Alvaro terdiam waktu keluar dari rumah orangtuanya, bagaimana ini? Sedangkan dia sama sekali tidak pernah mengurus dirinya sendiri, tidak bisa masak, mencuci apalagi untuk urus rumah. Dia punya rumah namun tidak terlalu besar. Dan hanya ada dua kamar di rumah itu. Rumah yang dibelinya dan berniat untuk direnovasi untuk ditinggali sendirian. Justru tinggal sendirian itu merupakan hal yang terwujud.
Semua bajunya ada di mobil yang dibawa keluar. Apartemennya disita oleh orangtuanya, diberikan mobil dan juga sisa uang di tabungan pribadi.
Apa-apaan ini?
“Tanggung jawab ke wanita yang kamu hamili, bawa dia menghadap ke keluarga ini sampai kamu benar-benar bisa tanggung jawab sama dia.”
Sebuah pesan dari orangtuanya untuk mencari tahu soal wanita yang dihamili oleh Alvaro. Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Tidak sama sekali untuk melakukan itu.
Selesai membereskan rumahnya sendirian dan membersihkan debu sampai dadanya sesak untuk mengatasi debu di rumah itu. Alvaro benar-benar sudah menjadi pria gila lantaran menyesal menolak Anjani yang terlambat waktu itu entah apa alasannya. Yang jelas seharusnya dia memberikan toleransi kepada wanita itu.
Malam harinya dia menghubungi Rena tapi wanita itu tetap menolaknya dan mengatakan sudah cukup untuk menjalin hubungan dengan Alvaro.
Sial, memang benar-benar kehidupannya sangat aneh sekali oleh ulah Anjani.
Selesai makan malam, akhirnya ia menghubungi Anjani lagi dan mendapatkan respons sangat cepat dari wanita itu. “Kita ketemu di luar. Aku akan menjemputmu sekarang.” Alvaro tidak perlu lagi bicara formal dengan Anjani.
Untuk menepati janjinya, segera dia menjemput wanita itu ke tempat tinggalnya. Akan tetapi ketika sampai di sana, dilihatnya Anjani ada di bawah lampu penerang jalan. Alvaro menghampiri dan keluar dari mobilnya.
“Kenapa kamu di sini?”
“Bukankah kamu bilang kita bertemu di sini?”
Alvaro mengiyakan. Pertanyaannya memang bodoh. “Kamu harus tinggal denganku.”
Mata Anjani melotot sempurna. “Apa? Tinggal sama kamu?”
“Aku ini pria, mana bisa mengurus diri sendiri. Gara-gara kamu, aku dipecat dari kantor sama Papa. Kemudian diusir juga dari rumah. Mau nggak mau aku harus cari kerja karena ulah kamu. Lagi pula kenapa kamu nekat sekali mengatakan kamu ... hamil?” Alvaro menurunkan nada bicaranya kepada Anjani karena tidak mau orang lain dengar.
“Aku sudah pernah bilang, aku lagi ada urusan dengan orang lain.”
“Tapi tidak harus kamu lakukan itu untuk menghancurkanku, kan?”
“Kamu tidak tahu aku berharap besar pada perusahaanmu. Aku adalah seorang kakak dari dua adik laki-laki yang ingin papanya berhenti bekerja dan hidup bersama dengan Mama tiri.”
Alvaro diam, meski itu bukan urusannya. Tapi dia memang benar-benar diam oleh ucapan Anjani.
Dia memberanikan diri menatap Anjani. “Ke mana Ibu kandungmu?” Alvaro bertanya dengan perlahan kepada Anjani berharap menemukan jawaban.
Anjani menoleh ke arah lain.
“Surga.”
Pria itu mengangguk mendengar jawaban itu. “Aku nggak ada saudara dari Ibu yang sama. Tapi keinginanku bahagiakan mereka itu sangat besar. Mama tiriku sudah merawatku sedari kecil, dia sudah lelah sekali pasti. Aku ingin Papa berhenti bekerja dan hidup sama Mama, waktunya mereka nikmati masa tua. Aku selama ini kuliah dan terus cari ilmu yang tinggi, aku lupa Papa sudah mulai tua.”
Alvaro ingin berdehem atau pergi dengan segera. Ada harapan orang lain yang dia patahkan. Tanpa mendengar alasan Anjani waktu itu. “Lalu apa?”
“Lalu apanya? Kamu juga menghancurkanku, aku membantu seorang nenek tua di jalan yang kakinya berdarah. Aku bukan manusia yang abai terhadap hal seperti itu. Bukan manusia yang mudah untuk tidak peduli terhadap orang lain.”
Alvaro mengiyakan. “Aku harus cari kerja.” kata Anjani lagi.
“Berapa gaji yang kamu minta?”
Anjani tidak menanggapi, tapi Alvaro mengatakan. “Aku diusir orangtuaku. Aku tidak bisa urus diri sendiri. Aku butuh orang. Aku akan kasih kamu gaji, kita jaga rahasia masing-masing.”
Wanita itu menatap Alvaro dengan berani sekarang. “Maksudnya?”
“Aku punya restoran, kamu di sana. Kamu urus bagian keuangan. Tapi satu hal, kita tinggal bersama. Kamu hanya urus itu saja, bukan apa-apa. Aku nggak mungkin makan masakan yang dibeli atau dari restoranku sendiri.”
“Terus?”
“Kamu yang masak. Aku janji, aku tanggung semua biaya hidup kamu. Gaji bersih untuk orangtua kamu. Kamu tunjukkan restoran tempat kamu kerja. Cuman aku minta kamu tinggal sama aku, bantu aku di rumah. Jujur aku bukan orang yang bisa urus diri.”
“Aku jadi pembantu?”
“Hanya bantu aku siapin makanan.”
“Apa kamu tidak mau sewa pembantu? Kenapa harus aku?”
“Anggap aku tanggung jawab atas ulahku, Anjani. Aku nggak punya pilihan, kamu punya tanggungan. Kamu butuh uang, aku butuh orang yang bisa aku percayai untuk konsumsiku. Aku nggak mudah percaya sama orang.”
“Lalu aku kenapa dipercaya?”
Al diam, sementara dia bisa percaya kepada wanita ini kalau mereka bisa bekerja sama dengan baik. “Kamu tahu? Aku putus dengan kekasihku yang waktu itu. Kami hampir menikah.”
“Maaf.”
“Lupakan, aku hanya memberi penawaran itu. Kita sama-sama saling membutuhkan. Kamu butuh uang untuk saat ini. Aku juga membutuhkan kamu soal makanan.”
“Oke, aku bakalan minta izin. Aku mau bilang aku interview besok dan diterima di restoran sebagai manager?”
“Itu lebih baik, karena bukan di daerah sini. Bilang saja kamu harus tinggal di kos. Usahakan kamu juga jangan bawa keluargamu ke rumahku. Aku bisa mati kutu untuk kedua kalinya. Sudah cukup aku menjadi korban ditendang dari rumah.”
Tidak lama kemudian Alvaro mengeluarkan sejumlah uang. “Pakai untuk besok kamu ke tempatku. Kamu naik taksi.”
“Aku ada uang.”
“Tidak masalah. Tapi aku harap kamu bisa untuk jaga rahasia ini.”
Sedingin apa pun dia sebagai seorang pria yang hampir saja menikah. Tetap saja dia paling tidak bisa untuk melihat seorang wanita bersedih. Namun ketika mendengar cerita dari Anjani mengenai dia hidup dengan adik dan juga seorang ibu tiri. Rasanya itu pasti sulit sekali untuk tetap berada di rumah.
Meskipun dirawat dengan baik oleh ibu tiri pasti ada rasa tidak nyaman juga dan ingin memberikan yang terbaik. “Sepuluh juta perbulan, apa kamu mau?”
Anjani menatap Alvaro lekat sekali kali ini. “Apa kamu serius?”
“Ya, mungkin itu lebih dari cukup untukmu dan juga adikmu. Tapi untuk kebutuhan makan dan kebutuhan kamu selama di rumahku. Jangan khawatir, aku tanggung itu semua.”
Anjani mengangguk dengan cepat. “Tentu.”
“Besok kamu harus datang.”
Alvaro pamit dari rumah wanita itu dan berharap bahwa dia benar-benar bisa diurus dengan baik oleh Anjani. Mempekerjakan Anjani harusnya dari awal. Semua masalah ini tidak akan terjadi. Apalagi kepalanya sakit sekali mengingat kebodohannya yang mengabaikan keterlambatan dua menit lantaran membantu orang lain.
Tidak mau mendengar penjelasan yang dilayangkan oleh Anjani. Dan ini adalah akibatnya.
Alvaro mendapatkan kabar dari Anjani kalau wanita itu akan segera ke restoran yang sudah diberitahukan olehnya. Sementara saat ini dia sedang menemani sang nenek di sana. Anjani juga memberitahukan kalau dia akan tiba setengah jam lagi karena keadaan yang sedikit macet. “Kamu dengar nggak nenek cerita?” “Ya, Nek. Aku dengar.” “Kamu bisa-bisanya ditendang dari rumah sama Papa kamu. Lagian kamu juga kan mau nikah sama, Rena.” “Jangan bahas dia, Nek. Nenek tahu sendiri kan kalau kesalahan itu nggak akan pernah bisa bikin semua balik.” “Emang masalah apa?” Tidak mungkin cerita untuk saat ini. Apalagi Anjani yang akan datang kemari, kalau Anjani datang sudah pasti digampar oleh neneknya Alvaro yang sudah menghancurkan hubungan pria itu dengan wanita lain. Mereka makan bersama sampai Anjani menghubungi. Alvaro mengangkat tangannya ketika Anjani datang. Wanita itu menghampirinya dan ia mempersilakan wanita itu duduk. “Duduklah!” Anjani melepaskan tasnya dan berkata. “Nenek, kita ket
Anjani sudah selesai menyiapkan semua barang-barangnya. Beruntung juga orangtuanya percaya kalau Anjani bekerja di salah satu restoran dengan memegang beberapa kendali di sana untuk mengurus restoran milik Alvaro, yang sebenarnya dia adalah asisten di rumah pria itu sebagai juru masak pribadinya pria tersebut.Ia memilih taksi online untuk mengantarkannya. Mulai dari pakaian dan juga sepatu serta alat make up sudah disiapkan oleh Anjani, hanya menunggu papanya untuk pulang. Dia ingin meminta izin dengan baik-baik pada papanya. Untuk saat ini Anjani juga sudah bersama dengan kedua adiknya dan juga mama tirinya.Mereka mengobrol sebelum Anjani berangkat.“Pesan Mama hanya satu sama kamu. Jaga diri baik-baik saat kamu lepas dari pengawasan. Jangan kecewakan Mama sama Papa.”Anjani juga tahu bagaimana harus mengurus dirinya dengan baik. Apalagi hanya ada dia di rumah ini yang perempuan. Maka, mau tidak mau harus tetap menjaga diri dengan sangat baik. Wanita itu kemudian tersenyum kepada m
Alvaro sedang menelepon dengan salah satu anak buahnya di kantor sang papa yang sampai saat ini masih ada di sana. Tapi dia juga butuh informasi banyak mengenai perusahaan tersebut. Akan tetapi apa untungnya berharap pada perusahaan sang papa untuk saat ini. Lebih baik fokus untuk mengatur siasat cara agar penjualan di restorannya ini terus meningkat.Namun, saat Alvaro sedang sibuk dengan semua laporan itu. Tiba-tiba saja dia mencium aroma masakan yang sangat enak sekali. Beberapa waktu lalu Anjani mengatakan kalau dia akan masak mulai hari ini untuk Alvaro.Tapi begitu dia sibuk bekerja. Malah tercium sekali masakan itu. Meskipun dia izin untuk tidur tadi.Dia segera menyelesaikan teleponnya dengan anak buahnya. Kemudian keluar dari kamarnya untuk menuju ke dapur. Dilihatnya Anjani sedang menata piring di atas meja dan sudah siap untuk hidangan kali ini.“Apa sudah selesai?” Alvaro menghampiri. Anjani mengangguk mendengar pertanyaan Alvaro.“Ya. Semua sudah selesai. Mau langsung mak
Paginya Anjani tidak dibuat berantakan oleh Alvaro, pria itu juga tidak membuatnya harus buru-buru melakukan apa pun. Malah Alvaro sangat santai sekali saat Anjani menyiapkan sarapan juga menyetrika bajunya tadi. “Lain kali kamu nggak usah nyuci. Laundry saja!” “Ada mesin cuci, nggak usah boros duit.” Pria itu yang santai sekali mendengar jawaban dari Anjani. “Apa kamu tidak lelah?” “Akan lebih lelah kalau aku tidak mengerjakan apa-apa. Gajiku tidak sedikit.” “Gajimu hanya untuk tugas restoran saja sebenarnya. Tapi karena kamu mau mengerjakan tugas rumah. Mau nggak mau aku harus tambahin.” Anjani tidak berharap seperti itu. Numpang hidup di rumah Alvaro bukan berarti dia bebas melakukan apa pun. Sebagai wanita yang sadar kalau dirinya tidak bisa melakukan banyak hal di sini. Maka dia memang harus melakukan pekerjaan rumah. Hidup numpang dengan Alvaro kurang enak apalagi? “Hari ini kita akan pergi ke restoran bukan?” “Tentu saja. Kamu juga harus ke sana, kamu terima banyak tugas
Alvaro datang ke kantor karena permintaan dari papanya. Selesai dari restoran dan sudah mengantarkan Anjani pulang juga. Waktu dia di dalam ruangan, tiba-tiba saja papanya mengatakan. “Kamu sudah temukan wanita yang akan kamu nikahi?”Tapi benar-benar di luar dugaan bahwa orangtuanya masih menganggap itu adalah hal yang serius. Mana mungkin juga Alvaro hancurkan nama baik keluarga dengan cara yang seperti itu. “Aku nggak lakukan itu, Pa.”“Nggak akan ada orang yang teriak-teriak untuk minta tanggung jawab kamu kalau emang nggak kamu lakukan, Al. Siapa yang nggak kaget dengan pernyataan itu? Kamu sendiri udah ngecewain kami semua.”Mau menjelaskan seperti apa lagi? Orangtuanya sudah tidak percaya dengannya. Alvaro sudah melakukan yang terbaik selama menjadi anak, tapi ini yang didapatkan. “Kalau Papa nggak percaya aku nggak masalah.”“Al, yang namanya hamil itu harus kamu pertanggungjawabkan. Papa hanya mau kamu untuk bersikap dewasa, Nak.”Tanggung jawab seperti apa? Menyeret Anjani a
“Anjani, kamu udah siap?”Gadis itu menoleh ke arah Alvaro yang dengan setelan rapinya di pagi hari. “Kakak mau ke mana?”“Kamu nggak mau dianterin pulang, nih”Alvaro mau mengantarkan Anjani pulang karena dia tahu bahwa Anjani anak satu-satunya perempuan di keluarga itu. Jadi mau tidak mau harus membawa Anjani ke sana. Berkenalan dengan orangtuaya Anjani juga tidak akan ada masalah.Anjani yang sedang menyapu di ruang tengah dihampiri olehnya. “Kakak mau ikut pulang emang?”“Ya, biar orangtua kamu juga tahu kamu kerja dengan baik di sini. Biar mereka tuh nggak khawatir.”“Tapi kak, mereka nggak tahu kita tinggal bareng.”“Jangan bilang begitu ke mereka. Aku juga kalau ketahuan orangtua, pasti bakalan nikah hari ini juga sama kamu. Jangan sampai ketahuan sama siapa pun kalau kita itu tinggal berdua.”Anjani menganggukkan kepalanya kalau ia tidak mau ketahuan juga oleh siapa pun bahwa tinggal bersama dengan Alvaro, jadi bencana besar bagi keluarganya. Ia juga tidak mau ketahuan bahwa d
“Benarkah ini Ibu tiri?” ucap Alvaro di dalam hati ketika melihat perlakuan ibu tirinya Anjani yang sangat ramah sekali. Juga sudah menyiapkan banyak sekali bahan makanan yang akan dibawa ke tempat tinggal mereka. Anjani mengaku tinggal di kos. Jadi dia menyiapkan semua ini oleh ibu tirinya.Kalau memang ibu tiri, tidak seperti ini perlakuannya. Namun, dia malah menganggap bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya Anjani. Apalagi dua adiknya yang laki-laki seperti bukan orang asing saja. Mereka adalah anak yang berbeda ibu dengan Anjani. Tapi perlakuan mereka sangat baik sekali. Memberikan uang kepada Anjani hasil menyimpan uang mereka selama ini yang dipaksa kepada Anjani untuk menerima itu semua.Walaupun rasanya masih tidak percaya. Akan tetapi Anjani tetap bahagia sekali melihat wanita itu tersenyum.Gelak tawanya Anjani juga lepas sekali di sini. Mana pernah dilihat oleh Alvaro bahwa wanita ini ternyata wanita yang sangat ceria.Ketika pamitan, ia diberikan uang juga oleh papanya. Di
“Anjani.”Alvaro memanggil beberapa kali pada wanita itu. Saat dilihatnya Anjani sedang makan keripik kentang di ruang tengah sambil menonton televisi. “Ada apa, Kak?”“Besok ke kantor, ya. Kamu jadi sekretarisku.”"Heh?"Pulang-pulang malah mengungkapkan kepada Anjani bahwa kabar baik yang diberikan oleh Alvaro pada wanita itu. Dikembalikannya Alvaro ke kantor oleh Arman adalah kabar baik untuk saat ini. Kabar buruknya adalah dia tidak ingin kalau Anjani ketahuan telah melakukan kesalahan saat itu.Alvaro yang duduk di sebelah Anjani. “Tapi kamu nggak masalah tinggal sendirian? Jarak dari rumah kamu ke kantor juga cukup jauh. Kalau nggak keberatan, kamu tinggal di sini. Aku bakalan balik lagi ke apartemen atau di rumah orangtuaku. Nggak mungkin kita tinggal bareng lagi, Anjani.”Anjani menganggukkan kepalanya. Tidur sendirian di sini, kalau ada apa-apa juga harus mengurus sendiri. “Kakak tega ninggalin aku?”“Kenapa emangnya?”“Aku nggak pernah tinggal sendirian, Kak. Jadi kalau kaka