“Kak, ada apa ini?”
Cyuta Maharani, gadis manis berusia 20 tahun terkejut ketika tiba di rumah melihat dua koper besar miliknya sudah berada di teras depan rumah.
Matanya yang indah terbungkus bulu mata lentik alami, terbelalak menatap dua orang gadis seumuran dengannya, berdiri di depan pintu masuk seraya berkacak pinggang.
Sementara yang ditatap tanpa sedikit pun tersenyum atau basa-basi, justru terlihat sinis menantang balik Cyuta. Mereka adalah kakak beradik, keponakan dari Prana Atmadja –Papa angkat Cyuta Maharani.
“Kamu sudah dijual. Jadi cepat angkat kaki dari rumah ini!”
“Ya benar! Dasar anak pungut tidak tahu malu. Hanya bisa jadi parasit dalam keluarga ini,” timpal sang adik tidak mau kalah merundung Cyuta.
Jantung Cyuta terhenti sejenak mendengar mereka, dalam hati tertegun dengan kalimat ‘dijual’.
“Kak, apa maksudnya dijual. Aku ini manusia bukan barang.”
“Kamu tidak punya status untuk bisa protes! Kamu kira berapa banyak uang yang digunakan untuk menyekolahkanmu!”
“Kak –“
“Apalagi! Aku bukan kakakmu, kamu hanya parasit, tidak ada nasabmu dalam keluarga Atmadja.”
“Tapi –“
“Tidak ada tapi. Kakek sudah menyetujui dan menerima uang dari menjualmu, setidaknya cukup untuk ganti rugi kehidupan serta pendidikanmu selama ini.”
Bugh. Cyuta terjatuh setelah didorong kasar, dianggap sebagai pengemis jalanan.
“Aku bukan barang, aku tidak mau ikut mereka.” Cyuta memohon dibolehkan masuk. Dia ingin bertemu Kakek Brata Atmadja.
“Tidak bisa! Pergi!”
“Ini perintah Kakek! Jadi cepat pergi!”
Perih dan menusuk. Perkataan yang tidak pernah lembut untuknya. Air mata memenuhi indera penglihatan Cyuta saat menunduk menahan sakit.
‘Jadi kakek memang ingin aku pergi,’ gumam Cyuta dalam hati.
“Dengar! Kamu itu pembawa sial, kami tidak mau mati sia-sia karena menampungmu di sini! Pergi! Pergi!”
Bugh. Kini tendangan mendarat di tubuh Cyuta. Dua kakak beradik yang dahulu pernah akrab main bersama bagai saudara kini berubah menjadi orang sombong dan arogan.
Cyuta melindungi kepalanya yang hampir saja terkena tendangan keduanya.
“Ehm!”
Salah satu penjemput memberi tanda dan seketika menghentikan perundungan terhadap Cyuta. Dua bersaudara itu serentak menoleh pada ketiga tamu mereka.
“Bawa saja dia. Kami sudah tidak ada urusan lagi.”
Ketiga orang asing itu menganggukkan kepala, bersamaan dengan masuknya kedua keponakan Prana dalam rumah tanpa peduli pada sosok Cyuta Maharani.
Cyuta masih terduduk menahan kepahitan serta kepedihan dalam hati. Sejak Mama dan Papa angkatnya meninggal dunia, kemudian adik-adik angkatnya memilih sekolah di luar negeri, Cyuta diperlakukan buruk laksana seorang pembantu dalam keluarga Atmadja.
“Mari ikut kami, Nyonya,” ajak sosok wanita itu seraya membantu berdiri Cyuta.
Begitu pun dua laki-laki lainnya, segera membawa koper milik Cyuta yang masih terdiam sebab belum menerima kenyataan dirinya dijual pada orang asing. Cyuta mengikuti langkah ketiganya tanpa mengelak. Ya, Cyuta sudah mati rasa.
“Silahkan,” suara lembut dan sopan sang wanita tidak dihiraukan Cyuta, bukan karena sombong namun gadis itu berjalan sambil melamun merenungi nasibnya.
Mobil mewah warna hitam melaju keluar dari jalanan kecil menuju jalan besar utama yang kemudian masuk dalam jalan bebas hambatan.
Pandangan kosong Cyuta terarah melihat ke luar jendela, embusan napas yang berat silih berganti keluar dari indera pernapasannya. Pikirannya kembali pada adik-adiknya.
Cyuta menghela napasnya kembali, buliran air mata jatuh tanpa sadar dari sudut matanya. Kerinduan yang besar pada dua adik-adiknya menyisakan mimpi, suatu saat ingin bertemu. Entah kapan.
Sadar diri akan posisinya itulah yang menjadi sebab Cyuta menolak secara halus keinginan adik-adiknya membawa dirinya tinggal di London.
“Nyonya tidurlah. Perjalanan kita masih jauh.”
Cyuta tersentak. Dia tersadar sekarang dirinya berada dalam sebuah mobil yang melaju membelah jalan bebas hambatan yang panjang. Sejenak matanya melihat papan penunjuk arah yang tergantung di atas jalan tesebut. Jakarta.
“Maaf, kita akan kemana?” tanyanya lirih penuh ketakutan, Cyuta melihat ke semua orang dalam mobil itu.
Wajahnya yang kusam mungkin terlihat seperti gadis kampung, berbanding terbalik dengan wanita di sebelahnya ini.
Mereka semua berpenampilan rapi, bersih dan wangi. Cyuta merasa rendah diri, dengan gerakan pelan seolah takut ketahuan, gadis itu mencoba mencium bau badannya sendiri. Bau matahari.
“Kita akan ke Jakarta, Nyonya. Anda sudah dinantikan.”
“Jakarta? Eh tunggu dulu - siapa yang Anda panggil Nyonya?” Cyuta baru menyadari ada kejanggalan dalam sebutan untuknya.
Bukankah aku dijual ya, tapi mengapa mereka memanggilku sebagai ‘Nyonya’.
“Sebab Anda, istri kelima King Arthur –“
“Ehhm!” tiba-tiba suara laki-laki yang berada di depan memotong.
“Eh - Maaf Nyonya. Saya sudah lancang.”
Kemudian sang wanita tersebut menutup matanya berpura-pura tidur. Hanya Cyuta terbengong mendengar penjelasan sepintas.
‘Apa lagi ini? Istri kelima? Berarti ada empat istri lainnya?’ keluh Cyuta pada akhirnya. Kepalanya seketika pening.
‘Mama, Papa. Aku ikut kalian saja,’ bayangan buruk tentang intrik keluarga mulai menghantui pikiran Cyuta. Ingin rasanya mengakhiri hidupnya, menghilang dari kegelapan hidup.
“Mimpi apa aku semalam, hari ini lengkap sudah penderitaanku,” gumam Cyuta lirih seraya menatap pepohonan yang terlihat berlari cepat dari balik jendela mobil.
***
Tiga jam berlalu, mobil mewah tersebut memasuki gerbang rumah mewah.
Cyuta menatap takjub dari balik jendela, belum pernah dirinya melihat rumah sebesar di hadapannya kini.
Salah seorang pria yang duduk di muka, segera membuka pintu tepat di sisi Cyuta. Dengan sedikit menghormat, lelaki itu berkata,
“Silahkan, Nyonya. Anda sudah ditunggu di dalam.”
Deg.
Lutut Cyuta rasanya tidak mampu menopang tubuhnya yang ramping. Seorang gadis muda berpakaian rapi segera menyambut Cyuta.
“Selamat datang, Nyonya. Saya Rara, yang akan menjadi pelayan pribadi Anda. Mari ikut saya, acara segera dimulai.”
Cyuta memperhatikan sekitar, ketiga orang yang menjemputnya sudah tidak ada. Terpaksa Cyuta mengikuti gadis muda yang bernama Rara.
Suasana dalam rumah memang terlihat seperti akan ada acara penting, namun gadis tersebut tidak diperkenankan untuk berada di sana. Yang terlihat memang hanya kaum lelaki.
Sesampai di sebuah kamar, Cyuta kembali dibuat terkejut sebab kamar tersebut didekor bak kamar pengantin.
“Rara, apakah acara di bawah adalah acara pernikahan?”
“Ya benar, Nyonya. Saya akan membantu Anda, menyiapkan diri.” Senyum Rara mengembang. Dengan cekatan tangannya membantu Cyuta Maharani.
“Apa benar aku jadi istri kelima?” tanya Cyuta disela-sela tubuhnya yang sedang dilulur wewangian melati oleh Rara.
“Saya tidak bisa menjawabnya, Nyonya. Sebentar lagi Nyonya Besar datang.”
“Siapa Nyonya Besar?”
“Istri sah utama, Nyonya.”
Tiba-tiba lulur yang dibalurkan di seluruh tubuh Cyuta terasa bagai bara api hingga peluh keluar dari pori-pori tubuh gadis itu.
Ada semacam trauma yang dialami oleh gadis itu. Cacian, makian hingga kata-kata kasar yang sering diluapkan untuknya merupakan sebab utama ketakutannya.
Alam bawah sadar seolah mengingatkannya untuk bersiap menerima kekerasan verbal dari para istri King Arthur.
“Apakah Anda kepanasan, Nyonya. Saya akan atur ulang pendingin kamar,” ucap Rara seraya bangkit mengambil remote Ac.
“Tidak, tidak perlu. Sudah cukup dingin, hanya saja aku belum terbiasa, jadi berkeringat.”
Rara mengerutkan dahi, bingung. Gadis itu menuruti Cyuta dan melanjutkan pekerjaannya.
Satu jam kemudian. Cyuta sudah tampil mempesona, wajah yang tidak pernah tersentuh riasan kini berubah bagai ratu dalam balutan baju pengantin berwarna putih gading yang sederhana namun elegan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Seorang wanita cantik nan anggun masuk diikuti oleh ketiga wanita lain dibelakangnya.
“Selamat atas pernikahanmu. Mulai sekarang, kamu adalah istri dari King Arthur.”
Cyuta kemudian melihat pada Haidar sebab memangnya dalam hatinya ada kebingungan. Kalau boleh jujur ada perasaan senang ketika orang lain mengakui dirinya sebagai istri dari lelaki yang dia cintai. Hal yang wajar dan sangat didambakan oleh semua wanita, namun apakah ini bukan mimpi di siang hari.Cyuta takut terbangun dari mimpinya.“Bagaimana Tuan, apakah Anda sudah menemukan pendonor untuk Nyonya?” seorang Suster mendekati Haikal dan kemudian memandang pada Cyuta.“Sebenarnya sakit apa, kenapa harus tranfusi darah?” tanya Haidar bingung.“Mahalini keracunan dan diduga sudah lama sehingga menyebabkan infeksi lambung serta anemia parah. Sementara golongan darah Mahalini termasuk susah dicari,” ujar Haikal lirih.Sejak lama Mahalini menderita anemia hemolitik dan saat ditemukan pingsan, Haikal baru mengetahui bahwa keadaan istrinya tidak sesederhana yang dilihat.“Jika aku boleh meminta, ijinkan istrimu-““Aku akan lakukan, Tuan. Suster ayo secepatnya lakukan, jika itu untuk kep
“Untuk apa minta maaf, toh ini bukan anakmu,” ucap Cyuta ketus. Hatinya merasa bersalah, saat dinyatakan hamil dia pernah menolak kehadiran calon anak ini, dan kini saat benar-benar hilang Cyuta baru merasakan berdosa karena tidak mampu menjaga keselamatan bakal bayinya.Dunia terasa tidak adil semakin tidak adil. Cyuta kembali terpuruk bahkan lebih parah kehancurannya.“Siapa bilang bukan anakku. Aku bisa jamin seratus persen, janin itu adalah keturunanku, Sayang.”Haidar mendekati Cyuta, perlahan menyentuh tangan yang terpasang selang infus.“Sudahlah, semua sudah hilang. Sekarang kamu, aku bebaskan untuk menikahi kekasihmu itu. Supaya tidak menjadi gila dan selalu mencelakaiku. Aku tidak bisa jamin, setelah ini apa aku masih wanita yang sama.”“Tante, tante jangan sedih. Ada Lili di sini.” Tiba-tiba sentuhan tangan kecil Lili memberikan suatu kehangatan bagi Cyuta.Perlahan dirinya menoleh dan melihat gadis kecil itu tersenyum polos padanya. Mengapa senyum gadis kecil ini b
Degh.Ucapan yang langsung terasa menyakitkan dalam batin Cyuta, tetapi sedapat mungkin dia tersenyum dan mengacuhkan wanita yang mengaku sebagai tante bocah kecil perempuan ini.“Tante, aku boleh main di sini kan?” ucap gadis bermata bulat itu dengan tatapan memohonnya.“Tentu saja, kan ini rumah Om mu. Dia hanya numpang, Sayang.”Lili bingung tidak mengerti arti perkataan tantenya, matanya kembali terarah pada Cyuta. Sungguh senyum gadis kecil itu mampu menyejukkan hati Cyuta.“Tidak apa-apa, tante senang kalau Lili mau main sama tante Cyuta,” ujar Cyuta tanpa menghiraukan sekitarnya.“Tapi tante belum punya mainan, tunggu ya nanti kalau tante sudah beli banyak-““Hei! Kamu tidak punya sopan santun ya! Tinggal dengan calon suami orang, kumpul kebo ini namanya!”Cyuta terkejut dengan suara bentakan untuknya. Haidar sudah membawanya keluar dari lingkungan yang membuatnya tidak nyaman, kini harus berhadapan dengan manusia dengan temperamen yang sama. Cyuta hanya bisa menahan per
Cyuta terbelalak dengan ucapan Haidar. Dalam hati wanita ini bertanya semudah itukah lelaki yang telah berjanji untuk melindunginya berkata bahwa dirinya adalah pembawa sial. Kata yang sangat menyakitinya selama ini.Cyuta terluka, masih terluka dan tetap menyimpan luka dalam hatinya. Sekali lagi Cyuta melirik pada lelaki yang ada di sebelahnya, penasaran dengan arti kalimat mantan pengawalnya.Mantan? Entahlah, yang dia tahu lelaki itu mungkin saja benar ayah dari janin yang dia kandung.“Huhh,” keluh Cyuta pada akhirnya. Haidar menoleh, menatap penuh selidik pada wanitanya.“Ada apa? Apa ada yang tidak nyaman?” tanya lelaki itu.Kendaraan terus melaju tanpa Cyuta tahu arah tujuannya saat ini. Tempat yang akan disebut sebagai rumah benarkan akan berupa rumah untuk berlindung atau hanya tempat singgah sementara saja.“Tidak.”“Tidak? Benarkah?”Tidak ada jawaban dari Cyuta. Mata wanita itu beralih ke luar jendela menikmati setiap ruas jalan yang bergerak cepat. Rasanya ing
“Siapa yang hamil?”King Arthur Haikal tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, semua seketika menoleh kecuali Cyuta yang masih terpaku memandangi perutnya.“Suamiku, adik kelima hamil, entah dia anak siapa?” Indira yang tidak pernah putus asa menarik perhatian Haikal mencoba mendekati pria tersebut tanpa mempedulikan tatapan Mahalini.“Aku sudah menyuruhmu pergi dari sini, jangan sampai kamu pun aku usir keluar dari rumah ini.”Langkah Indira terhenti mendadak. Sekilas nampak kilatan amarah di matanya sebelum kemudian merubah mimik wajahnya seperti wanita tak berdosa.“Kalian bertiga pergi dari ruangan ini, tidak ada gunanya juga kalian di sini,” usir Mahalini kejam.Indira, Alma dan Jenny sedikit tercekat melihat pada Nyonya Besar dengan tatapan tidak sukanya, tetaoi tidak bisa berbuat apa-apa.“Apa benar dia hamil?” ulang Haikal.“Aku akan membawanya periksa ke dokter,” ujar Haidar seraya menarik tangan Cyuta, mengajak wanita itu pergi.Sungguh pemadangan yang semakin membuat te
Haidar tanpa menghiraukan yang lain segera memeluk tubuh Cyuta yang terjatuh. Wanita dengan status sebagai Nyonya Kelima itu berdiri saat ingin menjawab pertanyaan Mahalini, namun siapa sangka tubuhnya limbung menyisakan seribu pertanyaan. “Aku sangat mencintainya, Nyonya –“ Penggalan kalimat yang mengejutkan semua orang. Termasuk King Arthur Haikal. Seluruh mata kini tertuju pada Haidar yang memeluk, dan mengangkat tubuh Cyuta dengan raut wajah khawatir. Indira dan Jenny tersenyum sinis, tidak menyangka semudah ini membuat Cyuta dan Haidar masuk dalam perangkap besar. Impian mendepak wanita itu ternyata didukung oleh semesta. “Panggil dokter!” seru Mahalini yang segera direspon oleh Rara, sang pelayan pribadi Cyuta. Haidar membaringkan Cyuta di sofa panjang, kemudian berusaha memberikan aroma minyak kayu putih di hidung wanita muda itu. Usaha yang dilakukan oleh Haidar menjadi tontonan banyak orang. Mahalini dan Haikal saling berpandangan penuh arti. Sementara ketiga mad