LOGIN
“Rein! Bangun! Ayo cepat mundur sebelum polisi datang dan memukuli kita!”
Semua gabungan mahasiswa dari berbagai universitas yang saat itu mengikuti demo, berhamburan kocar-kacir setelah pihak aparat menembakkan gas air mata. Sementara salah satu peserta aksi, yakni Rendi atau sering dipanggil Rein tergelak tak sadarkan diri. “Joko! Bantu aku membawa Rein.” Mahasiswa bertubuh tinggi besar itu kemudian berhenti sejenak ketika salah satu rekan seperjuangannya memanggil. Ia berbalik arah dan mengangkat tubuh Rein yang tidak sadarkan diri. Asap gas air mata sudah memenuhi lokasi, semua mahasiswa yang menuntut keadilan sudah berhamburan mundur ke tempat aman. Beberapa ada yang merasakan efeknya seperti sesak napas dan beberapa ada yang pingsan. “Pasta giginya bang, pasta gigi.” salah satu dari peserta aksi berkeliling sambil membawa pasta gigi dan juga air bersih. Ia memberikannya kepada orang-orang yang terkena dampak. Seperti mengguyur wajah dengan air kemudian mengoleskan pasta gigi di bawah mata. Sementara itu Rein sudah dievakuasi oleh kawan-kawan se kampusnya sendiri, ia diletakkan di emperan sebuah gedung yang ada agak lumayan jauh dari pusat demo. Tidak lama kemudian dirinya mulai tersadar, kepalanya sedikit pening. “Kak Rein! Akhirnya kamu sadar juga.” “Ba... Bagaimana yang lainnya? Apakah para pejabat keparat itu sudah muncul dan mau mendengarkan tuntutan kita?” tanyanya dengan suara parau. “Pulihkan dulu tubuhmu, Bung. Baru kita akan berjuang bersama-sama lagi.” Mereka hidup di sebuah kerajaan modern yang bernama Khatulistiwa. Negeri yang korup, semua dipimpin oleh para pejabat bedebah yang hanya memikirkan isi perut mereka tanpa tahu penderitaan rakyatnya. Rein merupakan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa yang berasal dari Universitas Kanguru Merah. Ia merupakan kepala biro sosial politik dan menjadi salah satu koordinator dalam aksi demo hari ini, bersama dengan sahabatnya Joko yang menjadi Ketua BEM. “Woy para polisi biadab itu mengejar sampai ke sini,” ujar salah satu mahasiswa memakai almamate berwarna hijau yang berlari dari arah timur. Tentu membuat Rein dan rekan-rekannya menjadi panik. Mereka semua bangkit berdiri, termasuk Rein. Efek pingsan tadi masih terasa, kepalanya pening. Ia bahkan sampai memegang pundak rekannya hanya sekedar membantunya berdiri. Polisi yang dibawa tiga truk pengangkut penuh sudah tiba. Semuanya jelas sangat panik, tetapi hanya satu yang pasti yakni semua mahasiswa Universitas Kanguru Merah kompak. Mereka berdiri tegak melindungi dua orang koordinator aksi yang berasal dari kampus mereka. Polisi yang menjadi keamaan di aksi tersebut, tampaknya tidak pandang bulu. Mereka membabi buta menyerang semua para mahasiswa itu menggunakan pentungan yang mereka bawa. Dengan kejinya para bajingan itu menganiaya, walau lawannya sudah tumbang tidak berdaya. “Lindungi Rein dan Joko apapun yang terjadi, aku tahu mereka yang diincar.” Benar saja dugaan yang mereka takutkan, sekarang benar-benar menjadi kenyataan. Beberapa polisi bertubuh tinggi besar berusaha masuk menembus kerumunan dan langsung memegangi lengan Rein dan juga Joko. Ternyata ada juga yang menyamar, mereka berpakaian layaknya mahasiswa dengan almamaternya. Namun ikut bergerak menangkap para koordinator aksi. “Woy, Pak! Jangan semena-mena. Mau dibawa ke mana teman-teman kami ini?” Bukannya menjawab pertanyaan, mereka justru melayangkan pukulan pentungan kepada si penanya. “Polisi keparat, kalian itu rakyat seperti kami. Gaji kalian juga berasal dari pajak kami, bukannya bela rakyat malah lindungi para pejabat!” Bogem mentah melayang ke mulut seorang mahasiswa yang protes, para gerombolan keamaanan itu kemudian membawa beberapa orang pendemo. Termasuk juga para koordinator yakni Rein dan Joko. Rein diperlakukan tidak manusiawi, saat penangkapan dan menuju mobil bahkan ia di seret selama perjalanan dan ditendang beberapa kali ke aspal. Sampai pada akhirnya mereka semua sampai di kantor polisi. Awak media semuanya turut hadir, tetapi hanya dibatasi sampai di pagar kantor polisi. Semua anggota massa aksi juga ikut serta menggeruduk gedung kantor polisi untuk memberi dukungan kepada kawan seperjuangan. “Biarkan kami masuk woy! Apa yang kalian lakukan kepada rekan-rekan kami?” Sementara Rein yang berada di dalam kantor, tengah disiksa oleh beberapa anggota oknum polisi. Bogem mentah dan benda tumpul melayang menuju kepalanya. Di tengah kesadarannya yang mulai menurun, suara misterius muncul di kepalanya. “Selamat datang di sistem keadilan surgawi tuanku, Rein! Anda mendapatkan 20 exp karena telah menyelesaikan misi ikut aksi demo dan 80 exp karena telah menjadi koordinator aksi.”“Selamat kamu mendapatkan 500 exp karena berhasil dalam misi memviralkan tambang ilegal. Nama Rendy Joseph, level 2 poin exp 2500.”Rein tidak menghiraukannya, ia meneruskan berlari dengan rekan-rekannya sampai di Desa Talas. Para ibu-ibu seketika keluar rumah, melihat mereka berempat tergopoh-gopoh berlarian. “Ada apa, Mas? Mbak? Bagaimana dengan warga lain yang sedang protes di tambang.”Sambil mengatur napas yang masih kembang kempis, Hendra mencoba menjelaskan. “Mereka semua tertangkap oleh aparat, Bu.” Warga menunjukkan eksperi terkejut, bahkan ada beberapa yang berteriak.“Ya Allah bagaimana nasib suamiku!” Ada juga yang menangis maupun pingsan. Rein dan Zafran mencoba menenangkan. “Kalian tenang! Semua akan baik-baik saja, sekarang kami akan keluar dari sini mencari bala bantuan. Kebenaran pasti akan menemukan jalannya!”Mereka berpamitan, tujuan Hendra kali ini akan menyusul William yang sedang meliput tambang dari depan. Ia juga ingin melaporkan, tentang teramgkapnya warga da
Keesokan harinya, Zafran benar-benar mengumpulkan kawan-kawan awak media dari Mata Pedang. Mereka kemudian dibagi dua. Meliput depan pertambangan dan juga sebagian ikut dengan Hendra dan Rein masuk ke area Desa Porang dan Talas.Mereka mulai bergerak. Zafran sendiri ikut bersama Rein dan Hendra. Tim wartawan ini hanya berisi dua orang yakni Safitri dan Zafran. “Jangan banyak-banyak yang ikut masuk ke dalam, aku kesusahan juga nanti melindungi kalian. Belum lagi si Rein ini belum bisa diandalkan.”Tidak seperti kemarin, perjalanan kali ini lancar jaya tanpa hambatan. Sampai di Desa Talas Nirmala dan Jo menyambut. Ternyata warga dari Desa Porang juga sudah berkumpul di sini. “Nanti liput saja ya beritanya, aparat yang berpihak kepada tambang pasti akan sangat ganas menghalau kita.”“Siap, kawan-kawan awak media yang lain juga sudah bersiap di depan,” ujar Zafran sambil memegang kamera.Nirmala juga menjelaskan kepada tiga anggotanya, jika terjadi bentrokan nanti diusahakan jangan membun
“Rein, jujur aku belum bisa mengandalkanmu. Namun jika aku memaksa bertarung seorang diri akan fatal akibatnya.”“Lalu, apa solusimu?”Hendra terdiam sejenak, ia kemudian mengusulkan untuk mencari jalan lain. Akhirnya mereka berdua berjalan ke arah hulu sungai, mencoba untuk menjauhi orang-orang itu. Tentu dengan gerakan senyapnya, padang ilalang sekitar juga masih lumayan tinggi. Bisa untuk menyembunyikan tubuh.Mereka berjalan cukup lama, kurang lebih ada sekitar setengah jam. Netra Hendra menjelajah sekitar, ternyata aman. Keadaan sepi tidak ada seorangpun, bahkan gerombolan yang tadi ia lihat sudah tidak ada.“Ayo menyeberang, Rein.” Mereka berdua mulai menceburkan diri ke sunga dan mulai menyeberanginya. “Aku bisa saja menghabisi mereka tadi, sayang sekali ada suangai ini. Seandainya jarak dekat aku pasti mampu.”Hendra memiliki sebuah siasat, ia ingin mencuri seragam para pekerja tambang. Untuk itu mereka berdua bisa dengan mudah keluar masuk. “Bagaimana cara kita mendapatkannya
Pria proyek itu lantas mengambil ht berwarna hitam dari saku bajunya, tetapi gerakannya sudah keduluan para pasukan Guardian. Kaki Hendra mendarat di pundak pria itu dan menancapkan belati ke lehernya.Cairan merah segar keluar dengan derasnya. Rein yang melihat semua itu terkejut sejadi-jadinya, ia kemudian terduduk lesu. “Ken... Kenapa kalian bunuh seseorang yang tidak berguna.”“Bisa panjang urusannya jika dia dibiarkan. Sebagai Guardian kita harus bergerak seefektif mungkin.”“Termasuk membunuh?”“Jika itu untuk melancarkan misi, maka lakukanlah.” Hendra membersihkan bilah belatinya, ia kemudian menyarungkan kembali. Sementara yang lain, menyembunyikan mayat pria tersebut dan berusaha menghilangkan jejak.Nirmala mendekat ke arah sungai, menurutnya lumayan dalam. Untuk itu mereka harus berhati-hati saat berenang. “Semua yang ada di sini bisa berenang. Bagaimana denganmu, Rein? Kamu masuk Guardian lewat jalur undangan khusus. Aku agak meragukanmu.”“Bisa, tenang saja. Rumahku di de
“Silakan pesanannya,” ujar pramusaji sambil membawa satu nampan besar pesanan. Rein mencium aroma yang keluar dari kopi panas miliknya. Ia sangat menikmati, bau harumnya serasa menjadi terapi yang membawa semangat.“Oh iya, kemarin kamu yang sudah ungkap para pelaku penyelewengan uang pajak bukan?” Zafran hanya mengangguk, “Tapi hasilnya kurang memuaskaan, aktor utamanya malah bebas.”“Hah? Aktor utama? Maksudmu Pak...” Belum selesai Gendhis berbicara, Zafran sudah menempelkan jari telunjuknya di antara dua bibir, menyuruhnya untuk berhenti. Tempat tersebut merupakan tempat umum, untuk itu sangat beresiko.Sementara pria dengan topi koboi tetap tenang, ia menikmati secangkir kopinya yang ditemani oleh sebatang cerutu.Telepon Rein berdering, ternyata ada notifikasi pesan dari William. Ketua Guardian itu mengintruksikan untuk berkumpul sekarang juga. “Maaf ya, Kalian. Aku harus pergi sekarang. Ada urusan ini dengan Guardian.”“Kopimu loh, Rein. Bahkan cuma dicium saja aromanya, belum k
William memberi pesan kepada Rein sebelum ia pulang, ia menitahkan agar kasus tambang ilegal ini muncul ke permukaan. “Baiklah aku akan menghubungi kawanku yang seorang wartawan dan juga mengadakan diskusi oleh semua elemen mahasiswa di kampusku.”Rein menghidupkan mesin vespa tuanya, ia kemudian memacunya menuju kembali ke kost. Ia segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri ke kasur, tidak sempat rasanya mandi atau sekedar bersih-bersih. Tulangnya serasa remuk semua setelah mendaki gunung.Baru sebentar saja ia berbaring, pandangannya mulai berat lalu terlelap. Ia sangat tenang, soalnya hari ini jadwal kuliah kosong. Itu artinya, Rein bisa beristirahat seharian karena libur. Sampai akhirnya ia terbangun di sore harinya.“Jam berapa ini?” desahnya, sambil memeriksa layar ponsel yang ternyata tepat pukul empat sore. Lelap juga tidurnya. Rein duduk sejenak di ranjang, ia sandarkan punggungnya ke tembok samping kasur.Ia gulir layar di ponselnya, tengah ramai diperbincangkan di sosi







