruntung punya sahabat seperti Karina. Setelah mendapat pes
Kamar Gadis dipenuhi cahaya lembut dari matahari yang mulai condong ke barat. Tirai putih bergoyang pelan diterpa angin dari jendela yang terbuka setengah. Di meja belajar mungilnya, Gadis sedang sibuk menulis di buku tugasnya, keningnya berkerut lucu karena sedang berpikir keras.Pensil di tangannya sudah tumpul. Ia mengetuk ujungnya ke meja berulang kali sambil menggumam kecil.“Aduh... rumusnya susah banget. Kok bisa sih jawabannya malah minus?”Ia mendesah panjang. Beberapa helai rambut jatuh menutupi wajahnya. Gadis mengibaskannya dengan jari, lalu menatap kertas tugas matematika di depannya dengan ekspresi sebal.Meski sudah seharian di sekolah, Gadis masih bersemangat. Semangatnya itu muncul karena ia benar-benar ingin belajar dan membuktikan pada Mahen bahwa dirinya bisa.Namun tetap saja, pelajaran SMA jauh berbeda dengan pelajaran yang dulu sempat ia pelajari di desa.Saat ia sedang serius menulis, terdengar suara langkah kaki di lorong luar kamar. Pelan, tapi berat dan mant







