Pagi ini mereka kembali ke negaranya, setelah tadi malam Naka tidak melihatnya, kini ia melihat wajah Lika yang nampak pucat. Semalam Lika tidak keluar kamar untuk makan malam, Naka membiarkan saja.
Keduanya memilih untuk mempertahankan sikap diam. Mereka meninggalkan hotel menuju bandara untuk pulang ke Indonesia. Meskipun berada dalam satu pesawat, namun suasana di antara mereka begitu dingin, dan Naka memutuskan untuk merenung dalam diam.
Lika, yang berada di sampingnya di kursi pesawat, mencoba memejamkan matanya karena kepanya sakit sejak semalam. Sejak diusir Naka dengan kasar, ia memilih untuk merenung hingga akhirnya menangis semalam, seperti lagu saja ia. Duduk di dekat jendela menatap keindahan malam di negeri Kangguru itu, baru pertama keluar negeri malah pengalaman tidak enak menimpanya. Ah sial sekali dirinya ini.
Sedangkan Naka tampak fokus pada majalah di tangannya, sementara pikirannya sepertinya melayang jauh. Rasa bersalah menimbun dalam hati, bersalah pada istrinya, Ivanka istrinya, juga gadis yang ia tiduri kemarin malam. Naka bukan pria bajingan, ia bahkan pria yang mudah tersentuh hatinya. Tapi memang tidak terlihat karena itu terlalu berisiko sebagai pengusaha.
Mengarungi awan-awan di langit, pesawat semakin mendekat ke Indonesia. Tiba-tiba, pesawat mengalami goncangan kecil. Naka menoleh ke arah Lika, matanya mencari-cari kepastian di mana asistennya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya singkat. Lika merespon dengan anggukan ringan, tetapi keheningan tetap terjaga di antara mereka. Badannya sakit ia malas berdebat saja dengan bosnya. Naka memilih untuk menghormati anggukan Lika, dan tidak memaksakan pembicaraan lebih lanjut.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Naka dan Lika meninggalkan pesawat dengan diam. Mereka berjalan bersama-sama mengambil koper mereka tanpa satu kata pun yang terucap. Taksi telah menunggu di luar bandara, dan mereka berdua duduk di kursi belakang dengan jarak yang terasa semakin besar.
Di luar bandara, taksi telah menunggu untuk membawa mereka pulang. Naka dan Lika duduk di kursi belakang dengan jarak yang terasa semakin jauh. Jalanan Jakarta yang ramai dan pemandangan malam yang indah tidak bisa meredakan keheningan di dalam taksi. Naka akan mengantar Lika pulang dulu, baru kemudian ia pulang.
Seharusnya Naka kembali dengan semangat baru dan tekad untuk menghadapi tantangan di masa depan. Cerita sukses ini bukan hanya tentang kesepakatan bisnis, tetapi juga tentang kolaborasi yang kuat antara seorang pemimpin dan tim yang penuh dedikasi.
Sayangnya Naka mencorengnya dengan insiden buruk yang menyebabkan asistennya, harus menanggung aib seumur hidupnya nanti.
*
*
Tiba dimansionnya, ia bertanya pada pelayan apa istrinya sudah minum obat. Itu terus yang Naka tanyakan jika pulang bekerja, mau bertanya apa karena istrinya hanya bisa berbaring di ranjang. Mansion ini tidak pernah dipenuhi suara gelak tawa dan kebahagiaan pernikahan mereka.
Dua tahun mereka menikah karena perjodohan, tidak ada cinta dihati Naka, namun ada cinta yang mendalam di hati Ivanka, istrinya.
Pernikahan mereka terguncang ketika istrinya didiagnosis menderita penyakit kanker darah, tahun lalu. Kabar ini menghantam pernikahan mereka seperti badai tak terduga yang merusak ketenangan hidup keluarga besar.
Mansion yang hampa semakin terasa hampa.
Naka, seorang pria yang biasanya tegar, terguncang oleh kabar tersebut. Meskipun mencoba menyembunyikan kecemasannya, kehidupan sehari-hari keluarga Naka berubah drastis.
Ivanka memulai perjalanan panjangnya melawan penyakit ini dengan keberanian dan tekad, sementara Naka terlihat kehilangan arah.
Ada satu sisi dirinya yang masih ia sembunyikan, tentang ia yang ingin menggugat cerai di tahun kedua pernikahan. Namun kabar penyakit Ivanka tentu menjadi momok besar baginya, jika berbuat hal itu. Ia akan dicap sebagai suami tidak tahu diri yang meninggalkan istrinya ketika dalam keadaan yang terpuruk.
Naka tidak mau itu, nama besar perusahaan dan keluarganya tidak akan ia gadaikan. Begitu pun dengan keluarga Ivanka yang merupakan teman baik keluarganya.
Bukankah beban Naka sekarang jadi bertambah besar, istri yang sakit, dan gadis tidak berdosa ia renggut kesuciannya. Entah apa yang harus ia lakukan besok.
Pertama-tama, Naka mencoba untuk menjadi pendukung yang kuat bagi Ivanka. Namun, seiring berjalannya waktu, beban emosional yang dialami Naka membuatnya mencari pelarian dari kenyataan yang sulit itu.
Alih-alih menanggapi dengan bijak, Naka menyalahgunakan pekerjaannya sebagai pelarian. Ia mulai terlalu fokus pada pekerjaan, mengabaikan kebutuhan dan perasaan Ivanka yang seharusnya menjadi prioritas utamanya.
“Hai, sudah pulang?” sapa Ivanka duduk diatas ranjangnya. Naka yang baru masuk kamar, langsung menghampiri istrinya, tersenyum dan mengusap lembut wajah itu.
“Hmmm, sudah makan, minum obat?” tanya Naka beruntuk. Ivanka berdecak, selalu saja itu yang ditanyakan suaminya setahun belakangan ini.
"Babe, bosan ah pertanyaannya" ucapnya dengan suara yang rapuh. Naka tertawa pelan, “Karena obat itu harus kamu minum. Ayo cepat jawab, atau aku berikan hukuman.” candanya.
“Apa hukumannya?”
“Hmmm, memijat punggungku mungkin.”
“Ck, hukumannya ringan sekali.” balas Ivanka.
Naka tertawa, ia menunjukkan sisi lainnya didepan Ivanka, dan itu baru terjadi satu tahun belakangan ini.
Naka memberikan tatapan tajam, “Sudah bos, sudah makan, minum obat. Done!”
“Good.” seru Naka, mengusak rambut Ivanka.
“Istirahatlah, aku mandi dulu.” ujarnya, bangkit berdiri dari duduknya. Ivanka menahannya, “Tidur disini, aku merindukanmu.” lirihnya.
Naka melihat tatapan penuh permohonan dari mata indah yang kini sudah tidak bercahaya lagi itu. Naka tahu, Ivanka membutuhkan dukungan dan cinta dari suaminya, bukan penolakan.
“Oke, tapi aku mandi dulu. Hmmm, bisa teleponkan pelayan aku mau makan, lapar.” sahutnya berjalan menuju kamar mandi. Mau menolak rasanya, tapi dia juga tidak sanggup. Dokter pernah mengatakan padanya untuk membahagiakan Ivanka, namun dia harus bagaimana ketika semakin dijalani rasa cinta itu tidak juga kunjung datang. Malah kini dia melakukan kesalahan bodoh, ah bodoh.. Rasanya tidak, karena jujur Bayanaka Rasyid Gasendra selalu memikirkan gadis itu, bayangan malam panas mereka terlalu terekam di otaknya. Membuat Naka ingin mengulangnya lagi.. Ah, berpikir apa dia ini.
“Oke.” jawab sang istri riang.
Mereka tidur terpisah semenjak menikah, perjodohan membuat mereka berdua canggung. Keadaan sudah membaik Ketika mereka bercinta untuk pertama kalinya, beberapa malam Naka memutuskan tidur dikamarnya.
Namun keadaan kembali seperti semula, Ketika ia divonis penyakit mematikan itu. Sering Naka menemani Ivanka dikamarnya, membaringkan tubuhnya dan pindah ketika Ivanka terlelap. Ivanka tahu itu, dia mendiamkan, selama Naka bersikap baik padanya.
*
*
Sementara itu Anulika Chandara, gadis yang belum genap berusia 2 tahun itu duduk di sudut kamar apartemen kecilnya, pandangan mata kosong menatap langit-langit putih. Di luar jendela, lampu-lampu gemerlapan di ibu kota seolah menyanyikan lagu kehidupan yang penuh dengan dinamika.
Namun, hati Lika terasa semakin gelap, terikat oleh penyesalan yang memenuhi setiap sudut pikirannya.
Tepat dua bulan lalu, Lika dengan penuh semangat menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Ia yang mnerupakan fresh gradute langsung diterima bekerja di Gasendra Corp, sebuah perusahaan mentereng di negaranya. Mimpi untuk meraih kesuksesan dan kehidupan yang lebih baik menghantarkannya untuk mengambil pengalaman itu.
Namun, di dalam kamar kecil itu, keputusasaan mulai merayap saat Lika menyadari bahwa pekerjaannya telah merenggut kepolosan dan kejujuran yang pernah dimilikinya.
‘Duh bego banget sih. Kenapa mau-mauan gue dikasih minuman sialan itu,’ batin Lika.
Matanya terus menatap pada pemandangan malam di apartemennya, “Gimana kalau istrinya pak Naka tahu, atau gue dipecat. Nggak nggak jangan, jangan dipecat. Masa nganggur sih, apa kata teman-teman gue kalau baru dua bulan kerja udah dipecat.” gumam Lika gusar.
Seperti mengingat sesuatu, Lika tersentak. ‘Hamil’, ya bagaimana kalau dia hamil dan tidak memiliki suami. Apa kata keluarganya di Bandung, niat merantau untuk kaya malah bunting.
Anulika Chandrana bukan gadis kemarin sore, dia tahu konsekuensi jika berhubungan intim. Wajar kini pikirannya dipenuhi oleh ketakutan-ketakuan. Ditambah lagi dia masih punya keluarga yang harus dijaga nama baiknya. Menyesal, pasti. Berkali-kali Lika merutuki kebodohannya itu.
“Ngak bisa, gue cuma bikin malu saja kalau sampai hamil. Pak Naka harus tanggung jawab, dia harus nikahin gue!” jerit Lika menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Enak saja cuma ngambil madu gue, tapi nggak mau tanggung jawab!” tegasnya berbicara sendiri. **
Galen berdiri terpaku di depan ranjang rumah sakit, matanya membelalak melihat Iren yang terbaring lemah dengan wajah pucat dan mata sembab. Istrinya sudah dapat ia temukan, betapa senang hati Galen melihat Iren.Dengan jantung berdetak kencang Galen masuk semakin dalam, Iren sedang memejamkan matanya. Vera yang melihat pria asing yang ia Yakini itu suami Iren lalu mempersilakan masuk.“Aku tunggu diluar,” kata Vera pelan. Galen mengangguk, seraya mengucapkan terima kasihnya.Diluar sendiri Vera bertemu dengan Naka dan Lika, orang tua Galen.Di dalam, Galen mendekat ke ranjang sang istri. "Sayang," suaranya bergetar, penuh campur aduk antara cemas dan penyesalan.Iren yang sudah bangun merasa mendengar suara suaminya. Dia pun menoleh, matanya yang basah menatap tajam, terkejut sekaligus bingung saat melihat suaminya di sana."Ngapain kamu kesini?" suara Iren lirih, namun penuh penolakan yang keras. Tubuhnya mencoba menarik diri, tapi Galen melangkah lebih dekat, menundukkan kepala seo
Iren duduk di sudut kamar yang remang, tubuhnya menggigil meski udara tak terlalu dingin. Perutnya mulai terasa bergejolak, namun wajahnya pucat pasi, dahi berkerut karena mual yang tak kunjung reda.Setiap kali berdiri, kepala berputar begitu hebat hingga ia harus cepat-cepat duduk lagi. Nafasnya tersengal-sengal, dan tangan yang gemetar tak mampu meraih segelas air di meja. Vera menatapnya dengan penuh kekhawatiran.“Ke dokter ya, Iren. Jangan dibiarkan terus-terusan seperti ini,” ucap Vera lembut, namun tegas.Iren menggeleng pelan, mata berkaca-kaca. “Nggak usah, Ver.”“Kamu kan lagi hamil,” ujar Vera khawatir.“Iya katanya orang hamil memang begini. Mual dan pusing.”“Tapi mereka konsul ke dokter kandungan. Kamu kan nggak Ren.” Vera makin khawatir karena wajah Iren yang pucat.“Ren, aku khawatir banget nih,” kata Vera yang tidak bisa menutupi kekhawatirannya. “Kita telepon suami kamu ya, Ren-““Ver, please,” desis Iren memohon untuk jangan membahasnya lagi.Vera berdecak, dia jug
Iren mengusap pelipisnya yang mulai berdenyut, perutnya mulai terasa tidak enak. Belum lagi mual dan ia coba tahan karena sedang bekerja. Sumpah demi apapun yang Iren ingin lakukan adalah merebahkan diri, bersantai saja dirumah.Kehamilannya membuat langkah Iren semakin berat di antara meja-meja yang penuh pelanggan. Aroma bumbu dan asap gorengan menusuk hidungnya, membuat rasa mual semakin menghantui. Vera yang melihat wajah Iren yang pucat langsung merangkul bahunya, "Istirahat sana, aku yang gantikan kamu dulu." Suara Vera penuh perhatian, tapi Iren hanya bisa mengangguk lemah sambil melangkah ke sudut restoran. Karena tidak tahan ia menurut saja, lagipula Iren takut mengacaukan pekerjaan yang lain.Namun, di sana Iren tak menemukan ketenangan. Ayu, rekan kerja yang lebih senior berdiri tak jauh, melontarkan suara pedas tanpa ampun, "Enak banget, anak baru kerja kok istirahat terus! Makan gaji buta, ya?" Tatapannya tajam, seolah ingin menekan Iren lebih dalam.Iren menunduk, mencob
Galen berjalan gontai menuju apartemennya, dia membawa banyak cemilan, termasuk cokelat, es krim, bahkan sampai bunga. Galen berharap Iren bisa memaafkannya. Mungkin tak akan mudah, tetapi setidaknya ini bisa mengurangi kemarahan Iren padanya.Saat pintu apartemen dibuka, semua tampak normal saja. Apartemennya memang selalu rapi, walaupun sibuk dengan urusan kampus, tetapi Iren cukup pandai membersihkan rumah. "Baby!" panggil Galen."Iren Sayang!" panggil Galen lagi saat tak mendapatkan jawaban dari istrinya.Perasaan Galen mulai merasa aneh, saat apartemennya ternyata hening tanpa aktivitas Iren seperti biasanya. Setidaknya selalu terdengar musik atau suara film yang diputar Iren, tetapi kali ini apartemen itu benar-benar sepi.Galen langsung berlari ke kamar dan benar saja Iren tidak ada di sana. Galen mencari Iren ke balkon, ke taman belakang, dan ke semua penjuru apartemen, tetapi sialnya dia tak menemukan istrinya di sana."Astaga, Iren kamu di mana?" tanya Galen dengan panik.Ga
Rasanya begitu sesak saat mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan rapat, Lika melirik Naka, menunjukkan bagaimana kekecewaannya pada kedua anak mereka yang ternyata selama ini membohonginya.Lika mengusap wajahnya, dia berjalan mondar-mandir dengan pikiran yang kacau. "Maksud kamu apa Galen, Belinda, kalian sengaja membohongi Mami sama Papi?" ujar Lika."Bukan gitu Mami, a-aku hanya ingin melindungi Belinda. Aku tahu dia salah, tapi—""Tapi apa? Kamu pikir dengan menjadikan kamu sebagai pelaku semua masalah menjadi selesai? Kamu bahkan harus menikahi Iren yang bahkan seharusnya bukan tanggungjawab kamu!" tegas Lika yang mulai marah dengan kenyataan ini.Galen tengah bicara dengan Belinda dan tidak sengaja Lika mendengar itu. Naka juga kebetulan berjalan di belakang istrinya, membuatnya juga tahu kebenaran yang sebenarnya.Mau tak mau Galen pun membuka semuanya, bukan untuk meminta pembelaan tapi dukungan dari keluarganya.Naka hanya menutup mata saat Lika marah besar pada a
Lika semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran Galen. Bisa-bisanya Galen menikah tanpa izin dan restu tarinya. Galen seperti tidak menganggap keberadaan Lika dan Naka sebagai orangtuanya."Kamu bukan anak yang kayak gini, Galen. Kenapa kamu menikah tanpa bilang sama Mami sama Papi? Dia siapa? Mami harus tahu dong dia dari mana, gimana keluarganya dan ...." Lika tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, dia hanya melirik Iren, kemudian menangis karena merasa kecewa.“Mami tolong maafkan aku. Aku bisa menjelaskan semuanya,” ucap Galen, Mami Lika menggeleng sudah terlalu sakit hatinya.“Jelaskan pada papi sekarang juga, Galen!” bentak Naka marah. Namun tetap saja, Lika mengelus tangan suaminya. Untuk tidak emosi dulu, bagaimana pun ada orang baru bersama mereka saat ini.Galen mendekati Lika, dia bertekuk lutut di hadapan Lika. "Mami, Galen tahu ini salah tapi keadaannya memang rumit pada saat itu. Aku menabrak ayahnya Iren, aku bertanggungjawab dan membawanya ke rumah sakit, tapi ternya