Beranda / Fantasi / Sistem Penakluk Heroine / Bab 8 Warisan Naga

Share

Bab 8 Warisan Naga

Penulis: SATAN_666
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-19 01:02:05

Aula besar keluarga Pendragon masih berkilau diterangi ribuan lilin, namun cahaya itu bagiku tak lagi hangat. Pintu besar terbuka, dan nenekku, Irene Pendragon, berjalan tenang sambil menggandeng tanganku.

Bisik-bisik menusuk telingaku dari segala arah.

“Benarkah itu Mawar Hitam?”

“Dia kembali… keluarga Pendragon masih jadi ancaman besar!”

“Ini akan mengguncang keseimbangan kerajaan…”

Tatapan ksatria penjaga pintu menegang, para bangsawan menunduk atau terbelalak. Semua menyadari bahwa kedatangan nenekku bukan sekadar reuni keluarga.

Aku menoleh ke wajah nenek di sampingku. Rambut hitamnya berkilau diterpa cahaya lilin, mata emasnya bagai bara yang menolak padam. Tangannya hangat menggenggam tanganku, tapi auranya membuat bulu kuduk semua orang berdiri. Di sampingnya, aku merasa aman.

Ibuku, Erina, berdiri anggun di ujung aula. Senyum bangsawannya tetap terjaga, tapi ketika tatapannya bertemu nenekku, Irene. Aku melihat kilatan haru. Senyum itu… untuk pertama kalinya sejak jamuan dimulai, tampak tulus.

“Ibu mertua… akhirnya kau kembali,” aku bisa membaca kata-kata itu dari gerakan bibirnya.

Tak lama setelah itu, Ratu Rasya juga keluar dari ruang itu dengan anggun. Bahkan sekilas aku bisa menangkap perubahan halus di wajahnya secara samar, tapi jelas ada kekecewaan. Ia menatapku sekali lagi sebelum berbalik, lalu keluar bersama rombongannya.

Di balik senyum bangsawannya yang tetap terjaga, aku bisa membaca amarah yang ditekan rapat. Ratu Rasya ingin sesuatu dariku… sesuatu yang gelap, keinginan terlarang yang bahkan aku tak sanggup mengerti. Dan kini, kedatangan nenekku menggagalkan niatnya.

Begitu Rasya pergi, para bangsawan yang tersisa pun segera mengikuti. Jamuan besar itu bubar seolah tak berarti lagi. Sisa hidangan mewah hanya menjadi saksi bisu dari pertempuran politik yang gagal pecah di permukaan.

Tak lama kemudian, aku sudah duduk di ruang keluarga bersama nenekku dan ibuku. Api perapian menyala, suara kayu terbakar berderak memecah kesunyian. Bayangan keemasan menari di dinding, mengusir dingin yang masih menempel di tubuhku.

Aku akhirnya bisa bernapas lega. Namun rasa lega itu tak bertahan lama. Ada sesuatu yang membakar di dadaku, pertanyaan yang tak bisa lagi kutahan.

Aku menoleh, menatap Irene. “Nenek… kenapa baru muncul sekarang? Kenapa meninggalkan kami begitu lama?”

Irene tersenyum tipis. Jemarinya terulur, mengusap rambut hitamku dengan kelembutan yang anehnya justru menegaskan wibawa besar yang dipikulnya. “Arthur… garis keturunan Pendragon bukan garis keturunan biasa. Rambut hitam dan mata emasmu adalah tanda, bahwa darah naga kuno masih mengalir dalam tubuhmu.”

Aku terdiam. Kata-kata itu menembus dadaku bagai pedang tajam.

“Darah… naga?” bisikku.

Selama ini aku hanya menganggap diriku pewaris bangsawan biasa. Putra tunggal yang rapuh, NPC bernasib tragis dalam game Libra. Semua pemain tahu Arthur Pendragon hanyalah karakter sampingan, mati di awal cerita, sekadar batu loncatan untuk mengangkat sang protagonis.

Kenangan lama membanjiri kepalaku. Diskusi forum pemain yang menertawakan adegan kematian Arthur Pendragon di game. Cutscene yang memalukan, saat Arthur diinjak harga dirinya lalu dilupakan begitu saja. Bahkan aku sendiri, di dunia lamaku, ikut menertawakan karakter ini.

Tanganku mengepal di pangkuan, bergetar. Jadi… inikah takdirku yang seharusnya?

Namun tatapan mata emas nenekku menahanku di tempat. Itu bukan tatapan kasihan. Itu adalah pengakuan.

Pengakuan bahwa aku bukan NPC. Bahwa ada sesuatu di dalam diriku yang bahkan para pemain game itu tak pernah tahu. warisan naga kuno.

Dadaku terasa sesak, tapi di balik sesak itu, api kecil mulai menyala. Api yang berkata: kalau benar aku mewarisi darah naga, maka aku tidak akan membiarkan dunia ini menjadikanku korban lagi.

Aku meraih pin naga bersayap di dadaku. Jemariku meremasnya erat. Untuk pertama kalinya sejak aku bereinkarnasi, aku benar-benar merasa bahwa hidupku tidak lagi sekadar mengikuti naskah game.

Aku akan menulis ulang takdirku sendiri.

Saat merasakan logam dinginnya menusuk kulitku. Api kecil dalam dadaku terus menyala, tapi bersamaan dengan itu, ratusan pertanyaan juga muncul.

Aku menoleh pada Irene. “Nenek… kalau benar darah naga mengalir dalam tubuhku… apa artinya bagiku? Apa yang harus kulakukan dengan warisan ini?”

Nenekku tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap perapian, seolah sedang melihat masa lalu yang jauh. Api yang berderak di sana memantulkan cahaya keemasan di mata emasnya, membuatnya tampak bagai naga tua yang tengah beristirahat.

“Arthur,” katanya akhirnya, suara itu tenang, namun penuh bobot. “Darah naga bukan sekadar kebanggaan. Ia adalah beban. Setiap generasi Pendragon yang mewarisi rambut hitam dan mata emas… ditakdirkan untuk diuji. Dunia akan menuntutmu lebih dari yang lain. Jika kau lemah, kau akan dimakan. Jika kau kuat, kau akan ditakuti.”

Aku terdiam, dadaku kembali sesak. Kata-kata nenek menusuk dalam.

Ditakdirkan untuk diuji… aku sudah melihat sendiri bagaimana sistem ini menjebakku dengan jalur kematian. Seakan dunia Libra memang benar-benar menyiapkan panggung untuk mengujiku.

Ibu, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. Suaranya lembut, tapi ada nada getir di baliknya.

“Arthur… ayahmu, Ardan Pendragon, juga pernah memikul beban itu. Rambut hitamnya… mata emasnya… semua orang mengakuinya. Dia bertarung demi keluarga ini, demi kerajaan ini. Namun… bahkan darah naga tidak membuatnya abadi.”

Suasana sejenak hening. Api perapian berderak, seperti ikut merasakan kepedihan yang masih tersisa di hati ibu. Aku menggenggam jemariku lebih erat. Nama ayahku… selalu datang bersama bayangan harapan dan luka.

Irene melanjutkan dengan nada yang lebih tegas, seakan ingin menghapus keraguan di hatiku.

“Arthur, dunia ini tidak akan memberimu pilihan yang mudah. Namun kau adalah naga yang tertidur. Dan cepat atau lambat, dunia akan terbangun oleh aummu.”

[DING!]

[Notifikasi Sistem: Jalur Warisan Darah Naga terbuka]

[Bonus Potensi Tersembunyi +30%]

[Quest Cabang Baru: “Bangkitkan Warisan Pendragon” — Status: Terkunci hingga usia 13 tahun]

Aku menatap notifikasi itu, jantungku berdegup kencang. Quest baru? Jadi sistem pun mengakui darah naga ini. Usia 13 tahun… artinya aku punya waktu tiga tahun untuk mempersiapkan diri.

Tiga tahun… untuk menulis ulang takdir yang seharusnya menelanku.

Aku mengangkat kepalaku, menatap nenekku dan ibuku. Untuk pertama kalinya sejak aku bereinkarnasi, aku tidak hanya merasa dilindungi. Aku merasa… diakui.

Dan aku bersumpah dalam hati, sambil menggenggam pin naga bersayap itu lebih erat dari sebelumnya.

Aku tidak akan menjadi batu loncatan siapa pun.

Aku akan menjadi naga yang terbang bebas dilangit di dunia ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 26 Bayangan yang Mengawasi

    Setelah malam itu — malam ketika bibit Ordre De L’Ombre pertama kali ditanam, Arthur menyadari satu hal: semua ini baru permulaan. Ia harus kembali sebelum matahari terbit. Ia tak ingin ibu maupun neneknya tahu bahwa ia menyelinap keluar mansion pada malam hari. Maka, dengan langkah cepat dan hati-hati, Arthur menyusuri jalan setapak yang membawanya kembali ke mansion keluarga Pendragon. Sebelum berpisah, ia meminta Neria, gadis yang baru saja dibebaskannya dari Kutukan Abaddon, untuk sementara tinggal di sebuah penginapan kecil tak jauh dari mansion, sekitar dua kilometer jauhnya. Itu adalah tempat aman, setidaknya sampai mereka merencanakan langkah selanjutnya. Namun apa yang tidak Arthur ketahui… adalah bahwa ia tidak pernah benar-benar sendirian malam itu. Dari kejauhan, di balik kabut malam yang dingin, sepasang mata tajam telah mengawasinya sejak awal. Irene Pendragon, neneknya

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 25 Awal Terbentuknya Ordre de l’Ombre”

    Pertempuran telah usai.Di tengah malam yang pekat, Arthur berdiri di depan reruntuhan kuil tua yang kini sunyi dan mencekam. Angin dingin berembus pelan, menyapu dedaunan kering dan membawa aroma besi yang pekat dari darah segar yang baru saja tertumpah. Ia menyarungkan pedangnya, langkahnya perlahan menembus keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara desir angin.Kuil itu dulunya adalah sarang para bandit — pusat dari segala kekacauan di hutan utara. Kini, setelah pertarungan berdarah yang mengakhiri nyawa pemimpin mereka, tempat itu hanya menyisakan puing-puing, sisa peralatan, dan hasil jarahan yang berserakan di mana-mana. Tumpukan emas, koin perak, peti artefak terlarang, hingga bahan makanan memenuhi setiap sudut ruangan. Jelas kelompok ini sudah lama beroperasi, terorganisir, dan berbahaya.Namun bukan harta yang menarik perhatian Arthur.Di sisi terdalam kuil, matanya menangkap sebuah lorong sempit yang nyaris tersembunyi di balik reruntuhan. Rasa ingin tahu menuntunnya mela

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 24 Kebangkitan Darah Naga

    Teriakan “Serang!” memecah sunyi malam.Api unggun bergoyang liar, bayangan para bandit bergerak ke segala arah. Dua orang menyerbu lebih dulu, langkah mereka kasar, seperti orang yang terbiasa bertarung di jalanan. Golok pertama menyambar pundakku dari sisi kanan, aku menepisnya dengan sisi datar pedang, getarannya menyusup sampai ke pergelangan tanganku. Golok kedua meluncur rendah, membidik lutut. Aku melompat kecil ke samping, memutar pinggang, lalu menghantam rusuk penyerangnya dengan gagang pedang.“Ugh!”Napasnya terhenti, tubuhnya limbung, lalu jatuh tak bergerak.“Bocah sialan!” maki bandit bertubuh kekar dengan tongkat besi besar. Ia menyerbu tanpa ragu, ayunan tongkatnya berat dan brutal. Aku tidak mundur. Satu langkah maju, pinggangku memutar, dan dengan teknik Cakar Naga yang baru kupelajari dari latihan sore tadi, bilah pedangku menyayat diagonal — cukup dalam untuk membelah udara dan merobek perutnya.“Arrrggghhh!!”Jeritannya menembus langit malam. Darah memercik memba

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 23 Jejak Darah Pertama

    Malam sudah melewati puncaknya ketika suara itu terdengar di dalam kepalaku. Terasa dingin, tanpa emosi, hanya sebaris teks yang muncul di ruang pikiranku.[DING!][Misi Samping: Hancurkan Sarang Bandit di Hutan Utara][Hadiah: Item Misterius + EXP]Aku menatap kosong langit-langit kamar yang temaram. Nafasku masih terasa berat sisa latihan sore tadi. Sendi-sendi seolah berderit protes, tapi kilau kalimat biru itu menyalakan sesuatu yang lebih keras daripada rasa sakit."Meski terkadang sistem memberikanku misi secara tidak terduga, hadiahnya pasti bagus. Apalagi aku masih memiliki rasa semangat bertarung setelah mengalahkan bayangan itu.”Aku bangkit pelan. Kamar gelap; hanya sepotong cahaya bulan yang menyelinap dari sela tirai. Aku mengenakan mantel tipis, menutup pin Pendragon dengan kain kusam, lalu menyelipkan pedang latihan berpelindung tipis, bilah baja pendek yang biasa kupakai di arena latihan. Beratnya terasa pas di telapak

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 22 Bayangan Masa Lalu dan Permulaan Takdir

    Satu jam berlalu sejak Irene memanggil makhluk bayangan itu. Arena latihan kini sunyi, hanya terdengar napas terengah-engah dari seorang bocah laki-laki yang terbaring di tengah lantai.Arthur tergeletak tanpa daya. Seluruh tubuhnya memar, napasnya memburu berat, dan keringat membasahi lantai marmer di bawahnya. Setiap helaan napas terasa seperti beban besar yang menghantam dadanya. Ia mencoba menggerakkan jari, sekadar untuk duduk, namun bahkan itu pun terasa mustahil.Pertarungan barusan benar-benar menguras segalanya.Bukan hanya tenaga… tetapi juga harga dirinya.Di sisi arena, Irene berdiri dengan tangan bersedekap. Wajahnya tenang, bibirnya melengkung membentuk senyuman samar saat memandang cucunya. Bukan senyum mengejek, melainkan kebanggaan yang tidak ia sembunyikan.“Cukup bagus…” gumamnya pelan.Bagi Irene, ini adalah pertama kalinya ia menyaksikan sendiri kemampuan cucunya dalam pertarungan nyata. Dan hasilnya… melebih

  • Sistem Penakluk Heroine   Bab 21 Bayang-Bayang Pertunangan

    Malam itu berakhir dengan ketegangan yang belum sepenuhnya terurai. Setelah Irene Pendragon menyingkap sedikit kebenaran mengenai sosok berjubah hitam, suasana di aula menjadi berat.Arthur hanya bisa menunduk dalam, pikirannya dipenuhi gema kata-kata yang baru saja didengarnya. Celina di sampingnya terdiam, wajahnya pucat, seolah dunia yang ia kenal tiba-tiba retak.Akhirnya, Irene mengibaskan tangan, memberi isyarat bahwa pembicaraan malam ini selesai.“Baiklah, cukup. Istirahatlah."Pelayan segera masuk, memberi hormat, lalu membimbing Celina menuju kamar tamu di bagian timur. Gadis Ravencroft itu berjalan dengan kepala sedikit tertunduk, seakan menyembunyikan badai yang berkecamuk di hatinya. Sebelum berbelok, ia sempat menatap Arthur sekilas, tatapannya singkat, dingin, namun bergetar samar.Arthur hanya bisa membalas dengan anggukan kecil. Ada jarak di antara mereka yang belum pernah terasa sedingin ini.Sementara itu,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status