"Penghasilan nggak seberapa, gaya sok sosialita. Semua orang juga tahu kali aslinya kayak gimana. Ndeso! Orang kaya benaran yang liburannya ke luar negeri mah santuy aja. Lah ini, baru selangkah aja keluar dari kandang udah belagu. Katak baru keluar dari tempurung. Malu-maluin banget! Norak!"
Kalimat panjang itu adalah isi dari sebuah foto tangkapan layar yang dikirim oleh Mia, sepupuku dari pihak bapak. Setelah itu menyusul beberapa foto tangkapan layar yang memuat komentar-komentar atas postingan tersebut.
Kali ini aku benar-benar geram. Kalau biasanya hanya sindiran-sindiran tak bertuan, tetapi tidak untuk kali ini. Di kolom komentar jelas-jelas namaku tertera di sana. Mereka kembali mengusik masa lalu dan membawa-bawa orang tua.
"Tampangnya sih dibuat-buat sealim mungkin tapi kenyataannya .... tau ndirilah. Nikah kayak dikejar setan, balap banget."
"Gimana nggak balap, udah kegatelan. Takut nggak laku. Ya, dipepet terus."
"Tampang alim, kelakuan Mak Lampir. Orang tuanya salah didik anak mungkin."
"Bukan salah didik tapi nggak bisa mendidik. Ditambah lagi anaknya yang nggak tahu diri."
Komentar-komentar itu ditulis oleh kakak kandung Nadia dan ada yang menimpali dengan langsung menuliskan namaku.
"Ngapain juga dikasih nama Tiara. Nggak cocok."
"Nama dan kelakuan bak bumi dan langit."
Nadia membalasnya disertai beberapa emocation tertawa miring.
Kubaca sekilas komentar-komentar lain yang terdapat pada foto tangkapan layar itu. Isinya senada, mereka benar-benar berpesta di sana.
Dadaku naik turun dengan cepat karena menahan emosi yang sudah naik hingga ubun-ubun. Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan merasa sedikit rileks aku pun menghubungi Hendi.
"Pa, lagi di mana? Ke rumah dulu, ya! Sekarang."
Setelah Hendi mengiyakan, langsung kuputus sambungan telepon.
"Tiara kenapa?" Bu Aima sepertinya memperhatikan aku sejak tadi.
"Nggak kenapa-kenapa Bunda. Takutnya Syira rewel," jawabku pada wanita yang tengah duduk di belakang kemudi itu.
"Oh, kirain Bunda ada hal serius. Eh, iya, Bunda nggak jadi mampir, ya. Mau ada arisan lagi. Tadi Bunda lupa," ujar Wanita yang sudah berusia setengah abad itu.
"Lain kali benaran mampir, ya, Bun," ucapku sebagai basa-basi. Padahal di dalam hati, aku bersyukur dia membatalkan niatnya karena aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Hendi.
Setelah aku turun dan mengucapkan terima kasih, Bu Aima langsung tancap gas lagi. Baru saja aku memasuki halaman Hendi pun datang.
Kalau tidak ingat malu dilihat tetangga, rasanya ingin segera aku meluapkan emosi pada Hendi. Namun, kutahan-tahan dulu sampai memasuki rumah.
"Tolong bilangin sama istri muda kamu itu, berhenti mengusik hidup aku! Aku nggak pernah ganggu dia. Aku diam selama ini walaupun dia selalu saja nyindir-nyindir aku." Begitu kami berada di dalam rumah, aku langsung berbicara lantang pada Hendi.
"Apaan sih? Datang-datang ribut begini?" balas Hendi jengkel. Dia pun duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu.
"Lihat postingan istri kamu! Apa sih maunya dia? Selama ini apapun sindiran dia, aku abaikan. Tapi kali ini sudah sangat keterlaluan. Untuk apa ngungkit-ngungkit masa lalu kita. Apalagi bawa-bawa orang tuaku!"
Hendi pun mengeluarkan ponselnya. Sepertinya dia mulai membuka sosial medianya dan mencari postingan Nadia. Pada postingannya itu, Nadia tidak lagi menandai Hendi.
"Jangan karena aku diam, dia jadi seenaknya ya. Aku bukannya takut berhadapan dengan dia, tapi malas ribut. Aku punya rasa Malu! Aku punya anak-anak, aku nggak mau memberikan contoh yang buruk buat anak-anak," ucapku dengan tatapan tajam tertuju pada Hendi.
Sementara Hendi masih memfokuskan tatapannya pada layar ponsel yang masih menyala.
"Walaupun dia nggak pintar-pintar amat, paling tidak dia tahu, kan kalau apa yang dia posting itu, bisa dibaca oleh orang sejagat raya? Bagaimana perasaan anak-anak kalau mereka sampai tahu hal ini dari orang lain, dari teman-temannya? Apa anak-anak nggak bakal malu aib orang tuanya dikupas tuntas di ranah publik?"
"Aku tidak mau anak-anak merasakan dampak psikologis gara-gara hal ini. Apa sih untungnya melakukan hal-hal bodoh seperti ini?"
Aku masih juga belum bisa meredakan gejolak emosiku. Apa yang terbesit di hatiku, kutumpahkan semua. Memang, kalau sudah urusan anak dan orang tua, tidak ada lagi toleransi.
Sama sekali tidak ada bantahan dari Hendi. Aku pun semakin leluasa untuk meluapkan emosi sudah terlanjur memuncak.
"Kasih tahu dia, kalau dia masih nyinggung-nyinggung aku, aku pun bisa melakukan hal yang lebih dari dia. Apa dia pikir dia nggak punya aib untuk disebar luaskan? Kalau dia bisa menandai sepuluh orang, aku akan menandai seratus orang. Kalau perlu aku pajang sekalian sama foto dia!"
Nyari istri yang benar dikit kenapa, sih? Harusnya istri kedua itu lebih baik, lebih pintar, lebih sholihah. Ini bisanya cuma playing victim. Selalu merasa terzolimi, padahal dia yang nggak punya hati. Make up doang yang ditebelin, otak dibiarin karatan."
Entah kenapa sumpah serapahku begitu lancar kali ini. Semenjak berumah tangga, baru kali ini aku berani bicara dengan nada tinggi pada suami.
Seperti ada kekuatan yang menghadirkan keberanian tak terbendung, bahkan setelah menumpahkan emosi lewat kata-kata tajam aku pun menutup pintu dengan keras lalu pergi ke rumah ibu untuk menjemput anak-anak.
Kutinggalkan Hendi di rumah begitu saja. Entah apa yang sedang ada di dalam pikirannya saat ini.
****
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak