Home / Fantasi / Sistem Penakluk Heroine / Bab 9 Warisan Ganda

Share

Bab 9 Warisan Ganda

Author: SATAN_666
last update Last Updated: 2025-09-19 08:02:11

Malam itu aku tertidur lebih cepat dari biasanya.

Percakapan panjang dengan nenek dan ibu tentang darah naga terus terngiang di kepalaku. Kata-kata nenekku—“kau adalah naga yang tertidur”—membuat dadaku panas sekaligus gelisah. Bahkan setelah aku berbaring, wajah mereka berdua masih terbayang jelas.

Aku menggenggam pin naga bersayap di dada, mencoba menenangkan hatiku. Kalau benar darah naga itu ada di dalam tubuhku… apa yang akan terjadi padaku? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku hingga akhirnya aku terlelap.

Namun ketika aku membuka mata lagi, aku tidak berada di kamarku.

“Ini… aku berada di mana?” bisikku kaget.

Udara yang kuhirup dipenuhi bau besi dan darah. Di sekelilingku terhampar medan perang, tanah retak penuh genangan merah yang masih hangat. Tubuh-tubuh tanpa nyawa berserakan, armor patah, tombak tertancap di tanah, dan suara erangan terakhir masih samar-samar bergema.

Jantungku berdetak cepat. Tubuhku gemetar.

“Bukankah aku seharusnya berada di ruanganku… tidur dengan tenang setelah membahas tentang darah naga dengan nenek dan ibu?”

Aku berputar, berusaha memahami apa yang terjadi, tapi pandanganku segera terfokus pada sosok di kejauhan.

Seorang pria paruh baya berdiri tegak di tengah tumpukan mayat. Rambutnya hitam panjang, sebagian sudah memutih, wajahnya keras penuh bekas luka. Di tangannya, sebuah pedang merah menyala seperti darah cair.

Lalu dia bergerak.

Satu ayunan pedang, dan belasan prajurit terbelah seakan tubuh mereka hanya kertas. Satu tebasan berikutnya, puluhan lagi roboh tanpa sempat menjerit.

Aku membeku, tak percaya dengan apa yang kulihat. Ini bukan pertempuran… ini pembantaian sepihak.

Pria itu sendirian, namun ribuan pasukan musuh runtuh seperti gelombang yang terhantam badai. Langkahnya mantap, matanya menyala merah darah, dan setiap gerakannya membawa kematian.

“Apa… ini…?” suaraku tercekat, tubuhku semakin kaku. Rasa takut merayap di dadaku, membuat napasku terengah.

Aku tahu kekuatan di dunia ini bisa melampaui batas manusia biasa. Aku sudah mendengar cerita tentang Saint, Arch Saint, bahkan Transcendent. Tapi menyaksikan pembantaian semacam ini dengan mataku sendiri… aku merasa seperti semut yang menyaksikan naga menari di langit.

[ DING! ]

[ Notifikasi Sistem: Fragmen Memori Warisan Darah Naga Terdeteksi ]

[ Identitas: “Pendragon Merah” — Salah satu leluhur garis darahmu ]

Mataku terbelalak. Pendragon Merah? Leluhurku…?

Tubuhku gemetar, bukan hanya karena takut, tapi juga karena kesadaran baru. Sosok di depanku bukanlah manusia biasa. Ia adalah bukti nyata warisan yang mengalir dalam nadiku.

Pria itu berhenti sejenak, seolah menyadari keberadaanku. Pandangan matanya yang merah menoleh perlahan, menembus jarak, menembus waktu. Aku tersentak mundur, napasku terhenti.

“Ketakutanmu… wajar,” suaranya bergema berat, bagai guntur yang mengguncang dada. “Tapi ingat, darah naga tidak diwarisi untuk gemetar. Ia diwarisi… untuk membakar dunia.”

Aku jatuh terduduk, tanganku menutupi dada. Pedang merah di tangannya berdenyut, seolah memanggilku, seolah menuntutku untuk mengerti.

Namun sebelum aku bisa mengucapkan sepatah kata pun, dunia di sekitarku runtuh. Suara perang memudar, bau darah lenyap, dan mataku kembali terbuka di ranjangku.

Keringat dingin membasahi tubuhku. Nafasku terengah-engah, dan pin naga bersayap di dadaku terasa panas berdenyut, seakan ikut bereaksi terhadap mimpi itu.

[ DING! ]

[ Notifikasi Sistem: Jalur Warisan Pendragon Merah - Terbuka ]

[ Skill Pasif “Insting Naga” — Terkunci hingga usia 12 tahun ]

Aku menatap layar sistem yang melayang di depan mataku. Hati ini dipenuhi ketakutan sekaligus tekad. Jika tadi benar fragmen memori leluhurku… berarti warisan naga bukan hanya simbol, melainkan kekuatan yang nyata.

Aku menutup mata, menggenggam pin naga dengan erat.

“Kalau benar darah naga mengalir dalam diriku… aku tidak boleh lari. Aku akan menghadapinya. Dan aku… akan membangkitkannya.”

Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah mimpi aneh itu. Tubuhku masih bergetar, keringat dingin menetes di pelipis. Namun rasa kantuk kembali menyeretku.

“Tenanglah… ini hanya mimpi… hanya mimpi…” bisikku, meski jauh di dalam hati aku tahu itu lebih dari sekadar bunga tidur.

Aku memejamkan mata lagi. Tapi baru sebentar, kegelapan kembali menelanku.

Ketika kubuka mata, aku tak lagi berada di ranjangku.

“Di… mana lagi aku ini…?” gumamku panik.

Kali ini tidak ada bau darah, tidak ada mayat, tidak ada medan perang. Yang ada hanyalah hamparan sunyi, gelap tanpa ujung, seperti ruang hampa yang memakan semua suara. Udara dingin menusuk kulitku, membuat bulu kudukku berdiri.

Lalu, tiba-tiba—

Sret!

Sebuah tangan dingin menembus dadaku, tepat mengenai jantung.

“Arhhhhh!”

Teriakanku melolong, menggema ke segala arah. Rasa sakitnya tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Seolah-olah ribuan pedang menembus tubuhku bersamaan. Aku gemetar, tubuhku bergetar hebat, keringat membasahi tubuhku. Namun anehnya… tidak ada darah. Tanganku gemetar menyentuh tangan yang menembus tubuhku.

Barulah aku menoleh, dan melihat sosok pria yang melakukan ini padaku. Seorang lelaki paruh baya berdiri tegak, tangannya masih menembus tubuhku. Rambut peraknya berkilau dalam kegelapan, matanya tajam namun… bibirnya tersenyum riang.

“Yo, cucuku,” ucapnya enteng, seolah ini hal yang biasa.

Aku tertegun, rasa sakit membuat suaraku serak dan patah-patah. “A… apa… yang kau… lakukan? Kau… mencoba membunuhku?”

Pria itu terkekeh, nada suaranya ringan, kontras dengan penderitaan yang kurasakan. “Tentu saja tidak. Aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya… akan membangkitkan garis darah iblismu.”

Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada rasa sakit di dadaku.

“Garis… darah iblis?” gumamku terpaku.

Belum sempat aku mencerna maksudnya, rasa sakit yang membakar itu tiba-tiba berhenti. Dunia sunyi itu retak seperti kaca yang dihantam palu, dan dalam sekejap, aku terbangun kembali di ranjangku.

Aku terengah-engah, tubuhku kuyup oleh keringat dingin. Jemariku refleks meraba dadaku, untuk memastikannya. Tidak ada luka. Tidak ada bekas tusukan. Padahal aku masih bisa merasakan jelas sensasi dingin tangan itu menembus tubuhku.

“Ini… apa yang sebenarnya terjadi padaku?” bisikku gemetar.

Pin naga bersayap di dadaku kembali berdenyut pelan, kali ini seolah bergema selaras dengan detak jantungku. Aku bisa merasakan sesuatu berubah di dalam tubuhku, sesuatu yang berbahaya tapi juga… kuat.

[ DING! ]

[ Notifikasi Sistem: Fragmen Warisan Tambahan Terdeteksi ]

[ Garis Darah Iblis — Status: Terbuka / Tidak Stabil ]

Mataku melebar. Dadaku terasa sesak, bukan hanya karena kaget, tapi karena ketakutan bercampur rasa penasaran. Jika benar yang pria itu katakan… berarti di dalam diriku bukan hanya ada darah naga. Ada sesuatu yang lebih gelap… sesuatu yang bahkan ibuku dan nenekku belum pernah sebutkan.

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, napasku masih memburu.

“Apakah aku… benar-benar manusia… ataukah monster…?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 29 Api di Perbatasan

    Tiga tahun lalu – Perbatasan Kerajaan Zeraphir dan Kekaisaran BeelzebubMalam itu langit Nethrazel tampak seperti luka terbuka. Merah pekat menyelimuti cakrawala, dan dari arah barat kobaran api membumbung tinggi — menyala-nyala seperti lidah neraka yang menjilat langit. Aroma besi dan belerang menebal di udara. Angin malam membawa jeritan prajurit, dentingan logam, dan bau daging terbakar.Aku berdiri di puncak tebing, jubah hitam berlumur darah berkibar tertiup badai. Di bawah sana, ribuan pasukan Zeraphir dan Beelzebub masih bertarung sengit meski matahari sudah lama tenggelam. Tanah basah oleh darah, dan bumi sendiri seolah menangis menahan beban perang ini.Semua ini… hanya karena satu penghinaan.Satu bulan lalu, seorang pangeran dari Kekaisaran Beelzebub — sombong, angkuh, dan buta akan perbedaan — datang ke istanaku membawa proposal pernikahan. Ia berkata ingin “menyelamatkan darah Zeraphir dari kesia-siaan” dengan menikahiku.Aku tidak marah karena ia melamarku — aku marah ka

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 28 Bayangan Sang Putri Pembantaian

    Namaku Monica, salah satu pelayan di Istana Velgrath — istana megah yang menjadi tempat tinggal Ratu Karina, penguasa tertinggi Kerajaan Zeraphir.Aku baru berusia delapan belas tahun, dan meskipun statusku hanyalah pelayan biasa, bekerja di istana ini jauh berbeda dari menjadi pelayan di tempat lain. Setiap langkah di koridor istana penuh keagungan ini membawa beban sejarah… dan ketakutan.Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu — hari yang tak pernah bisa kulupakan. Saat itu, Ratu Karina kembali ke istana setelah perjalanan panjangnya ke luar kerajaan. Namun kali ini ia tidak datang sendiri. Di sisinya, berjalan seorang anak laki-laki berambut hitam legam, tampak berusia sekitar dua belas tahun.Meskipun masih muda, sorot matanya tajam dan wajahnya menunjukkan keteguhan luar biasa. Aku bahkan sempat berpikir, jika ia dewasa nanti, ia akan tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan dan karismatik.Hanya berselang tujuh hari setelah kedatangannya, Ratu Karina membuat pengumuman yang meng

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 27 Fragmen yang Hilang

    Rasa sakit itu datang tanpa peringatan.Tubuh Arthur seperti terbakar dari dalam. Urat-uratnya berdenyut hebat, seolah ada sesuatu yang merangkak liar di bawah kulitnya. Napasnya tersengal, pandangannya kabur. Lantai marmer yang dingin di bawah kakinya terasa jauh, seolah ia jatuh ke dalam jurang tak berdasar.“Aaaarghhh!”Teriakan itu pecah tanpa kendali, memecah kesunyian ruangan. Darah segar mengalir deras dari hidungnya. Tubuhnya terhempas ke lantai. Rasa sakit itu terlalu menyiksa — jauh melampaui apa pun yang pernah ia alami sebelumnya.Lalu, seolah semuanya hanyalah mimpi buruk, perlahan rasa sakit itu mereda.Arthur terengah-engah. Punggungnya bersandar pada dinding, napasnya memburu seperti habis berlari bermil-mil. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Saat kesadarannya mulai kembali sedikit demi sedikit, matanya terbuka… dan tubuhnya membeku.“...Hah?”Ini… ruang tamu? Tidak. Bukan kamarnya. Bukan tempat yang ia ingat.Arthur tidak mengenali gaya arsitektur ruangan in

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 26 Bayangan yang Mengawasi

    Setelah malam itu — malam ketika bibit Ordre De L’Ombre pertama kali ditanam, Arthur menyadari satu hal: semua ini baru permulaan. Ia harus kembali sebelum matahari terbit. Ia tak ingin ibu maupun neneknya tahu bahwa ia menyelinap keluar mansion pada malam hari. Maka, dengan langkah cepat dan hati-hati, Arthur menyusuri jalan setapak yang membawanya kembali ke mansion keluarga Pendragon. Sebelum berpisah, ia meminta Neria, gadis yang baru saja dibebaskannya dari Kutukan Abaddon, untuk sementara tinggal di sebuah penginapan kecil tak jauh dari mansion, sekitar dua kilometer jauhnya. Itu adalah tempat aman, setidaknya sampai mereka merencanakan langkah selanjutnya. Namun apa yang tidak Arthur ketahui… adalah bahwa ia tidak pernah benar-benar sendirian malam itu. Dari kejauhan, di balik kabut malam yang dingin, sepasang mata tajam telah mengawasinya sejak awal. Irene Pendragon, neneknya

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 25 Awal Terbentuknya Ordre De L’ombre

    Pertempuran telah usai. Di tengah malam yang pekat, Arthur berdiri di depan reruntuhan kuil tua yang kini sunyi dan mencekam. Angin dingin berembus pelan, menyapu dedaunan kering dan membawa aroma besi yang pekat dari darah segar yang baru saja tertumpah. Ia menyarungkan pedangnya, langkahnya perlahan menembus keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara desir angin. Kuil itu dulunya adalah sarang para bandit — pusat dari segala kekacauan di hutan utara. Kini, setelah pertarungan berdarah yang mengakhiri nyawa pemimpin mereka, tempat itu hanya menyisakan puing-puing, sisa peralatan, dan hasil jarahan yang berserakan di mana-mana. Tumpukan emas, koin perak, peti artefak terlarang, hingga bahan makanan memenuhi setiap sudut ruangan. Jelas kelompok ini sudah lama beroperasi, terorganisir, dan berbahaya. Namun bukan harta yang menarik perhatian Arthur. Di sisi terdalam kuil, matanya menangkap sebuah lorong sempit yang nyaris tersembunyi di balik reruntuhan. Rasa ingin tahu menuntunn

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 24 Kebangkitan Darah Naga

    Teriakan “Serang!” memecah sunyi malam.Api unggun bergoyang liar, bayangan para bandit bergerak ke segala arah. Dua orang menyerbu lebih dulu, langkah mereka kasar, seperti orang yang terbiasa bertarung di jalanan. Golok pertama menyambar pundakku dari sisi kanan, aku menepisnya dengan sisi datar pedang, getarannya menyusup sampai ke pergelangan tanganku. Golok kedua meluncur rendah, membidik lutut. Aku melompat kecil ke samping, memutar pinggang, lalu menghantam rusuk penyerangnya dengan gagang pedang.“Ugh!”Napasnya terhenti, tubuhnya limbung, lalu jatuh tak bergerak.“Bocah sialan!” maki bandit bertubuh kekar dengan tongkat besi besar. Ia menyerbu tanpa ragu, ayunan tongkatnya berat dan brutal. Aku tidak mundur. Satu langkah maju, pinggangku memutar, dan dengan teknik Cakar Naga yang baru kupelajari dari latihan sore tadi, bilah pedangku menyayat diagonal — cukup dalam untuk membelah udara dan merobek perutnya.“Arrrggghhh!!”Jeritannya menembus langit malam. Darah memercik memba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status