Share

Insiden Di Lantai Atas

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini Nazwa? Apakah kamu bisa mengerjakannya dengan baik?" tanya lelaki itu pelan dan lembut sambil memperhatikan raut wajah Nazwa yang kebingungan.

"Erland?" lirih Nazwa tidak percaya jika yang didepannya adalah Erland Sanjaya yang sudah ia kenal sebelumnya.

Semua karyawan di bagian marketing ikut melongo menyaksikan sang CEO menyambut karyawan baru dengan sangat spesial. Selama ini Pak Erland tidak pernah peduli dan perhatian seperti itu.

"Ya Tuhan. Padahal baru tadi siang dia mentraktir banyak makanan. Dan aku kabur begitu saja. Sekarang dia berada di depanku sebagai seorang CEO perusahaan yang aku tempati untuk bekerja," batin Nazwa. Dirinya sudah berasa mau pingsan.

"Kamu tidak perlu merasa takut. Jika ada yang tidak kamu pahami, kamu bisa bertanya langsung kepada saya. Have a nice today."

Lelaki tampan itu tersenyum manis lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Nazwa yang masih diam tak percaya.

Langsung saja Mila mendekati Nazwa kembali. Dan berteriak histeris.

"Astaga, Nazwa. Kamu sudah mengenalnya? Bahkan Beliau tidak marah saat kau mengucap namanya dengan sebutan Erland. Sepertinya Bapak Erland juga naksir kamu nih," goda Mila.

Mila masih melanjutkan kalimatnya. "Erland Sanjaya, seorang duda yang masih perjaka. Harus bercerai di hari pertama pernikahannya karena sang istri hamil anak lelaki lain. Sayang sekali Bapak Erland diselingkuhi tanpa sepengetahuannya saat masih proses lamaran." Mila meletakkan telapak tangan di pipinya.

Nazwa tersadar. "Kamu serius Mila? Aku memanggilnya dengan sebutan Erland? Gawat! Aku harus minta maaf! Aku tidak mau dipecat."

Nazwa segera pergi dari ruangannya untuk meminta maaf kepada Erland. Ia melupakan pekerjaannya yang belum selesai.

"Hei, Nazwa. Tunggu dulu." Mila terlihat tidak percaya. "Padahal 'kan Bapak Erland tidak marah kepadanya, Beliau justru menawarkan sebuah bantuan kepada Nazwa."

Mila memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Tidak mau ikut campur dengan masalah Nazwa. Meski sebenarnya ia juga penasaran.

Sementara Nazwa sibuk mencari ruangan CEO. Ia benar-benar ingin meminta maaf kepada Erland. Wanita itu gagal fokus melihat penampilan Erland yang sudah berbeda sejak terakhir kali dilihatnya di restoran tadi siang. Begitu tampan dan menawan.

Karena belum tahu di mana ruangan sang CEO, Nazwa terus naik sampai lantai atas. Dia tidak tahu jika di lantai atas sedang ada renovasi.

"Tempat apa ini?" lirih Nazwa.

Nazwa melangkah ke ruangan yang sedang direnovasi itu, ia berjalan mendekat ke dinding. Namun tiba-tiba ada sebagian bangunan di atas yang runtuh. Wanita itu mendongak ke atas dan menjerit karena terkejut.

"Nazwa, awas!" teriak Erland. Sang CEO itu berlari. Kemudian memeluk erat tubuh Nazwa. Keduanya terjatuh di lantai bersamaan dengan runtuhnya sebagian bangunan itu.

"Nazwa, kamu tidak apa-apa 'kan?" Erland begitu khawatir melihat Nazwa tidak sadarkan diri. Padahal lengan kanan Erland terkena sebagian reruntuhan bangunan itu.

Dengan cepat Erland mengangkat tubuh Nazwa ala bridal style. Membawanya ke kamar pribadi milik Erland Sanjaya di ruangan CEO-nya. Lelaki itu tidak rela jika wanita itu harus masuk klinik perusahaan yang tidak terlalu luas dan bertemu dengan karyawan lain yang sakit.

Erland segera membaringkan tubuh Nazwa di ranjang empuknya. Kemudian membuatkan segelas teh hangat untuk Nazwa dan mencari minyak kayu putih agar wanita itu segera sadar.

Merasakan sesuatu yang aneh pada indera penciumannya, perlahan Nazwa mulai membuka kedua matanya.

"Di mana aku?" lirihnya sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.

"Nazwa, kamu sudah sadar?" Erland duduk di samping wanita itu sedang berbaring.

"Apa yang terjadi denganku?" tanya Nazwa berusaha mengingat kembali apa yang telah terjadi kepadanya.

"Minum dulu," bujuk Erland memberikan segelas teh hangat yang sudah dibuatnya beberapa menit yang lalu.

"Terima kasih, Pak Erland."

Nazwa menerima segelas teh itu kemudian segera meminumnya. Tenggorokan yang telah kering itu merasakan hangatnya air teh yang membuatnya merasa lebih baik.

"Jadi, apa yang kamu lakukan di lantai atas? Di sana sangat berbahaya, Nazwa."

Erland mencoba memberi tahukan hal itu tanpa memarahinya. Ucapannya begitu lembut dan menenangkan.

"Sebenarnya saya hanya ingin minta maaf kepada Bapak karena tadi bersikap tidak sopan. Menyebut nama Bapak dengan sebutan Erland." Nazwa menunduk. Ia merasa menyesal.

"Aku tidak marah, Nazwa. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku tidak butuh sebuah pengakuan darimu. Kamu bisa memanggilku dengan sebutan apa saja. Aku tidak peduli."

Nazwa hendak berucap lagi. Namun netranya berhenti pada lengan kanan Erland yang terluka. Bajunya sedikit sobek dan terlihat ada darah yang ke luar.

"Bapak Erland. Lengan kanan Anda terluka? Biarkan saya mengobatinya. Semua ini gara-gara saya."

"Tidak perlu, Nazwa. Aku bisa mengobatinya sendiri nanti. Ini bukan masalah yang besar," kilah Erland.

"Saya akan bertanggung jawab. Sebagai rasa terima kasih saya karena Bapak telah menolong saya. Jadi Bapak tidak boleh menolak."

Erland pun hanya menurut. Ia tidak bisa mengelak lagi. "Baiklah, jika kamu memaksanya." Lelaki itu tersenyum tipis. Ia merasa bahagia bisa sedekat itu dengan Nazwa.

Nazwa mencari kotak P3K di ruangan pribadi milik Erland. Setelah menemukannya, ia membawanya mendekati sang CEO yang sudah duduk tegak menanti kedatangan Nazwa.

"Sebaiknya bajunya dilepas Pak Erland," ucap Nazwa dengan sopan.

"Bisa kamu melepaskannya untukku?" goda Erland.

Lelaki itu sengaja menyuruh Nazwa. Ia ingin merasakan bagaimana menjadi seorang suami yang dibantu melepaskan pakaiannya. Erland sudah membayangkan jika Nazwa menjadi istrinya kelak. Pasti ia akan sangat bahagia saat pulang kerja disambut hangat oleh sentuhan sang istri.

"Pak Erland, Bapak?" ucap Nazwa menyadarkan lamunan Erland.

"Astaga! Aku melamun," batin Erland. "Oh, iya Nazwa ada apa?"

"Sudah selesai, Pak. Sebaiknya Bapak mengganti pakaian Bapak dengan yang baru," ungkap Nazwa.

Erland tidak tahu bagaimana berdebarnya jantung Nazwa saat melihat deretan roti sobek pada tubuhnya. Lelaki itu malah sibuk melamun sendiri.

"Bisakah kau mencarikan pakaian yang cocok untukku? Semua ada di sana." Erland menunjuk ke arah almari kecil tempat semua pakaian gantinya.

"Baik, Pak Erland. Saya akan mencarikan yang cocok untuk Bapak," jawab Nazwa dengan polosnya. Sesungguhnya hatinya sedang tidak baik-baik saja. Seketika ia merasa sangat bersalah dan berdosa kepada suaminya.

Dengan cekatan Nazwa mencarikan baju baru untuk sang CEO itu. Ia memilihkan warna silver. "Apakah Bapak suka warna ini?"

Erland mengangguk. "Tentu suka. Asalkan kamu yang memilihkan." Erland mengucapkan kalimat itu dengan santainya.

Blush !

Pipi wanita itu sudah bersemu merah. Ia menghembuskan nafas kasar. Jangan sampai Nazwa tergoda dengan lelaki yang berada di dekatnya itu. Meski hubungannya dengan sang suami sedang tidak baik-baik saja, ia harus tetap tahu diri sebagai seorang istri.

Nazwa segera memakaikan baju pilihannya di tubuh Erland. Terlihat dari ekor matanya, sang CEO itu terlihat sangat tenang. Dan lagi-lagi Nazwa harus menghembuskan nafasnya dengan kasar. Aroma tubuh Erland semakin menguar.

"Keharuman yang begitu menyejukkan," batin Nazwa.

Setelah selesai memakaikan baju di tubuh Erland, Nazwa segera pamit untuk kembali ke ruangan kerjanya. Ia meninggalkan ruangan kerjanya sudah terlalu lama.

"Sudah selesai. Saya harus segera kembali, Pak. Bagaimana kalau nanti saya dipecat?" tanyanya polos membuat Erland menahan rasa untuk tertawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status