MasukLampu kamera berkilat-berkilat seperti badai petir. Dari balik tirai, Soraya melihat siluet wartawan yang bergerombol, suara mereka riuh, memanggil-manggil namanya, nama suaminya, bahkan nama negara tempat ia lahir. Tangannya dingin dan basah.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat setiap kata yang Damien latih semalam. Tapi kepalanya penuh dengan suara—suara komentar berita, suara tetangga diplomat yang menatapnya dengan iba, bahkan suara suaminya yang berkata, “Damien Vargan akan membersihkan nama kita. Kau hanya perlu percaya padanya.”
Pintu belakang panggung terbuka. Damien masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya sempurna, dasi gelap rapi di leher. Soraya mendongak, dan untuk sesaat, ketakutannya mereda hanya karena tatapan itu, tajam, dingin, namun entah bagaimana menenangkan.
“Kau siap?” suara Damien rendah, nyaris berbisik.
Soraya menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu.”
Damien berhenti hanya beberapa inci darinya. Bau aftershave-nya yang segar menembus kepanikan Soraya. Ia meraih map di tangannya, meletakkannya di meja kecil, lalu berbalik menatap Soraya.
“Kau tidak perlu tahu,” katanya mantap. “Kau hanya perlu percaya. Untuk saat ini, jangan ingat ucapan terakhirku malam itu. Kita akan mengingat dan membahasnya secara pribadi… nanti.”
Soraya menghela napas sambil menutup mata, mencoba menegakkan bahu. “Bagaimana kalau aku gemetar? Mereka akan melihatnya.” Soraya berusaha tidak mengindahkan ucapan Damien yang terakhir.
Damien mencondongkan tubuh, menatapnya lurus-lurus. “Maka mereka akan melihat istri diplomat yang sedang berjuang mempertahankan kehormatannya. Itu akan membuat mereka simpati. Tapi…” ia mendekat, suaranya turun lebih rendah, “jangan menangis. Kamera mencintai air mata, tapi mereka juga akan memakannya hidup-hidup.”
Soraya memejamkan mata sebentar, menguatkan diri. “Baik.”
Damien meraih bahunya, cengkeramannya mantap. “Tatap aku saat berbicara, kalau kau mulai kehilangan kendali.”
Soraya menatapnya, merasakan jantungnya berdetak kencang. Ada sesuatu pada tatapan Damien, seperti jangkar di tengah badai.
“Waktunya,” ujar seorang staf dari balik tirai.
Damien mengangguk. “Kau duluan,” katanya, memberi isyarat dengan tangan.
Soraya melangkah. Tirai terbuka. Kilatan kamera menyambut seperti letupan senjata. Soraya menahan napas sejenak, tapi merasakan Damien berdiri di sebelahnya, auranya memenuhi ruangan.
Damien berdiri tegap di podium, mikrofon menunggu. Soraya berdiri sedikit di belakang, seperti yang ia latih.
“Terima kasih telah datang,” suara Damien bergema, berat dan penuh otoritas. “Saya Damien Vargan, kuasa hukum Soraya Estenne. Kami di sini untuk menegaskan bahwa klien saya tidak bersalah atas tuduhan yang sedang beredar.”
Soraya menatap punggung Damien. Ia mendengar suaranya yang tegas, mematahkan setiap rumor dengan satu kalimat. Ia seolah sedang menyaksikan seorang maestro memimpin orkestra, dan semua mata, semua kamera, mengikuti arah tongkatnya.
Lalu giliran Soraya.
Damien menoleh, sedikit mengangguk. Soraya melangkah maju, mikrofon terasa terlalu dekat.
“Saya…” suaranya hampir pecah. Soraya mengingat tatapan Damien, lalu menatapnya sekilas. Damien tidak tersenyum, hanya menaikkan sedikit alisnya, seolah mengatakan ingat siapa kau.
Soraya menarik napas lagi. “Saya tidak bersalah,” katanya akhirnya, lebih tegas. “Saya percaya proses hukum akan membuktikan kebenaran. Saya dan keluarga saya siap bekerja sama dengan pihak berwenang untuk mengungkap fakta yang sebenarnya.”
Ruangan bergemuruh dengan kilatan kamera. Pertanyaan mulai dilontarkan, beberapa sengaja menjebak:
“Apakah benar uang itu mengalir ke rekening Anda?”
“Apa suami Anda tahu soal ini?”
“Apa benar ada hubungan antara Anda dan salah satu pihak penyumbang dana?”
Soraya hampir terhenti pada pertanyaan terakhir, darahnya terasa berhenti mengalir. Ia menoleh pada Damien secara refleks.
Damien melangkah mendekat, berdiri di sampingnya, suaranya tegas:
“Pertanyaan itu tidak relevan dengan penyelidikan. Fokus kami adalah membersihkan nama Nyonya Soraya dari tuduhan tidak berdasar.”
Kata-katanya seperti palu hakim. Wartawan diam beberapa detik sebelum menyerang dengan pertanyaan lain.
Konferensi pers berakhir setelah Damien mengangkat tangan, memberi tanda selesai. Tim media menarik Soraya keluar, dan tiba-tiba dunia menjadi lebih senyap di balik panggung.
Soraya bersandar di dinding, menarik napas panjang, kakinya lemas.
Damien mendekat, mengamati wajahnya. “Kau hampir kehilangan kendali di pertanyaan terakhir.”
Soraya mengangkat dagu. “Mereka memojokkan Ku.”
“Itu memang pekerjaan mereka,” Damien mendekat, nada suaranya tidak keras tapi tajam. “Tugasmu adalah tetap tegak. Kau melakukannya cukup baik… tapi jangan ulangi ketakutan itu di depan kamera.”
Soraya mendengus, entah marah atau malu. “Kau selalu bicara seakan ini mudah. Dan seakan kau tidak pernah mengatakan hal gila yang seharusnya tak keluar dari mulut seorang pengacara ternama sepertimu.”
Damien mengangkat bahu. “Bagiku memang mudah.” Ia mencondongkan tubuh, jarak mereka kembali terlalu dekat. “Tapi aku di sini untuk memastikan kau belajar. Cepat. Mengenai ucapanku, tentu sebagai pengacara aku bisa mengatakan apapun. Contohnya seperti sekarang, kulitmu halus, pasti lembut sekali saat di jilat.”
Soraya ingin menjawab sinis, tapi kata-kata itu tertelan. Ia sadar Damien masih memandangnya, panas, menelanjangi lapisan ketakutannya, tapi juga memberi rasa aman yang aneh.
Seorang staf masuk, membawa ponsel. “Tuan Vargan, media sosial sedang ramai. Foto kalian trending.”
Damien mengambil ponsel, menatap layar, lalu menyeringai tipis. Ia memperlihatkan pada Soraya, foto mereka berdua, Soraya menatap Damien dengan ekspresi campuran ketakutan dan harapan. Judulnya:
“Si Pengacara Misterius & Istri Diplomat … Ada Apa di Antara Mereka?”
Soraya menatapnya ngeri. “Ini… buruk.”
“Tidak juga,” Damien menatap layar ponsel lagi, lalu kembali padanya. “Lihat wajahmu. Kau terlihat seperti wanita yang berjuang. Itu membuatmu manusia, Soraya. Dan itu membuat orang percaya padamu.”
Soraya menghela napas panjang, menutup mata sejenak. “Mereka akan mengira ada sesuatu di antara kita.”
Damien tersenyum samar, kali ini seperti benar-benar menikmati ketakutannya. “Biarkan mereka berpikir begitu.”
Soraya menatapnya tak percaya. “Apa?”
“Jika mereka sibuk membicarakan kita,” Damien melangkah mendekat, menurunkan suara, “mereka akan berhenti membicarakan tuduhan itu. Kau ingin selamat? Maka biarkan mereka membuat cerita yang menguntungkan kita.”
Soraya membeku. Untuk sesaat, ia tak tahu apakah ia sedang diselamatkan atau sedang diseret ke jurang yang lebih dalam.
Damien menyambar map dari meja samping. “Kita latihan lagi malam ini. Jam delapan. Jangan terlambat.”
Soraya berdiri di sana, tubuhnya kaku.
**
Langit sudah senja ketika Soraya sampai di rumah. Mansion diplomat itu sunyi, hanya cahaya lampu gantung kristal di ruang tamu yang menyala lembut.
Pintu terbuka, dan suaminya sudah berdiri di sana. Senyum hangat, pelukan yang ia terima selalu membuat publik iri.
“Soraya,” suaminya menyambut dengan suara lembut. “Kau baik-baik saja?”
Soraya berhenti di ambang pintu, jantungnya berdegup lebih kencang dari saat konferensi pers. Ia ingin membalas senyuman itu, tapi tubuhnya terasa kaku.
“Ya…” jawabnya perlahan. “Hari ini… berat.”
Suaminya memeluknya, lama. Terlalu lama. Soraya memejamkan mata, tapi bukannya merasa aman, ia justru semakin gelisah.
Wajah itu… wajah yang tersenyum untuk dunia, wajah yang mencium keningnya setiap kali kamera menyala… entah kenapa malam ini terasa seperti topeng.
‘Kau siapa sebenarnya?’ pikir Soraya. ‘Pria yang mencintai aku, atau pria yang menyeretku ke dalam badai ini?’
Suaminya melepas pelukan, menuntunnya masuk. “Aku menonton konferensi pers tadi. Kau tampak luar biasa.”
Soraya menoleh cepat. “Kau menonton?”
“Ya.” Suaminya tersenyum lagi, kali ini lebih kecil, misterius. “Dan aku juga melihat foto yang beredar. Kau dan Damien.”
Soraya menahan napas. “Kau… kau tidak marah?”
“Kenapa aku harus marah?” suaminya duduk di kursi, santai seperti sedang membicarakan cuaca. “Foto itu bagus. Membuat mereka percaya pada cerita yang kita mainkan.”
Soraya menatapnya tak percaya. “Cerita?”
Suaminya mengangguk. “Kau tahu kan, Soraya? Dunia politik tidak mencari kebenaran. Mereka mencari narasi. Dan sekarang, narasi sedang berpihak pada kita.”
Soraya merasa perutnya berputar. “Jadi kau… kau tidak peduli mereka berpikir aku…”
“…punya sesuatu dengan pengacaramu?” suaminya menyela dengan tenang. “Kalau itu yang membuat mereka berhenti membicarakan rekening itu, maka biarkan saja.”
Soraya mundur selangkah. “Kau terdengar seperti… seperti kau ingin aku…”
“Aku ingin kau menang,” suaminya memotong, kali ini suaranya lebih tajam. “Dan jika Damien Vargan adalah alat untuk mencapainya, maka gunakan dia. Gunakan semua yang dia miliki.”
Soraya terdiam. Jantungnya seperti dihantam palu.
“Ini bukan tentang perasaanmu,” lanjut suaminya, tatapannya sekarang seperti baja. “Ini tentang masa depan kita. Tentang reputasi keluarga ini. Mengerti?”
Soraya menelan ludah. “Mengerti.”
Suaminya berdiri, kembali tersenyum, seolah kalimat barusan tidak pernah keluar. “Bagus. Sekarang mandi, ganti pakaian. Aku pesan makan malam. Kita rayakan kemenangan hari ini.”
Soraya melangkah ke kamarnya dengan langkah berat. Begitu pintu tertutup, ia menatap wajahnya di cermin.
Wajah itu tampak asing.
Ia tak tahu mana yang lebih menakutkan, tatapan media, tatapan Damien yang jelas meminta pelayanan diatas, atau tatapan suami yang penuh kasih tapi dingin di dalamnya.
Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan yang terdengar seperti dentuman palu godam di telinga Soraya. Suara langkah kaki George yang menjauh di lorong apartemen semakin menegaskan kenyataan pahit itu.Dia ditinggalkan.Lagi.Ditinggal berdua dengan pria yang tatapannya terasa menguliti setiap lapisan pertahanan yang susah payah ia bangun. Soraya frustrasi, di tambah di tinggal lagi berdua dengan Damien, kekalutannya semakin menjadi.Keheningan yang ditinggalkan George terasa berat, membebani udara di antara mereka. Soraya masih berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat meski ia berusaha menekannya mati-matian. Teriakan yang tadi hanya menjadi cicitan nyamuk kini tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi rasa mual yang pekat.Damien tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan masih terlipat di dada, memperhatikannya. Dia memindai Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya yang lekat dan analitis itu membuat Soraya merasa telanjang dan kotor.Pria
Malam ini rumah terasa terlalu sunyi. Soraya duduk di ruang keluarga, tangan terlipat di pangkuan, menatap layar televisi yang menyiarkan siaran langsung wawancara eksklusif George Estenne.Studio berita tampak elegan, pencahayaannya sempurna. George duduk tegap, setelan diplomatiknya tanpa cela, wajahnya memancarkan ketenangan. Soraya bisa mendengar bisik-bisik tim produksi sebelum kamera mulai merekam.“Selamat malam, Tuan Estenne,” sapa pewawancara dengan nada hormat. “Terima kasih sudah hadir di tengah situasi yang sedang memanas ini.”George mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mengundang saya. Ini kesempatan untuk menjelaskan kepada publik.”Pertanyaan pertama langsung dilontarkan. “Ada banyak spekulasi tentang mengapa dana bantuan internasional itu bisa masuk ke rekening pribadi istri Anda. Bagaimana penjelasan Anda?”George menarik napas perlahan, menatap kamera dengan sorot mata tenang. “Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa kami sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berw
Pagi itu, ruang konferensi di kantor Damien terasa seperti panggung perang. Map berisi pernyataan media sudah tersusun rapi di meja. Soraya berdiri di sudut ruangan, memandangi layar televisi yang menyiarkan ulang cuplikan konferensi pers kemarin. Suaranya sendiri terdengar asing di telinga, kaku, seperti orang yang sedang belajar membaca.Pintu terbuka. George masuk, setelan diplomatiknya sempurna, dasinya senada dengan saku jas. Tatapannya dingin namun senyumnya tetap ramah. “Bagaimana perkembangan istriku?” tanyanya ringan, seolah ini hanya rapat santai.Damien menoleh, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya dingin tapi sedikit menyeringai. “Perkembangan?” Ia mendengus pendek. “Istrimu cukup payah. Untuk membuatnya mengatakan satu kalimat dengan tegas saja butuh keringat berliter.”Soraya terperangah. Darahnya berdesir panas, bukan hanya karena kata-kata Damien, tapi karena nada suaranya yang begitu santai seakan ia sedang membicarakan seseorang yang tid
Soraya duduk di ujung ranjang, gaunnya belum berganti. Matanya terpaku pada jam dinding yang jarumnya mendekati angka delapan. Baru saat itu ia teringat janji dengan Damien. Malam ini mereka seharusnya bertemu untuk latihan pernyataan media, menyiapkan strategi untuk konferensi berikutnya. Dadanya sesak.Ia meraih ponsel, ingin mengetik pesan, tetapi pintu kamar terbuka. George Estenne berdiri di ambang pintu. Senyum hangatnya seharusnya menenangkan, tetapi Soraya justru semakin tegang.“Kau belum ganti baju?” tanya George, suaranya terdengar lembut, seperti biasa.Soraya berdiri cepat. “Aku… baru ingat. Aku ada janji dengan Damien malam ini. Kami harus latihan…”Adrian menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang saja. Kau bisa menemuinya setelah makan malam. Damien tidak akan pergi ke mana-mana.”“Tapi ini penting. Dia bilang…”“Tidak ada tapi,” potong George, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Kita belum makan bersama ejak siang. Duduklah bersamaku. Kita makan seper
Lampu kamera berkilat-berkilat seperti badai petir. Dari balik tirai, Soraya melihat siluet wartawan yang bergerombol, suara mereka riuh, memanggil-manggil namanya, nama suaminya, bahkan nama negara tempat ia lahir. Tangannya dingin dan basah.Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat setiap kata yang Damien latih semalam. Tapi kepalanya penuh dengan suara—suara komentar berita, suara tetangga diplomat yang menatapnya dengan iba, bahkan suara suaminya yang berkata, “Damien Vargan akan membersihkan nama kita. Kau hanya perlu percaya padanya.”Pintu belakang panggung terbuka. Damien masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya sempurna, dasi gelap rapi di leher. Soraya mendongak, dan untuk sesaat, ketakutannya mereda hanya karena tatapan itu, tajam, dingin, namun entah bagaimana menenangkan.“Kau siap?” suara Damien rendah, nyaris berbisik.Soraya menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu.”Damien berhenti hanya beberapa inci darinya. Bau aftershave-nya yang segar menembus kepanikan Soraya. Ia
Hujan mengetuk kaca gedung pencakar langit malam itu, membuat lampu kota tampak seperti noda cahaya yang berlarian. Soraya Estenne berdiri di depan pintu kaca berukir nama DAMIEN VARGAN & ASSOCIATES, menahan napas. Tangannya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau karena namanya baru saja menjadi headline di seluruh media internasional.Ia mengetuk sekali.“Masuk,” suara bariton terdengar dari dalam, dalam dan berwibawa, seolah ia sudah tahu siapa yang datang.Soraya mendorong pintu, melangkah masuk. Ruangan itu besar, elegan, dengan dinding kaca menghadap kota. Di balik meja kayu gelap, Damien Vargan duduk santai, jasnya masih rapi meski hari sudah larut. Tatapannya langsung mengunci pandangannya pada Soraya.Beberapa saat ia memperhatikan Soraya, jelas perhatian tersebut tertuju pada lekuk tubuh Soraya. Menggiurkan.“Madame Estenne,” katanya, pelan tapi cukup membuat udara di ruangan terasa lebih padat. “Duduk.”Soraya melangkah, tumit sepatunya terdengar terlalu keras di la







