Share

4

"Pak, jangan bercanda! Ini masalah penting. Di sini masa depan saya yang dipertaruhkan. Bapak enak cuma celup-celup aja, yang nanggung konsekuensinya saya sendirian," ujar Islandia dengan sangat gelisah. Dia tidak mau kalau sampai hamil di luar nikah, apalagi dengan bosnya.

Keluarga pria itu pasti tidak akan setuju dengannya. Wajar saja, Isla itu miskin, bukan level dan tidak setara. Yah, River pun belum tentu mau dengannya. Yang tersisa saat ini hanyalah Islandia sendirian. Bagaimana kalau sampai dia hamil? Mengurus Ivy yang sudah besar saja ternyata sangat merepotkan, apalagi kalau mengurus bayi. Lalu, bagaimana dengan pekerjaannya? Hutangnya? Apa anaknya bisa dijamin akan sehat selalu dan baik-baik saja? Isla begidik membayangkan nasibnya kelak.

Dari seberang sana, terdengar suara decakan halus dari River. "Ya sudah, sekarang saya akan datang ke rumah kamu untuk membawa obat pencegah kehamilan. Kamu tunggu di luar rumah saja," titah River, yang kemudian terdengar suara pria itu berjalan membuka pintu kamarnya. Mungkin River tadinya sudah ada di posisi benar-benar hampir beristirahat.

Islandia pun segera mematikan ponselnya sendiri. Tanpa sempat merapikan rambutnya yang berantakan akibat banyak diacak, gadis itu mengendap-endap untuk keluar rumah. Untungnya situasi aman karena Ivy tengah sibuk siap-siap pergi study tour besok subuh.

Setengah jam kemudian, mobil mewah River datang dan parkir di seberang rumah Islandia. Buru-buru gadis itu berlari ke sana dan masuk ke dalam mobil tersebut.

"Ini. Morning after pill. Kamu bisa minum setiap kali kita sudah berhubungan," ujar River sambil menyerahkan sebotol kecil pil. Sekat mobil antara supir dan penumpang sudah diturunkan, sehingga percakapan keduanya tidak bisa terdengar sampai ke depan.

Dengan ragu, Islandia memeriksa labelnya dan mengangguk begitu membaca apa saja kegunaan pil-pil tersebut. "Tapi, kok, banyak banget sih, pilnya? Di sini katanya cuma satu kali setelah berhubungan. Sisanya dibuang aja?" tanya Isla yang berpikir bahwa River terlalu malu untuk membeli satu pil, sehingga pria itu membeli banyak saja sekalian.

"Ya, jangan dibuang, dong. Buat simpanan, kalau-kalau kita begitu lagi," sahut River dengan sangat enteng.

Sontak, mata Islandia langsung melotot kaget. "Apa-apaan? Saya nggak mau begituan lagi sama Bapak! Sekali aja cukup! Memangnya saya gila, apa?" Ireline kemudian memundurkan tubuhnya ke pintu mobil saking terkejutnya.

Yang membuat Islandia semakin takut adalah tatapan River yang turun dari wajahnya, ke dadanya, lalu ke kakinya dan kemudian naik lagi ke mata Isla. Ini adalah pertama kalinya River punya tatapan yang begitu intens terhadap seorang gadis. Biasanya pria itu cenderung cuek, dan selalu enggan untuk menatap lama-lama.

"Yah, siapa yang tahu ke depannya? Lagipula, enak, kan?" tanya pria itu dengan tatapan yang lurus-lurus.

Parahnya, bukannya mengelak, Islandia malah mengiyakan. "Iya, enak. Meskipun awalnya sakit," jawab gadis itu dengan jujur.

Senyum miring River yang biasa muncul hanya saat pria itu merasa 'menang' atas tendernya, tiba-tiba saja tersungging dan entah kenapa, Islandia langsung merasa merinding seketika itu pula. Tidak tanggung-tanggung, bulu kudunya berdiri dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Sekarang keluar. Saya mau istirahat," usir River yang langsung membuat Islandia mendengkus.

Yang aneh, bukannya pergi dengan mobil mewahnya, River yang katanya mau istirahat malah mengintili Isla turun dari mobil, bahkan sampai ikut menyebrang dan masuk ke kawasan beranda rumah sang sekertaris!

"Ngapain, sih, Pak?! Kok malah ngikutin saya? Katanya tadi mau istrirahat?" tanya Isla begitu sadar kalau pria bertubuh seratus sembilan puluh lima sentimeter itu sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

"Mau istirahat, lah. Saya capek kalau harus kembali lagi ke rumah, jauh. Jadi saya akan menumpang tidur di rumah kamu." River berkata dengan sangat enteng sekali, seakan hal itu bukan masalah besar. Kasusnya sama ketika mereka kemarin tak sengaja tidur bersama.

Tak kuasa menahan kelelahannya, Isla pun meremas rambutnya yang memang sudah berantakan. "Pak, please. Di dalam ada adik saya dan saya nggak mau memberi contoh yang tidak baik dengan membawa seorang pria ke dalam kamar. Jadi, tolong pulang saja ke rumah Bapak yang jauh lebih mewah daripada rumah sederhana saja," tolak gadis itu dengan lembut.

Namun, bukan River namanya kalau tidak menyebalkan dan tidak mengganggu ketenangan Isla. Dengan santainya pria tersebut membuka pintu rumah sang sekertaris lalu masuk ke dalam. "Kamar kamu yang mana? Cepat bilang sebelum adik kamu keluar dan memergoki saya ada di sini," bisik sang bos dengan nekat.

Dengan sangat terpaksa, Isla pun menunjuk ke arah sebuah pintu dan dalam sedetik saja River sudah masuk ke sana, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang Isla.

"Lho? Mbak, kok, belum istirahat? Katanya tadi malam habis lembur?" tanya Ivy yang tiba-tiba saja muncul dari pintu kamarnya karena mendengar suara kasak-kusuk.

Tubuh Islandia pun langsung menegang sejenak sebelum akhirnya gadis itu menjawab. "Iya, ini mau istirahat, kok. Tadi Mbak lupa masukin sepatu ke dalam. Kamu siap-siap lagi aja. Nanti kalau sorean agak lapar, pesen makanan yang agak banyak dan jangan nungguin Mbak, soalnya Mbak mau tidur dengan nyenyak. Sisain aja dikit buat Mbak isi perut. Oke?" Yang langsung Ivy jawab dengan anggukan paham.

Setelah itu, Isla masuk ke kamarnya dan mengunci pintu agar Ivy tidak sembarangan masuk seperti biasa.

Dari arah ranjang, River yang sudah berbaring pun menatap Isla dengan padangan menggoda. "Sini, gabung. Sepertinya kamar kamu nggak kedap suara? Kita tantang diri kita, apa bisa melakukan itu tanpa suara," tawar River yang langsung mendapat lemparan jepit rambut dari Isla.

"Dasar nggak waras!" sungut gadis itu. "Lagian kamar ini kedap suara, kok. Dulunya bekas studio rekaman. Udah ah, istirahat sana. Saya mau mandi dan bersih-bersih."

"Nggak ada niat mengajak saya bersih-bersih juga? Saya bakal bersihkan kamu sampai ke sela-sela yang tidak bisa kamu jangkau sendiri. Sampai ke titik terdalam."

Langsung saja Isla membanting pintu kamar mandinya. Baru kali ini dia mendapati kalau ternyata River bisa sangat 'seterbuka' itu soal hal-hal yang menyangkut kegiatan intim. Apa karena mereka sudah tidur bersama, ya?

***

Saat Islandia keluar dari kamar mandinya, gadis itu mendapati River sudah tertidur nyenyak.

Yah, dia tahu kalau bosnya sangatlah tampan, tapi, melihat pria itu tertidur dan matanya tertutup, membuat ketampanan River jadi berkali-kali lipat. Alasannya tentu saja tidak ada mulut julid yang selalu mengganggu dan mengomeli Isla. Tatapan gadis itu kemudian menelusuri tubuh sang bos yang tidak ditutup selimut. Mmm, sangat menggoda.

Meskipun memakai baju yang cukup longgar, Isla masih bisa melihat otot-otot tubuh River yang membuatnya ingin sekali menyentuh tubuh pria itu. Namun Isla berusaha menyadarkan dirinya. Miliknya masihlah tidak nyaman karena semalaman dia baru saja melepas kesucian. Ya kali kalau dia jadi tergoda dengan River, padahal tadi dia sudah menolak pria itu sebanyak dua kali.

Jadilah Islandia hanya menghela napas, lalu gadis itu sempat minum pil pemberian River dan akhirnya naik ke sisi ranjang yang kosong dan tertidur di sana. Tubuhnya yang kelelahan membuat gadis itu langsung terbang ke alam mimpi hanya dalam sekejap saja.

Beberapa jam kemudian, Isla yang kelaparan pun terbangun dalam pelukan River yang sangat hangat dan nyaman. Entah bagaimana mereka berakhir dengan posisi demikian, namun yang pasti, gadis buru-buru melepaskan diri dari rengkuhan sang bos.

"Kenapa dilepas, sih? Saya masih mengantuk," ujar pria tersebut dengan mata yang masih terpejam.

"Enak aja peluk-peluk. Saya bukan guling," celetuk Islandia yang kemudian menatap dirinya di cerimin, bersiap-siap untuk keluar dari kamar dan makan karena sudah lapar.

Suara erangan pun muncul dari mulut sang bos, yang entah kenapa terdengar sangat erotis, padahal pria itu sedang mengguliat. "Habis kamu lebih empuk dari guling. Saya jadi nyaman," sahur River yang akhirnya membuka mata dengan sempurna.

Sementara itu, Islandia ingin sekali mencekik bosnya yang sangat menyebalkan. Namun, tentu saja hal itu tidak mungkin, sehingga Isla hanya bisa menghela napas pasrah. "Sudah istirahatnya, kan? Silakan Bapak keluar lewat jendela, karena adik saya pasti sekarang sedang ada di ruang tengah," ujar Islandia yang kemudian keluar dari kamar dan mengunci pintu dari luar, membuat River mau tak mau hanya punya satu jalan keluar: jendela.

"Kok dikunci kaamrnya, sih? Memangnya Mbak mau ke mana?" tanya Ivy yang tengah menonton acara kuis pendidikan di tv ruang tengah.

Buru-buru Islandia tersenyum palsu. "Nggak apa-apa. Cuma ada berkas penting soal pekerjaan di kamar. Takutnya ada maling masuk, kan bahaya," jawab gadis itu sambil berbohong. Untungnya Ivy hanya mengangguk saja. "Kamu sudah pesan makanan? Mbak lapar nih."

Dan Ivy pun menunjuk ke arah dapur, di mana terdapat satu kotak ayam goreng yang sudah dingin berada. Langsung saja Isla menghampiri makanan tersebut, tak lupa dia juga mengambil nasi yang sudah Ivy masak di penanak nasi.

"Nanti kalau ada apa-apa di sana, kamu harus segera hubungi Mbak, ya. Kalau kurang uang juga bilang saja, biar Mbak transfer. Jangan pisah dari teman-teman sama para guru. Jangan percaya kalau ada yang ngajakin kamu pergi ke suatu tempat asing--" Islandia pun memberi ceramah panjang lebar karena Ivy akan pergi study tour ke pulau seberang sampai seminggu lamanya.

Untungnya Ivy menerima wejangan itu dengan sangat baik dan kemudian berjanji akan menuruti semua ucapan Isla. Baru setelah itu Isla bisa makan dengan baik.

Karena akan berpisah cukup lama, akhirnya malam itu Isla tidak kembali ke kamarnya dan memilih untuk tidur bersama Ivy. Sampai akhirnya subuh menjelang dan dia pun dengan berat hati melepaskan gadis berusia empat belas tahun yang sudah dia anggap sebagai keluarganya sendiri.

"Pokoknya hubungi Mbak setiap hari, oke? Kapan pun itu, Mbak pasti akan balas. Hati-hati di sana, ya. Kamu harus pulang dalam keadaan utuh," pesan Isla sebelum akhirnya Ivy pergi dengan mobil jemputan sekolahnya untuk berkumpul di sekolah dan pergi menggunakan bus yang sudah disediakan di sana.

Islandia pun menghela napas, agak tidak rela karena selama ini Ivy selalu menemani hari-harinya dan sekarang gadis itu akan pergi selama satu minggu.

Dengan langkah berat Isla masuk ke dalam rumah, ingin kembali melanjutkan tidurnya dan memanfaatkan hari Minggu dengan sebaik mungkin. Namun, begitu pintu kamarnya di buka, Isla dikejutkan oleh River yang ternyata masih ada di sana. "Pak! Ngapain masih di sini? Dasar gila! Pulang sana!"

Sayangnya, River yang sepertinya sudah terbangun cukup lama itu hanya tersenyum miring. "Adik kamu sudah pergi? Berarti kita bisa melakukan yang iya-iya tanpa ketahuan, dong?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status