Ayahanda menjatuhkan kertas di tangannya dan menatapku. Yang mengejutkanku, tak ada amarah di matanya. Karena terbiasa dengan ketidaksetujuannya, aku merasa tidak adanya amarah itu sedikit meresahkan.
"Matilda," katanya sambil berdehem. "Duduk."
Dia menunjuk kursi di depan mejanya. Kursi kosong itu memanggil seperti pertanda. Aku bergerak pelan, meskipun aku yakin debaran gugup yang tiba-tiba di dadaku cukup keras untuk kudengar memukul gendang telinga.
Aku tak tahu apa yang akan dia katakan, tetapi dari kerutan di wajahnya dan ketegangan di matanya, aku tahu itu serius.
"Aku baru saja mendapat kabar bahwa Kaisar Otto ingin kau mati," katanya cepat, seolah sedang berbicara kepada para penasihatnya tentang urusan negara. Aku menelan ludah. Pria yang menghantui mimpiku ingin membunuhku.
Apakah mimpi burukku adalah firasat tentang apa yang akan terjadi?
Aku merasakan ruangan berputar ketika beban berat mengisi dadaku, membuatku sulit bernapas. "Sepertinya Otto akan melakukan apa saja untuk mencegah pernikahanmu dengan Putra Mahkota Kievan. Karena itu, aku telah menyewa seorang pengawal untuk membantu menjaga keamananmu. Dia harus tetap di sisimu di semua acara dan kapan pun kau melangkahkan kaki di luar tembok istana. Apakah itu jelas?"
Dia berbicara begitu cepat sehingga aku butuh beberapa detik untuk mencerna setiap katanya.
Aku ingin mengajukan selusin pertanyaan kepadanya.
Siapa dia? Dari mana asalnya? Bisakah dia dipercaya?
Tapi Ayahanda tidak suka ditanyai, jadi aku berhasil menahan diri dan hanya mengangguk.
Aku menatap dinding di belakangnya, pada potret ibuku, berharap menemukan sedikit pelipur lara, sedikit kepastian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku benci karena aku hanya bisa melihatnya di ruang kerja Ayahanda. Aku berkali-kali bersikeras agar potretnya digantung di dekat aula utama. Wajah siapa lagi yang lebih baik untuk menyambut tamu? Ayahanda tak pernah setuju. Dia hanya ingin ibu untuk dirinya sendiri.
"Matilda," kata Ayahanda mengalihkan pikiranku.
"Ya, Ayah?"
"Apakah kau mengerti betapa seriusnya masalah ini? Kau tak boleh terpisah dari pengawalmu. Nyawamu mungkin sangat bergantung padanya." Dia bertanya padaku dengan alis terangkat. Perasaan gelisah menjalar jauh ke perutku.
"Saya mengerti. Kapan pengawal ini akan tiba?"
"Segera. Kau boleh pergi sekarang."
Begitu saja. Dia selesai begitu saja, tanpa berusaha menenangkanku.
Aku duduk di sana, ternganga dan bengong. Kalau Ayahanda khawatir, bukankah itu berarti dia peduli?
Dia tak menungguku pergi sebelum kembali bekerja. Dan aku sadar bukan aku yang dia pedulikan. Yang membuatnya takut adalah apa yang akan terjadi pada kerajaan kami kalau aku mati.
"Oh, dan Matilda?" katanya. "Aku berharap bertemu denganmu di turnamen."
Aku lupa. Hari ini adalah hari pembukaan turnamen jousting. Erangan pelan tercekat di tenggorokanku. Aku sedang tidak ingin menghadiri acara sosial seperti itu. Tahun lalu, aku sengaja melewatkannya.
***
Aroma bawang putih dan rempah yang menyenangkan menyelimuti lorong sempit berlangit-langit rendah yang bercabang menjadi beberapa ruangan.
Dapur penuh kehidupan. Para juru masak sibuk dan para pelayan menjalani rutinitas harian mereka. Seharusnya aku sedang dalam perjalanan ke turnamen, tapi kupikir aku bisa mampir sebentar ke kedai roti untuk mengunjungi Blanche dulu. Sambil berdesakan, aku melewati para pelayan di lorong yang menghubungkan dapur dengan kedai roti.
Aroma roti segar yang hangat dan menenangkan menyambutku di ruangan kecil itu. Sekilas aroma apel dan kayu manis masih tercium di dekat oven, di samping jendela yang terbuka. Panci, wajan, penggilas adonan, dan keranjang berserakan di meja kerja, dan tak ada permukaan yang tak berlumur tepung.
Blanche bekerja di belakang, di meja sudut kecil, menumbuk adonan dengan buku-buku jarinya lebih keras dari biasanya. Setelah menghabiskan sepanjang pagi menenangkan kecemasan Colette dan mengatasi kecemasanku sendiri, aku sangat membutuhkan temanku. Blanche. Berbeda dengan Colette, Blanche adalah seseorang yang benar-benar kupercaya, seseorang yang dengannya aku bisa berbagi ketakutan dan kesedihanku tanpa perlu khawatir dia terkena stroke.
"Baunya seperti pai apel," kicauku.
Blanche berhenti dari pekerjaannya, terkejut. Taburan tepung menutupi hidung dan pipinya.
"Oh, hai Em," Blanche biasa memanggilku hanya dengan huruf awal namaku. "Apa yang membawamu ke sini sepagi ini?"
Aku dan Blanche bertemu saat masih anak-anak. Bibinya, Helie, tukang roti, membawanya ke istana untuk menghindari pukulan bapaknya di rumah. Karena gemar menjelajah, aku pernah beberapa kali melihatnya di hutan, tempat dia berkeliaran membawa keranjang kecil untuk mengumpulkan bunga. Blanche akan berjalan-jalan di sekitar pepohonan dan semak-semak sampai keranjangnya penuh.
Menghabiskan waktu dengan anak-anak lain di istana, aku segera menyadari bahwa aku berbeda. Demi punya teman, aku berusaha sebaik mungkin untuk tertarik pada boneka dan menari. Mengingat kedua kakiku yang kiri, menari hampir mustahil. Dan boneka, yah, hanya ada sedikit permainan pura-pura yang bisa kumainkan sebelum kehilangan minat. Saranku tentang boneka petualang yang tinggal di hutan disambut dengan tatapan aneh dan keheningan. Tak lama kemudian, aku sudah berada di hutan, bermain pura-pura sendirian, mengejar monster khayalan dengan tongkat, menggali lubang, dan membuat kue lumpur. Tak pernah sehari pun aku pulang tanpa pakaian yang benar-benar kotor.
Butuh beberapa hari bagiku untuk mendekati Blanche, terutama karena aku tahu aku tidak diizinkan bermain dengan pelayan, tetapi juga karena jauh di lubuk hati aku pikir dia juga akan menganggapku berbeda. Aku tak tahan ditolak lagi. Namun, suatu hari, sekuntum bunga jatuh dari keranjangnya.
"Tunggu. Kamu menjatuhkan ini," kataku, sambil mengulurkan bunga ungu yang indah itu. Sedikit khawatir, Blanche ragu-ragu mengambilnya sebelum berlari ke halaman. Kali berikutnya aku sudah siap dengan keranjangku sendiri.
"Boleh aku ikut?" tanyaku.
Dia menjawab dengan anggukan tanpa kata. Dia tidak mau bicara kecuali aku menanyakan sesuatu, jadi awalnya, aku harus banyak bertanya. Namun akhirnya, dia mulai terbuka padaku. Tak lama kemudian, kami berlarian dan membuat pai lumpur bersama.
Para staf menatap kami dengan mata waspada dan gugup, tak yakin bagaimana menghadapi putri bangsawan yang berkeliaran di dapur mereka, mengejar seorang pelayan. Hanya masalah waktu sebelum perhatian mereka memudar. Anak-anak staf lainnya juga terbiasa dengan kehadiranku, tetapi tetap menjaga jarak, diinstruksikan oleh orang tua mereka untuk tidak bergaul dengan bangsawan.
Kecuali Sebastien, anak laki-laki bengal yang tak kenal takut pada apa pun juga.
Leon mengguncangku lagi."Putri."Dia menatapku, matanya tegas dan mendesak. Dia berdiri begitu dekat hingga aku menyadari warnanya bukan hitam, seperti yang kukira sebelumnya, melainkan biru tua.Aku menggeleng perlahan."Kamu ingat pelayan mana yang mengisi cangkirmu?"Gambar-gambar di kepalaku berkelebat tak beraturan, sebuah ingatan yang tak konsisten tentang Sebastien dan anak laki-laki lain yang mengisi cangkir. Aku kurang memperhatikan. Tapi tak masalah, aku sudah tahu jawabannya."Bukan dia," gumamku.Saat itu, para penjaga menyerbu halaman. Jeritan telah berhenti, digantikan oleh isak tangis dan rintihan. Beberapa gadis telah menemukan kenyamanan satu sama lain, meringkuk bersama, berpegangan pada lengan dan tangan satu sama lain.Salah satu penjaga menggendong Marylise dan membawanya pergi. Leanne memelototiku sambil menangis. Lalu, dengan langkah bergegas, dia menyerbu ke arahku. Yang mengejutkan sekaligus melegakan, Leon menghalangi jalannya, menggunakan tubuhnya sebagai b
Saat pertama kali melangkah ke halaman, para wanita sibuk mengobrol. Lega rasanya, tak seorang pun memperhatikan, kecuali sekilas pandang. Namun, tak lama kemudian, seseorang melihat memarku dan napasku yang tersengal-sengal, yang langsung membungkam semua percakapan. Mereka berbisik dan bergumam satu sama lain.Aku melihat Leanne, bibirnya melengkung geli.Begitu gampang ditebak.Dia berbalik dan membisikkan sesuatu kepada sahabatnya, Marylise. Mereka berdua menatapku dan terkikik.Dame Loana melangkah keluar dari balik sekelompok gadis dan membungkuk hormat. "Yang Mulia." Mata abu-abu bajanya mengamatiku dengan saksama. Ia mengangkat jari telunjuk ke pipinya dan menggelengkan kepala pelan.Aku menggigit bibir bawahku. Meskipun aku tidak terlalu menyukai Dame Loana, aku selalu menghormatinya. Dia membawa dirinya dengan keanggunan dan etiket yang begitu halus sehingga orang hanya bisa berharap untuk menjadi seperti dirinya. Dan terlepas dari usianya, dia tetap tampak awet muda. Aku ta
Aku mengamati pakaiannya yang indah, kualitas senjatanya, kudanya yang gagah berani yang merespons sentuhan sekecil apa pun. Tak ada yang menunjukkan bahwa dirinya seorang prajurit biasa."Untuk seorang pengawal, kamu tentu hidup dengan baik."Kali ini dia menoleh ke belakang, tetapi tak ada yang terbaca di mata biru tua itu."Aku mengabdi pada mahkota Kievan Rus. Kami mengurus diri kami sendiri."Perasaan lega membanjiri diriku. Bukan pembunuh, bukan mata-mata—hanya pengawalku. Meski terasa kurang memadai untuk seseorang yang memancarkan bahaya seperti panas dari bengkel pandai besi. Tetap saja, berbulan-bulan bepergian dengan pria pendiam dan misterius ini akan menguji kesabaranku.Namun kemudian kata-katanya meresap sepenuhnya. "Tunggu—kamu dari Kievan? Mengapa ayahandaku meminta salah satu anak buah rajamu?""Tidak. Kaisar Nikolai mengirimku ke sini atas keputusannya sendiri."Lebih banyak pertanyaan bermunculan di ben
Panik memberiku kekuatan yang tak kusadari kumiliki. Aku meronta-ronta sekuat tenaga. Lututku menemukan sasarannya di antara kedua kakinya.Dia melepaskanku sambil melolong, dan aku berlutut, merangkak menuju pelarian dengan kaki gemetar.Aku sudah setengah jalan menuju kebebasan ketika tangannya mencengkeram gaunku, menarikku kembali ke dalam. Jeritanku terdengar nyaris seperti suara serak."Gadis bodoh."Mungkin aku bodoh. Seandainya aku tak kehilangan pisau itu, seandainya aku lebih kuat, lebih cepat, lebih pintar. Tapi penyesalan takkan menyelamatkanku sekarang.Selama aku masih bernapas, aku punya kesempatan.Dia mengangkat lengannya seperti kapak algojo. Aku berguling menjauh di detik terakhir, berlari ke kamar tidur tempat pisauku menunggu. Jari-jariku menyentuh gagangnya tepat saat sesuatu menghantam kakiku, membuatku terkapar. Aku mengabaikan rasa sakit dan menerjang pisau itu lagi, tetapi sepatunya mendarat keras di tanganku, mengg
Kereta berhenti mendadak, hampir membuatku terlempar dari tempatku. Percakapan mendengung di sekitarku. Penjual dan pembeli tawar menawar, anak-anak tertawa, roda gerobak bergesekan dengan batu bulat. Simfoni kekacauan yang membuat dadaku sesak oleh kenangan.Pertama kali aku memasuki alun-alun pasar Les Halles, kebisingannya terasa luar biasa. Kini, rasanya seperti kebebasan.Aku menunggu hingga Lucie menghilang ke dalam labirin kios pedagang sebelum turun dari gerobak, berhati-hati agar tak ketahuan kusir. Sepatu botku berdecit di alun-alun yang berlumpur, tempat papan-papan toko warna-warni berebut perhatian di antara kerumunan. Les Halles berfungsi sebagai pusat pedagang utama Arles, kedekatannya dengan istana menjadikannya satu-satunya kota yang diizinkan untuk kukunjungi, meskipun tak pernah sendirian, dan tentu saja tak pernah menyamar.Alun-alun berdenyut dengan kehidupan. Para pedagang memajang barang dagangan mereka di atas meja-meja kayu kasar sementara para pelanggan berke
Setelah memastikan jalan aman, aku bergegas ke sayap timur bawah istana, ke kamar Blanche. Koridor-koridor yang biasanya akrab terasa berbeda sekarang, penuh dengan beban rahasia dan pilihan yang mustahil. Kalau aku harus menyelinap ke kota tanpa diketahui, aku harus melakukannya dengan menyamar.Aroma roti masih tercium di udara, menempel di pakaian dan seprai tempat tidurnya. Meskipun kecil, tempat ini jauh lebih nyaman daripada ruangan kamarku yang luas dan kosong. Sayangnya, tempat tidurnya kurang nyaman. Setidaknya dia punya bantal empuk dan lembut yang berhasil kubawakan untuknya.Aku sering mengunjungi Blanche setelah makan malam. Ini salah satu dari sedikit tempat di mana kami bisa bersantai dan menjadi diri sendiri, tanpa perlu khawatir siapa pun yang mungkin menguping pembicaraan kami. Aku seharusnya tidak turun ke area istana ini, tetapi mematuhi aturan bukanlah salah satu keahlianku.Aku menggeledah barang-barang Blanche, mencari sesuatu yang bisa kupakai untuk menyamar. K