MasukSoraya duduk di ujung ranjang, gaunnya belum berganti. Matanya terpaku pada jam dinding yang jarumnya mendekati angka delapan. Baru saat itu ia teringat janji dengan Damien. Malam ini mereka seharusnya bertemu untuk latihan pernyataan media, menyiapkan strategi untuk konferensi berikutnya. Dadanya sesak.
Ia meraih ponsel, ingin mengetik pesan, tetapi pintu kamar terbuka. George Estenne berdiri di ambang pintu. Senyum hangatnya seharusnya menenangkan, tetapi Soraya justru semakin tegang.
“Kau belum ganti baju?” tanya George, suaranya terdengar lembut, seperti biasa.
Soraya berdiri cepat. “Aku… baru ingat. Aku ada janji dengan Damien malam ini. Kami harus latihan…”
Adrian menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang saja. Kau bisa menemuinya setelah makan malam. Damien tidak akan pergi ke mana-mana.”
“Tapi ini penting. Dia bilang…”
“Tidak ada tapi,” potong George, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Kita belum makan bersama ejak siang. Duduklah bersamaku. Kita makan seperti biasa.”
Soraya menahan napas. Ada sesuatu pada tatapan mata suaminya yang membuatnya tidak bisa membantah. Seperti biasa, George tidak perlu meninggikan suara untuk membuatnya tunduk.
**
Mereka duduk di meja makan panjang yang sepi. Hanya dua kursi yang terisi, tetapi keheningan terasa menyesakkan. George memotong daging dengan tenang, seolah tidak ada badai media di luar sana. Soraya menatap piringnya, berusaha makan, tapi setiap suapan terasa seperti pasir yang menempel di lidah.
“Kau terlihat tegang,” kata George sambil memandanginya dari ujung meja.
Soraya meletakkan garpunya perlahan. “Aku hanya khawatir terlambat. Damien menungguku.”
Adrian berhenti memotong daging, menatapnya lama. “Soraya,” katanya pelan, “jangan biarkan pria itu membuatmu lupa siapa yang sebenarnya memimpin pertunjukan ini. Damien adalah pengacaramu, bukan penguasamu.”
Soraya menunduk. “Aku mengerti.”
“Bagus.” George tersenyum tipis, kembali ke makanannya seolah topik itu sudah selesai. Tapi jantung Soraya berdetak semakin keras, dan rasa sesaknya makin menjadi-jadi.
Makan malam berlangsung dalam diam. Jam terus berdetak. Ketika akhirnya George meletakkan serbetnya, waktu sudah melewati pukul sembilan.
“Kau boleh pergi sekarang,” katanya sambil berdiri, suaranya kembali lembut. “Pastikan kau belajar banyak darinya. Besok pagi mereka akan menyerang lebih keras. Aku ingin kau terlihat lebih kuat daripada hari ini.”
Soraya mengangguk cepat. “Ya.”
Ia pergi ke kamarnya, berganti pakaian dengan tergesa, mengambil tas, lalu keluar rumah. George masih duduk di ruang tamu dengan segelas anggur, menatapnya sebelum ia pergi.
Soraya hampir tidak bisa bernapas sampai mobil yang ditumpanginya meninggalkan halaman rumah. Di dalam mobil, ia mengetik pesan dengan jari gemetar.
‘Maaf, aku terlambat. Aku sedang dalam perjalanan’
Pesan terkirim. Tidak ada balasan. Soraya menggigit bibir. Ketakutannya bercampur aduk, takut membuat Damien marah, takut menimbulkan masalah baru. Tetapi rasa takut terhadap George jauh lebih menjeratnya.
Ketika tiba di kantor Damien, jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh. Gedung itu sepi, hanya lampu di lantai atas yang masih menyala.
Soraya masuk, langkahnya nyaris tak terdengar.
Damien berdiri di depan jendela, membelakanginya, satu tangan memegang segelas bourbon. “Kau terlambat,” katanya datar, tanpa menoleh.
Soraya menelan ludah. “Aku tidak bisa keluar lebih cepat. George ingin aku tetap di rumah sampai makan malam selesai.”
Damien berbalik, menatapnya dengan mata yang dingin. “Kau harus belajar melepaskan dirimu dari bayang-bayangnya jika ingin bertahan.”
Soraya maju satu langkah. “Kau tidak mengerti. George selalu terlihat baik. Tapi aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya. Dan aku…”
Damien meletakkan gelasnya, melangkah mendekat. Tatapannya tidak menghakimi, hanya menelusuri wajah Soraya yang lelah dan hampir menangis. Wajah seperti ini pasti memabukkan jika dalam keadaan terangsang. Pikirnya.
“Kau takut padanya,” ucap Damien, suaranya pelan.
Soraya menahan napas. Ia tidak menjawab, tetapi diamnya sudah cukup menjadi pengakuan. Ia memalingkan wajah karena Damien menatapnya penuh penilaian seksual.
Damien berhenti hanya beberapa inci darinya, cukup dekat hingga Soraya bisa merasakan kehangatan tubuhnya. “Mulai malam ini,” katanya, suaranya turun lebih rendah, “kau hanya takut pada satu hal… aku. Karena hanya aku yang bisa membawa mu kepada kemenangan. Tidak takut padaku, maka… harus siap kalah.”
Soraya menarik napas panjang, dadanya bergetar. Kata-kata itu terasa seperti janji dan ancaman sekaligus. Dia harus bagaimana sekarang? Menerima tawaran pria ini? Yang benar saja.
“Sekarang,” Damien mundur setengah langkah, suaranya kembali profesional, “kita mulai latihan. Kau akan berdiri di depan kamera sampai aku yakin kau bisa menghadapi dunia tanpa goyah.”
Soraya mengangguk.
Perlahan lampu ruangan meredup, hanya satu sorot lampu meja yang diarahkan pada kamera kecil di tripod. Soraya berdiri di depan kamera itu, gaun sederhananya jatuh tepat di lutut, rambutnya digelung seadanya. Udara terasa terlalu sunyi, terlalu hangat, hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
“Lihat lensa,” suara Damien terdengar dari seberang ruangan. Datar, tegas, tidak bisa ditawar.
Soraya mencoba menatap lensa kamera, tapi matanya terus tertarik ke arah Damien.
Pria itu berdiri di ujung meja kerjanya, jasnya kini terlepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Tangan terlipat di dada, bahunya tegap. Cahaya lampu membuat garis rahangnya terlihat lebih tajam. Dan sorot matanya… itu yang membuat Soraya gemetar.
Ia merasa Damien sedang melucutinya, bukan dengan tangan, tetapi dengan tatapan. Seperti setiap kata, setiap nafasnya, setiap getaran di suaranya sedang ditimbang dan dihakimi.
“Mulai,” kata Damien.
Soraya menarik napas dalam, menatap lensa kamera. “Saya Soraya Estenne. Saya…”
“Berhenti.”
Soraya terlonjak. “Apa?”
Damien melangkah dari meja, mendekat perlahan. “Kau bicara seperti membaca naskah. Lagi.”
Soraya mencoba lagi, suaranya sedikit lebih tegas. “Saya Soraya Estenne. Saya tidak bersalah…”
“Berhenti.” Kali ini Damien berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Kau tidak meyakinkan siapa pun dengan suara seperti itu.”
Soraya menatapnya, nafasnya tersengal. “Aku mencoba!”
Damien menurunkan tangannya dari dada, mendekat hingga Soraya bisa mencium aroma bourbon di napasnya. “Tidak ada yang peduli kau mencoba. Dunia hanya peduli kau menang.”
Soraya memejamkan mata, menahan air mata. “Aku tidak tahu bagaimana cara terdengar seperti pemenang.”
“Buka mata.”
Soraya menurut, mendongak. Tatapan Damien menusuk, membuat lututnya lemas.
“Katakan lagi,” bisik Damien.
“Saya Soraya Estenne,” ucapnya pelan, kali ini suaranya bergetar.
“Lebih keras.”
“Saya Soraya Estenne!”
“Lebih tegas.”
“Saya tidak bersalah!”
Damien tersenyum tipis. “Bagus. Lagi.”
Soraya mengulanginya lagi dan lagi. Setiap kali ia bicara, Damien semakin dekat. Hingga akhirnya ia hanya berdiri satu langkah darinya, tangan diselipkan ke saku celananya, kepalanya sedikit miring, matanya tak pernah melepaskan Soraya.
Sekarang, bukan kamera yang membuat Soraya gugup. Tetapi Damien.
“Kau gemetar,” kata Damien pelan.
Soraya menggigit bibirnya. “Kau yang membuatku gemetar.”
Damien mengangkat alis. “Bagus. Dunia juga akan membuatmu gemetar. Tapi jika kau bisa berdiri di sini, di bawah tatapanku, maka kau bisa berdiri di depan siapapun.”
Soraya menelan ludah, lalu mencoba lagi. Kali ini suaranya lebih mantap. “Saya tidak bersalah.”
Damien berjalan mengitari Soraya, seperti predator memutari mangsanya. “Bahumu terlalu tegang. Turunkan sedikit. Jangan terlihat defensif. Tarik napas, biarkan mereka melihat wajahmu.”
Soraya menurut, menurunkan bahu, menatap kamera lagi.
“Sekarang ulangi,” perintah Damien dari belakang bahunya.
“Saya tidak bersalah.”
“Lebih dalam.”
“Saya tidak bersalah.” Suaranya kali ini terdengar nyaris seperti deklarasi perang.
Damien berhenti di sampingnya, menatap pantulan wajah Soraya di layar monitor. “Itu dia.”
Soraya berpaling padanya. “Apa ini cukup?”
Damien menatapnya lama. “Untuk malam ini. Besok kita ulangi lagi. Sampai kau bisa membuat seluruh ruangan percaya hanya dengan satu kalimat.”
Soraya menghela napas, merasa seluruh tenaganya habis. Ia memalingkan wajah dari kamera, tapi tatapan Damien tetap menahannya di tempat.
“Kau mulai belajar,” katanya pelan. “Kau mulai terlihat seperti wanita yang bisa menang.”
Soraya merasa darahnya berdesir, entah karena pujian atau karena pria itu berdiri terlalu dekat. “Apa kau selalu begini pada semua klienmu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Damien menatapnya, sebuah senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Tidak. Hanya pada mereka yang pantas menang.”
Soraya menahan napas. Untuk sesaat, ruangan terasa terlalu kecil, terlalu sunyi.
Damien mundur selangkah, mengambil jasnya. “Kita selesai untuk malam ini. Pulanglah.”
Soraya mengangguk, tapi kakinya seperti menolak bergerak. Sebelum keluar, ia sempat menoleh lagi, dan menemukan Damien masih berdiri di tempat yang sama, menatapnya. Tatapan itu bukan tatapan pengacara kepada klien, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya.
Di lift, Soraya menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba menenangkan napasnya. Tapi tatapan Damien terus mengikutinya, seperti bayangan yang menolak pergi. Tatapan itu… kenapa bisa membuat sesuatu dalam dirinya, berdesir.
Ya Tuhan… Soraya takut… takut sekali.
Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan yang terdengar seperti dentuman palu godam di telinga Soraya. Suara langkah kaki George yang menjauh di lorong apartemen semakin menegaskan kenyataan pahit itu.Dia ditinggalkan.Lagi.Ditinggal berdua dengan pria yang tatapannya terasa menguliti setiap lapisan pertahanan yang susah payah ia bangun. Soraya frustrasi, di tambah di tinggal lagi berdua dengan Damien, kekalutannya semakin menjadi.Keheningan yang ditinggalkan George terasa berat, membebani udara di antara mereka. Soraya masih berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat meski ia berusaha menekannya mati-matian. Teriakan yang tadi hanya menjadi cicitan nyamuk kini tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi rasa mual yang pekat.Damien tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan masih terlipat di dada, memperhatikannya. Dia memindai Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya yang lekat dan analitis itu membuat Soraya merasa telanjang dan kotor.Pria
Malam ini rumah terasa terlalu sunyi. Soraya duduk di ruang keluarga, tangan terlipat di pangkuan, menatap layar televisi yang menyiarkan siaran langsung wawancara eksklusif George Estenne.Studio berita tampak elegan, pencahayaannya sempurna. George duduk tegap, setelan diplomatiknya tanpa cela, wajahnya memancarkan ketenangan. Soraya bisa mendengar bisik-bisik tim produksi sebelum kamera mulai merekam.“Selamat malam, Tuan Estenne,” sapa pewawancara dengan nada hormat. “Terima kasih sudah hadir di tengah situasi yang sedang memanas ini.”George mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mengundang saya. Ini kesempatan untuk menjelaskan kepada publik.”Pertanyaan pertama langsung dilontarkan. “Ada banyak spekulasi tentang mengapa dana bantuan internasional itu bisa masuk ke rekening pribadi istri Anda. Bagaimana penjelasan Anda?”George menarik napas perlahan, menatap kamera dengan sorot mata tenang. “Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa kami sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berw
Pagi itu, ruang konferensi di kantor Damien terasa seperti panggung perang. Map berisi pernyataan media sudah tersusun rapi di meja. Soraya berdiri di sudut ruangan, memandangi layar televisi yang menyiarkan ulang cuplikan konferensi pers kemarin. Suaranya sendiri terdengar asing di telinga, kaku, seperti orang yang sedang belajar membaca.Pintu terbuka. George masuk, setelan diplomatiknya sempurna, dasinya senada dengan saku jas. Tatapannya dingin namun senyumnya tetap ramah. “Bagaimana perkembangan istriku?” tanyanya ringan, seolah ini hanya rapat santai.Damien menoleh, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya dingin tapi sedikit menyeringai. “Perkembangan?” Ia mendengus pendek. “Istrimu cukup payah. Untuk membuatnya mengatakan satu kalimat dengan tegas saja butuh keringat berliter.”Soraya terperangah. Darahnya berdesir panas, bukan hanya karena kata-kata Damien, tapi karena nada suaranya yang begitu santai seakan ia sedang membicarakan seseorang yang tid
Soraya duduk di ujung ranjang, gaunnya belum berganti. Matanya terpaku pada jam dinding yang jarumnya mendekati angka delapan. Baru saat itu ia teringat janji dengan Damien. Malam ini mereka seharusnya bertemu untuk latihan pernyataan media, menyiapkan strategi untuk konferensi berikutnya. Dadanya sesak.Ia meraih ponsel, ingin mengetik pesan, tetapi pintu kamar terbuka. George Estenne berdiri di ambang pintu. Senyum hangatnya seharusnya menenangkan, tetapi Soraya justru semakin tegang.“Kau belum ganti baju?” tanya George, suaranya terdengar lembut, seperti biasa.Soraya berdiri cepat. “Aku… baru ingat. Aku ada janji dengan Damien malam ini. Kami harus latihan…”Adrian menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang saja. Kau bisa menemuinya setelah makan malam. Damien tidak akan pergi ke mana-mana.”“Tapi ini penting. Dia bilang…”“Tidak ada tapi,” potong George, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Kita belum makan bersama ejak siang. Duduklah bersamaku. Kita makan seper
Lampu kamera berkilat-berkilat seperti badai petir. Dari balik tirai, Soraya melihat siluet wartawan yang bergerombol, suara mereka riuh, memanggil-manggil namanya, nama suaminya, bahkan nama negara tempat ia lahir. Tangannya dingin dan basah.Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat setiap kata yang Damien latih semalam. Tapi kepalanya penuh dengan suara—suara komentar berita, suara tetangga diplomat yang menatapnya dengan iba, bahkan suara suaminya yang berkata, “Damien Vargan akan membersihkan nama kita. Kau hanya perlu percaya padanya.”Pintu belakang panggung terbuka. Damien masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya sempurna, dasi gelap rapi di leher. Soraya mendongak, dan untuk sesaat, ketakutannya mereda hanya karena tatapan itu, tajam, dingin, namun entah bagaimana menenangkan.“Kau siap?” suara Damien rendah, nyaris berbisik.Soraya menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu.”Damien berhenti hanya beberapa inci darinya. Bau aftershave-nya yang segar menembus kepanikan Soraya. Ia
Hujan mengetuk kaca gedung pencakar langit malam itu, membuat lampu kota tampak seperti noda cahaya yang berlarian. Soraya Estenne berdiri di depan pintu kaca berukir nama DAMIEN VARGAN & ASSOCIATES, menahan napas. Tangannya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau karena namanya baru saja menjadi headline di seluruh media internasional.Ia mengetuk sekali.“Masuk,” suara bariton terdengar dari dalam, dalam dan berwibawa, seolah ia sudah tahu siapa yang datang.Soraya mendorong pintu, melangkah masuk. Ruangan itu besar, elegan, dengan dinding kaca menghadap kota. Di balik meja kayu gelap, Damien Vargan duduk santai, jasnya masih rapi meski hari sudah larut. Tatapannya langsung mengunci pandangannya pada Soraya.Beberapa saat ia memperhatikan Soraya, jelas perhatian tersebut tertuju pada lekuk tubuh Soraya. Menggiurkan.“Madame Estenne,” katanya, pelan tapi cukup membuat udara di ruangan terasa lebih padat. “Duduk.”Soraya melangkah, tumit sepatunya terdengar terlalu keras di la







