Share

Part 6

"Penghasilan nggak seberapa, gaya sok sosialita. Semua orang juga tahu kali aslinya kayak gimana. Ndeso! Orang kaya benaran yang liburannya ke luar negeri mah santuy aja. Lah ini, baru selangkah aja keluar dari kandang udah belagu. Katak baru keluar dari tempurung. Malu-maluin banget! Norak!"

Kalimat panjang itu adalah isi dari sebuah foto tangkapan layar yang dikirim oleh Mia, sepupuku dari pihak bapak. Setelah itu menyusul beberapa foto tangkapan layar yang memuat komentar-komentar atas postingan tersebut.

Kali ini aku benar-benar geram. Kalau biasanya hanya sindiran-sindiran tak bertuan, tetapi tidak untuk kali ini. Di kolom komentar jelas-jelas namaku tertera di sana. Mereka kembali mengusik masa lalu dan membawa-bawa orang tua.

"Tampangnya sih dibuat-buat sealim mungkin tapi kenyataannya .... tau ndirilah. Nikah kayak dikejar setan, balap banget."

"Gimana nggak balap, udah kegatelan. Takut nggak laku. Ya, dipepet terus."

"Tampang alim, kelakuan Mak Lampir. Orang tuanya salah didik anak mungkin."

"Bukan salah didik tapi nggak bisa mendidik. Ditambah lagi anaknya yang nggak tahu diri."

Komentar-komentar itu ditulis oleh kakak kandung Nadia dan ada yang menimpali dengan langsung menuliskan namaku.

"Ngapain juga dikasih nama Tiara. Nggak cocok."

"Nama dan kelakuan bak bumi dan langit." 

Nadia membalasnya disertai beberapa emocation tertawa miring.

Kubaca sekilas komentar-komentar lain yang terdapat pada foto tangkapan layar itu. Isinya senada, mereka benar-benar berpesta di sana.

Dadaku naik turun dengan cepat karena menahan emosi yang sudah naik hingga ubun-ubun. Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan merasa sedikit rileks aku pun menghubungi Hendi.

"Pa, lagi di mana? Ke rumah dulu, ya! Sekarang."

Setelah Hendi mengiyakan, langsung kuputus sambungan telepon. 

"Tiara kenapa?" Bu Aima sepertinya memperhatikan aku sejak tadi.

"Nggak kenapa-kenapa Bunda. Takutnya Syira rewel," jawabku pada wanita yang tengah duduk di belakang kemudi itu.

"Oh, kirain Bunda ada hal serius. Eh, iya, Bunda nggak jadi mampir, ya. Mau ada arisan lagi. Tadi Bunda lupa," ujar Wanita yang sudah berusia setengah abad itu.

"Lain kali benaran mampir, ya, Bun," ucapku sebagai basa-basi. Padahal di dalam hati, aku bersyukur dia membatalkan niatnya karena aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Hendi.

Setelah aku turun dan mengucapkan terima kasih, Bu Aima langsung tancap gas lagi. Baru saja aku memasuki halaman Hendi pun datang.

Kalau tidak ingat malu dilihat tetangga, rasanya ingin segera aku meluapkan emosi pada Hendi. Namun, kutahan-tahan dulu sampai memasuki rumah.

"Tolong bilangin sama istri muda kamu itu, berhenti mengusik hidup aku! Aku nggak pernah ganggu dia. Aku diam selama ini walaupun dia selalu saja nyindir-nyindir aku." Begitu kami berada di dalam rumah, aku langsung berbicara lantang pada Hendi.

"Apaan sih? Datang-datang ribut begini?" balas Hendi jengkel. Dia pun duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu.

"Lihat postingan istri kamu! Apa sih maunya dia? Selama ini apapun sindiran dia, aku abaikan. Tapi kali ini sudah sangat keterlaluan. Untuk apa ngungkit-ngungkit masa lalu kita. Apalagi bawa-bawa orang tuaku!"

Hendi pun mengeluarkan ponselnya. Sepertinya dia mulai membuka sosial medianya dan mencari postingan Nadia. Pada postingannya itu, Nadia tidak lagi menandai Hendi.

"Jangan karena aku diam, dia jadi seenaknya ya. Aku bukannya takut berhadapan dengan dia, tapi malas ribut. Aku punya rasa Malu! Aku punya anak-anak, aku nggak mau memberikan contoh yang buruk buat anak-anak," ucapku dengan tatapan tajam tertuju pada Hendi.

Sementara Hendi masih memfokuskan tatapannya pada layar ponsel yang masih menyala.

"Walaupun dia nggak pintar-pintar amat, paling tidak dia tahu, kan kalau apa yang dia posting itu, bisa dibaca oleh orang sejagat raya? Bagaimana perasaan anak-anak kalau mereka sampai tahu hal ini dari orang lain, dari teman-temannya? Apa anak-anak nggak bakal malu aib orang tuanya dikupas tuntas di ranah publik?"

"Aku tidak mau anak-anak merasakan dampak psikologis gara-gara hal ini. Apa sih untungnya melakukan hal-hal bodoh seperti ini?"

Aku masih juga belum bisa meredakan gejolak emosiku. Apa yang terbesit di hatiku, kutumpahkan semua. Memang, kalau sudah urusan anak dan orang tua, tidak ada lagi toleransi.

Sama sekali tidak ada bantahan dari Hendi. Aku pun semakin leluasa untuk meluapkan emosi sudah terlanjur memuncak.

"Kasih tahu dia, kalau dia masih nyinggung-nyinggung aku, aku pun bisa melakukan hal yang lebih dari dia. Apa dia pikir dia nggak punya aib untuk disebar luaskan? Kalau dia bisa menandai sepuluh orang, aku akan menandai seratus orang. Kalau perlu aku pajang sekalian sama foto dia!"

Nyari istri yang benar dikit kenapa, sih? Harusnya istri kedua itu lebih baik, lebih pintar, lebih sholihah. Ini bisanya cuma playing victim. Selalu merasa terzolimi, padahal dia yang nggak punya hati. Make up doang yang ditebelin, otak dibiarin karatan."

Entah kenapa sumpah serapahku begitu lancar kali ini. Semenjak berumah tangga, baru kali ini aku berani bicara dengan nada tinggi pada suami. 

Seperti ada kekuatan yang menghadirkan keberanian tak terbendung, bahkan setelah menumpahkan emosi lewat kata-kata tajam aku pun menutup pintu dengan keras lalu pergi ke rumah ibu untuk menjemput anak-anak.

Kutinggalkan Hendi di rumah begitu saja. Entah apa yang sedang ada di dalam pikirannya saat ini.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status