INICIAR SESIÓNKetika pintu terbuka, ternyata Tara berdiri di sana dengan membawa tumpukan map usang. Debu yang baru saja dibersihkan masih tampak menempel di permukaannya. Di belakangnya, Kiki ikut membantu, memeluk beberapa berkas tebal di dadanya.
“Letakkan di meja,” ucap Ryan tenang, kemudian berjalan kembali ke sofa dan duduk di sebelah istrinya.
Tara menaruh semua map itu dengan hati-hati. “Saya baru menemukan data-data ini, Pak,” katanya. Nafasnya masih sedikit terengah, tanda ia baru saja naik turun tangga arsip yang gelap.
“Oh, tidak apa,” jawab Ryan singkat. Ia merogoh dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang. “Kalian berdua pergilah makan siang.”
Tara menerimanya sambil menunduk sopan. “Terima kasih, Pak… Bu.” Kiki ikut menunduk sebelum mengikuti Tara keluar.
Dania dan Ryan sama-sama menatap punggung kedua staf itu sampai pintu kembali tertutup. Ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar dengusan lembut AC.
Ryan memutar tubuhnya menghadap Dania.
Begitu sampai di rumah, Dania mendapati Pak Mega dan Siska telah menunggunya di ruang tamu.“Maaf, Pak, Bu, sudah menunggu,” ucap Dania ramah sambil melangkah masuk.Sontak keduanya tersenyum, bahkan tertawa kecil. “Jangan begitu, Bu,” jawab Pak Mega santai. “Kami juga baru sampai.”“Terima kasih,” balas Dania, lalu mempersilakan mereka duduk kembali. “Silakan, Pak, Bu.”Ia kemudian menyerahkan beberapa kantong belanja di tangannya pada Kiki. “Kiki, tolong letakkan ini di kamar Issa dan bantu rapikan, ya.” Nada Dania terdengar lembut—namun tegas.Kiki mengerjap sekilas. Ada sesuatu yang berdenyut di dadanya. Namun ia tetap mengangguk patuh. “Baik, Bu.”Saat kakinya melangkah menaiki anak tangga, hatinya menggerutu tajam. Bisa-bisanya… Di hadapan Pak Mega dan Siska—orang-orang yang selama ini menunduk padanya di klinik—Dania m
“Ki… temani saya mampir ke supermarket dulu, ya,” ucap Dania ketika mobil baru saja melaju meninggalkan area rumah sakit. Nada suaranya terdengar tenang, meski pikirannya masih penuh. “Ada beberapa kebutuhan Issa yang harus dibeli,” sambungnya.Kiki yang duduk di kursi depan hanya mengangguk pelan. Wajahnya datar, tapi matanya tampak waspada—seperti sedang menyimpan sesuatu.“Nanti suster dan Issa pulang duluan saja,” lanjut Dania sambil menatap ke depan. “Tolong diantarkan, ya, Pak. Setelah itu jemput saya dan Kiki kembali.”“Baik, Bu,” jawab sopir sopan. Ia melirik sekilas ke kaca spion, memastikan arah pandang Dania sebelum bertanya, “Mau drop di supermarket mana, Bu?”“Supermarket Raya saja,” jawab Dania singkat tanpa ragu.Sopir kembali mengangguk, lalu membelokkan setir. Mobil melaju mulus membelah jalanan siang yang mulai ramai.Dania meny
“Bu Dania, maaf,” ucap Dokter Ayu tiba-tiba, nadanya menurun, seolah ragu apakah topik ini pantas dibicarakan sekarang. “Apakah Ibu sudah mengetahui keputusan yang dibuat Bu Ratih terkait klinik ini?”Dania menautkan kedua alisnya. “Keputusan apa yang Dokter maksud?” tanyanya pelan, ada keheranan yang sulit disembunyikan.Dokter Ayu menelan ludah, jemarinya saling memainkan satu sama lain—gestur kecil yang menunjukkan kegelisahan. “Bu Ratih memutuskan bahwa gaji bulan ini akan dibayarkan bulan depan.”“Apa?” Dania refleks berdiri sedikit dari duduknya. Wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan. “Saya sama sekali tidak tahu soal itu, Dok.”Benaknya langsung dipenuhi tanda tanya. Klinik sedang ramai, pasien tidak pernah sepi, bahkan beberapa hari terakhir antrean mengular. Keputusan seperti itu seharusnya melalui rapat atau setidaknya pemberitahuan resmi.“Apa Bu Ratih
Ryan menggerakkan tubuhnya ketika suara alarm menyentak telinganya. Tangan besarnya meraih jam kecil di nakas, mematikannya dengan satu sentuhan malas. Ia bergeser ke samping—dan mendapati sisi ranjang itu dingin. Tidak ada siapa pun di sana.Alisnya berkerut tipis. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang biasanya sudah berdiri di dekat jendela atau sibuk melipat selimut. Yang ia temukan hanya pakaian kerjanya tergantung rapi di gantungan—kemeja disetrika sempurna, celana digantung lurus, dasi terpilih dengan warna yang tepat. Seperti biasa. Terlalu biasa.Ryan mendecih pelan. Ada dorongan untuk kembali merebahkan diri dan menarik Dania ke dalam pelukan—kebiasaan yang tak pernah ia akui sebagai kebutuhan. Tapi pagi ini, itu terasa mustahil. Ia memilih berdiri, menepis pikiran yang tak perlu, lalu masuk ke kamar mandi.Air dingin menyentuh kulitnya, menenangkan kepala yang semalaman riuh. Ia membiarkan air mengalir lebih lama dari biasanya,
“Kamu pikir pernikahan ini akan sampai setahun?” ucap Ryan tegas, menghunus.Dania membeku. Kata-kata itu menghantam lebih keras dari apa pun yang ia bayangkan. “Maksudmu… apa?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar.Suasana tegang menyelimuti keduanya. Dania duduk kaku dengan raut bingung, sementara rahang Ryan mengeras, urat di pelipisnya tampak menegang.“Aku sudah tahu hubungan kamu dengan Dandy,” ucap Ryan tajam, tanpa jeda.Dania mengerutkan kening. “Dandy siapa?” Ia benar-benar tak mengerti, suaranya jujur, polos—bahkan sedikit ketakutan.Ryan tertawa lirih, pendek, tanpa humor. “Pura-pura lupa supaya kebohonganmu rapi.”“Aku tidak berpura-pura,” Dania menggeleng cepat. “Aku sungguh tidak tahu siapa Dandy yang kamu maksud.”Ryan mengambil ponselnya, menggulir layar bening itu dengan gerakan singkat, lalu melemparkannya ke arah Dania tanpa peringatan.Dania refleks menangkapnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah fot
Dania mengelus rambut Issa yang telah terlelap di pelukannya. Napas bayi itu teratur, wajahnya damai—seakan dunia di sekelilingnya tak pernah retak oleh masalah apa pun. Pemandangan itu selalu berhasil melunakkan hati Dania.“Sus… saya pamit ke kamar dulu, ya,” ucapnya pelan sambil berdiri. “Kalau ada apa-apa, ketuk saja pintu kamar saya.”Syukurlah Tara bergerak cepat. Suster pengganti sudah ditemukan, membuat Dania bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya malam ini, ia tak perlu menahan lelah sendirian.Langkahnya pelan menyusuri koridor. Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara langkah kaki dan dengung AC yang menemani. Ia membuka pintu kamarnya.Gelap. Sepi. Seperti ruang yang ditinggalkan penghuninya.Dania menghela napas panjang. Dada terasa sesak oleh perasaan yang sulit diberi nama. Andai saja ia tak perlu mengingat bahwa Ryan akan pulang, ia lebih memilih bermalam di kamar Issa—di tem







