Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya.
Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat kembali momen-momen intim yang mereka habiskan bersama, bagaimana semuanya terasa begitu sempurna saat itu. Namun, kini semua itu terasa seperti ilusi—sesuatu yang tidak bisa ia miliki sepenuhnya. Setelah beberapa menit, Olivia menghela napas dan berusaha merelaksasi tubuhnya. Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar mandi, dan berusaha mencari jawaban dalam ketenangan itu. “Mungkin ini sudah saatnya untuk berpikir jernih,” bisiknya pada diri sendiri. Setelah berendam cukup lama, Olivia meraih handuk dan membungkusnya di tubuhnya. Ia segera berdiri, mengeringkan diri dan berpindah ke area rias. Dengan cepat, ia memilih pakaian yang sederhana tetapi terlihat menawan, mengenakan blus putih dan celana jeans yang pas di tubuhnya. Ia ingin terlihat baik-baik saja—setidaknya di luar. Setelah mengenakan pakaian, Olivia menatap bayangannya di cermin. Meskipun ia berusaha menunjukkan senyum, matanya menyimpan ketidakpastian yang dalam. “Kamu bisa melakukannya,” ucapnya pada refleksinya, berusaha memberi dorongan pada dirinya sendiri. Ia meraih tasnya, memastikan semua barangnya sudah ada, lalu melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Saat membuka pintu kamar, Olivia melangkah keluar dan berjalan menuju lobi, mencoba menyingkirkan semua pikiran tentang Arjun dan Elvira dari benaknya. Di lobi, suasana hotel terlihat lebih hidup. Para tamu sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, dan Olivia berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat ke sekeliling. Namun, saat matanya menyapu ruangan, ia melihat sosok Arjun di dekat pintu keluar. Arjun mengenakan setelan jas yang membuatnya terlihat sangat menawan. Ia sedang berbicara dengan seseorang, tampak serius dan berwibawa. Olivia merasakan dadanya berdegup kencang saat melihat pria itu. Rasanya seperti ada magnet yang menariknya kembali ke dalam pelukan Arjun. Namun, Olivia tahu ia harus pergi. Ia tidak bisa terjebak dalam perasaan itu lebih lama lagi. Dengan berusaha mengabaikan perasaannya, ia mengambil langkah tegas menuju pintu keluar hotel, berharap bisa meninggalkan semua kerumitan ini di belakangnya. Saat melangkah keluar, udara segar Udaipur menyambutnya, dan ia menghirup dalam-dalam, berusaha menyeimbangkan perasaannya. Ia sadar bahwa ini adalah langkah pertama untuk meraih kembali kendali atas hidupnya, meskipun bayangan Arjun masih mengikutinya. Olivia bertekad untuk menemukan jalan keluar dari kekacauan ini. “Hari ini adalah awal yang baru,” bisiknya pada diri sendiri saat ia melangkah ke arah mobil sewa yang menunggu di luar, siap untuk melanjutkan hidupnya. Mobil sewa yang menunggu di luar hotel berkilau di bawah sinar matahari pagi. Olivia melangkah cepat menuju mobil, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang berdebar. Supir yang menunggu segera membukakan pintu dan memberinya senyum ramah. “Selamat pagi, Nona. Ke mana kita akan pergi hari ini?” tanyanya. “Bawa saya ke pasar lokal, tolong,” jawab Olivia sambil menyusup ke dalam mobil, berusaha menyimpan semua emosi yang mengganggu dalam hati. Ia butuh sesuatu yang sederhana, sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian dari kerumitan hidupnya. Setelah mobil meluncur meninggalkan hotel, Olivia mengamati pemandangan di sekelilingnya. Udaipur terlihat indah dengan segala warna dan kehidupan yang berdenyut. Meskipun suasana cerah, hatinya terasa berat. Setiap kali ia mengingat senyuman Arjun, rasa sakit itu kembali muncul. “Jadi, Nona, Anda seorang turis di sini?” tanya supir, berusaha menciptakan suasana obrolan. “Ya, saya hanya ingin menikmati waktu saya di sini,” jawab Olivia sambil memandangi jalanan yang ramai. Ia berusaha bersikap santai, tetapi di dalam hatinya, ia merindukan kebebasan yang seharusnya ia miliki. Sesampainya di pasar, Olivia melangkah keluar dari mobil dan merasakan getaran kehidupan di sekelilingnya. Aroma rempah-rempah, suara tawar-menawar, dan keramaian orang-orang menciptakan suasana yang menenangkan. Ia mulai menjelajahi deretan kios yang penuh dengan barang-barang unik—perhiasan, tekstil, dan kerajinan tangan lokal. Saat berjalan dari satu kios ke kios lainnya, Olivia berusaha mengalihkan pikirannya dari Arjun. Namun, setiap barang yang ia lihat hanya mengingatkannya pada momen-momen kecil yang mereka habiskan bersama. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia harus melepaskan semua kenangan itu untuk bisa melanjutkan hidup. Tiba-tiba, saat ia sedang mengamati selembar scarf berwarna cerah, ia mendengar suara yang sangat familiar. “Olivia?” Ia berbalik dan melihat seorang teman lama, Maya, yang juga sedang berlibur di Udaipur. Maya terlihat terkejut, tetapi senyum lebar muncul di wajahnya. “Wow, lama tidak bertemu! Kamu baik-baik saja?” Olivia berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Ya, saya baik-baik saja. Sedang menikmati liburan.” Maya mengamati wajah Olivia dengan seksama. “Kamu tampak berbeda. Apa ada yang salah?” Olivia menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan pertanyaan itu. “Nggak, hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri.” Maya mengangguk, tampak memahami. “Baiklah, kalau begitu. Kamu mau ikut saya? Saya baru saja membeli beberapa kerajinan tangan yang indah.” “Kenapa tidak?” jawab Olivia dengan senyum yang lebih tulus, berusaha menenangkan pikirannya. Ia mulai berjalan bersama Maya, menikmati obrolan yang ringan dan penuh tawa. Saat mereka berkeliling pasar, Olivia merasa seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Maya membawa keceriaan yang sangat dibutuhkannya, dan dalam sekejap, ia lupa tentang kerumitan yang mengikutinya. “Olivia, kita harus berfoto bersama di depan kerajinan itu!” seru Maya dengan semangat. Olivia mengangguk setuju. Mereka berdiri di depan sebuah kios yang penuh warna-warni, dan Maya mengeluarkan ponselnya. “Senyum, ya!” Ketika mereka berpose dan berfoto, Olivia merasa sedikit lebih hidup. Ia menyadari bahwa meskipun situasi dalam hidupnya terasa rumit, ada momen-momen kecil yang bisa ia nikmati. Dalam sekejap, rasa bahagia itu membuatnya merasa bebas, meskipun hanya sementara. Setelah beberapa waktu berkeliling dan berbincang-bincang, Olivia merasakan semangatnya kembali. Meskipun Arjun masih menghantuinya, ia tahu bahwa hidupnya tidak bisa hanya berputar di seputar hubungan terlarang itu. Ia bertekad untuk menemukan jalan hidupnya sendiri. Maya mengajak Olivia untuk duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir pasar. Mereka memesan teh dan beberapa makanan ringan. Saat mereka menikmati waktu bersama, Olivia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan cara untuk melanjutkan hidupnya—tanpa Arjun. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Maya sambil menikmati teh. Olivia mengangguk pelan, merencanakan masa depannya. “Aku pikir aku butuh waktu untuk diri sendiri. Mungkin menjelajahi tempat-tempat baru, melakukan hal-hal yang selalu aku inginkan.” Maya tersenyum lebar. “Itu ide yang bagus! Kita harus melakukan lebih banyak petualangan.” Dengan semangat baru dan keputusan untuk melanjutkan hidup, Olivia menyadari bahwa meskipun perjalanan ini sulit, ia tidak sendirian. Ia memiliki teman-teman yang mendukungnya dan dunia yang penuh kemungkinan menanti untuk dijelajahi.Beberapa waktu lalu, segalanya terasa jauh lebih rumit bagi Regan. Ia tahu, mencintai Nayla berarti juga harus menghadapi tembok tinggi bernama ibunya. Seorang wanita keras kepala yang sudah lebih dulu menyimpan luka dan prasangka terhadap laki-laki sepertinya—berduit, berpengaruh, dan dianggap tidak benar-benar tulus.Tapi Regan tidak menyerah. Ia datang berulang kali, berdiri di depan pintu rumah sederhana itu, dengan sabar menunggu dan menghadap tatapan tajam yang tak pernah menyambut hangat. Ia tidak membela diri dengan kata-kata manis, melainkan dengan sikap. Ia menunduk ketika disalahkan, meminta maaf atas sesuatu yang bahkan belum ia lakukan, dan tetap datang esok harinya.Dan pada satu sore yang hujan, saat ibu Nayla membuka pintu dengan wajah lelah, Regan menyerahkan payungnya dan berkata dengan suara yang tenang namun mantap, “Saya mungkin bukan pria sempurna, Bu. Tapi saya mau belajar. Untuk Nayla, untuk Ibu juga.”Entah bagaimana, ketulusan itu perlahan meluruhkan kerasnya
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep