Share

3

Begitu pertanyaan tersebut terlontar dari mulutnya sendiri, ingatan gadis itu langsung mengalir deras, seperti bendungan yang baru saja dibuka pintu airnya.

Islandia ingat saat dirinya dengan pasrah dibawa ke kamar River, lalu didorong ke atas ranjang raksasa milik pria tersebut. Pikiran gadis itu sempat waras sejenak dan ingin pulang karena dirasa ada yang salah dengan kejadian tersebut. "Pak, kayaknya kita nggak bisa ngelakuin ini," ujar Isla saat itu.

Kemudian, begitu melihat River yang sudah menurunkan celananya, Isla pun tercengang dan pendapatnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. "Wah, besar. Pasti luar biasa dan enak," ujarnya yang kemudian hilang akal dan ujung-ujungnya malah menuruti gejolak hasrat yang ada di dalam dirinya. Sehingga malam itu, gadis tersebut bertindak di luar nalar sehatnya yang biasa dan berakhir dengan tidur bersama bosnya, atasan langsungnya, yang setiap hari bertemu juga bekerja bersama.

Wajah Isla langsung memerah begitu seluruh ingatan semalam muncul, di mana dirinya sempat menggoda River agar mereka melakukannya lagi. Dia bahkan dengan berani mengatakan kalau bosnya terasa sangat nikmat, sehingga menyesal tidak mencoba menggoda pria itu sedari awal.

Islandia pasti sudah gila.

"Sial. Kenapa kita bisa sampai nggak punya otak kayak begitu?" geruti Isla sambil meremas rambutnya sendiri. Dia heran dengan kelakuan nakalnya semalam. Dia itu gadis lurus yang tidak pernah berpacaran sekalipun. Bahkan, di usianya yang kedua puluh tahun, Isla tidak pernah menggandeng pria lain selain River, itu pun terpaksa karena tuntutan pekerjaan. Pokoknya, pengalaman Isla soal lawan jenisnya itu nol besar.

Yang tidak disangka adalah gerakan River di sisi Isla. Dengan santainya pria itu bangkit untuk duduk dan menunjukkan sebagian tubuhnya yang berotot.

Sontak saja Islandia berteriak sambil menutup matanya. Dan, dengan menyebalkan River bereaksi seakan tubuh telanjangnya itu adalah berkah, sehingga Isla harusnya bersyukur sudah melihat, bukannya berteriak tidak jelas. "Berlebihan sekali. Padahal kamu sudah melihat semuanya semalam, bahkan merasakannya juga," ujar River yang kemudian turun dari atas ranjang dan berdiri membelakangi Isla.

Pemandangan bagian belakang tubuh pria itu memang sangat indah, apalagi depannya.

"Saya semalam nggak sadar! Hilang akal! Gila! Dan sekarang saya sudah waras. Siapa yang tidak kaget dikasih lihat yang begituan! Sial! Bisa-bisanya kita tidur bareng."

"Sial dari mana? Kamu bahkan minta lagi dan lagi. Yang ada keenakan," celetuk River tanpa ada rem sama sekali. "Lagian kamu dapat minuman berperangsang itu dari mana, sih? Bisa-bisanya dosisnya setinggi itu."

Dalam satu detik saja, Isla langsung membuka matanya karena mendengar kata yang sangat tabu di telinganya. Seketika itu pula, Islandia langsung menyesal karena River berdiri menghadapnya dengan sangat percaya diri, seakan dia Adonis saja, yang telanjang, gagah dan sangat bangga dengan tubuhnya sendiri. "Pak! Tutupin, kek. Bisa-bisanya malah dibiarin gundal-gandul!" tegur Isla yang kali ini langsung mengalihkan pandangannya. Meskipun begitu, ada secuil perasaan yang membuat gadis itu rasanya ingin mengintip ke arah sana.

"Badan saya bagus, punya saya ukurannya besar dan tahan lama. Kamu harusnya merasa beruntung. Mana semalam kamu sudah merasakannya, pula," jawab River dengan arogan. "Dan kamu belum jawab pertanyaan saya. Dari mana minuman itu. Atau jangan-jangan kamu yang racik sendiri? Tujuannya supaya teman saya minum, lalu kalian tidur bersama dan akhirnya dia harus bertanggung jawab?"

Tentu saja pertanyaan menyudutkan itu membuat Islandia sakit hati. Memang, orang miskin cenderung dituduh yang tidak-tidak karena mereka tidak punya uang. Mungkin streotip itu juga muncul karena tingginya angka kriminalitas yang pelakunya orang-orang miskin. Tapi, ya kali sampai menuduh Islandia berbuat sekotor itu. Padahal mereka sudah bekerja bersama sampai berbulan-bulan!

Langsung saja Isla pun melemparkan bantal di sisinya ke wajah sang bos. "Enak saja main tuduh-tuduh. Saya juga ogah sama orang kaya seperti kalian! Bajingan semua! Tidak ada yang bisa dipercaya! Brengsek!" sergah gadis itu dengan penuh emosi. "Minuman itu dikasih sama Eloise! Sialan! Gara-gara si cacing, saya jadi nggak suci lagi!"

Mendengar ocehan Isla, reaksi River hanya menyingkirkan bantal yang mengenai wajahnya, lalu pria itu mengangkat sebelah alisnya. "Saya juga kehilangan keperjakaan saya, tapi tidak rewel seperti kamu," sahut sang bos dengan nada yang sangat meremehkan.

"Mana ada, Bapak pasti sudah icip-icip sama wanita lain! Idih, saya pakai bekas orang," sungut Isla sambil mengusap lengannya seakan jijik.

"Enak saja, saya masih gres, ya! Baru kamu yang buka segelnya. Saya nggak suka celap-celup sana-sini. Punya saya itu ekslusif. Kamu harusnya beruntung karena jadi orang pertama yang mencoba."

Inginnya, sih, Islandia tidak percaya dengan perkataan sang bos, namun wajah pria itu serius sekali, hingga Isla mau tak mau akhirnya percaya juga. Lagipula, untuk apa bosnya berbohong, kan? "Wah, berarti selama ini Bapak beneran bujang lapuk yang nggak laku. Di umur tiga puluh delapan masih perjaka sampai tadi malam," celetuk gadis itu yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari sang bos.

"Sudahlah, sekarang kamu bangun dan bersih-bersih, kita harus pergi ke kantor," ujar River sambil masuk ke kamar mandi, padahal satu detik lalu pria itu menyuruhnya bersih-bersih. Jadi, maksud River itu, mereka mandi bersama?

"Terus nasib saya gimana? Memangnya boleh sesantai ini setelah kita tidur bersama? Bukannya saya harus me-reog karena baru saja kehilangan kesucian?"

Lalu, Isla pun melihat River mengangkat bahunya. "Silakan kalau kamu mau me-reog, saya tidak akan mencegah, tapi, memang ada gunanya? Toh, semua sudah telanjur. Yang bisa kita lakukan hanya melanjutkan hidup. Ini risiko karena kita tidak berhati-hati. Jadi, cepat masuk sini dan bersihkan diri karena kita ada pertemuan penting dengan klien."

***

Sudah. Seperti itu saja. Hari itu Islandia habiskan dengan sangat wajar dan tidak ada yang aneh.

Tadi pagi, gadis itu bergabung di kamar mandi dengan River dan membersihkan diri sambil merasa canggung, namun dia tetap melakukannya karena diburu waktu perkara River mengatakan satu nama klien paling penting di perusahaan. Setelahnya, mereka selesai dan Isla pun mengenakan pakaian yang entah bagaimana sudah disiapkan untuknya di atas ranjang.

Lalu, mereka pergi ke kantor, di mana klien penting perusahaan sudah menunggu dengan gagahnya, padahal hari itu adalah akhir pekan, di mana semua pegawai libur.

Selesai rapat, barulah Islandia diizinkan pulang dan diantar oleh supir sang bos menuju ke rumah.

Satu-satunya pengingat kalau mereka sudah melakukan hal itu, hanyalah rasa nyeri yang ada di antara kedua kaki Islandia. Sangat tidak nyaman dan mengganggu di setiap gadis itu bergerak. Sisanya? Bahkan seperti mereka tidak pernah melakukan apa-apa dan berkegiatan layaknya hari normal biasa. Atasan dan bawahan biasa.

"Mbak kenapa baru pulang sekarang? Dari semalam aku tungguin Mbak, tapi Mbak nggak pulang juga," ujar Ivy begitu Isla membuka pintu.

Tentu saja Islandia langsung gelagapan, karena selama lima bulan mereka tinggal bersama, ini kali pertama Isla semalaman tidak pulang ke rumah. "Sehabis dari pesta, Mbak masih harus menemani Pak Bos lembur di lobi hotel semalaman, terus karena terlalu larut, jadi Mbak nginep di hotel aja sekalian. Kebetulan kemarin dapat voucher buat menginap dan paginya Mbak masih harus kerja lagi karena ada klien penting," jawab Islandia dengan cepat dan penuh kebohongan. Untung saja otaknya bekerja dengan sangat cepat, kalau tidak habislah dia.

Raut wajah Ivy yang tadinya cemas pun langsung berubah jadi lega. "Syukurlah. Ivy pikir, Mbak habis berbuat yang nggak-nggak sama pria jahat," ungkap Ivy yang langsung membuat jantung Isla seperti baru saja ditarik keluar dengan paksa. "Untungnya Mbak nggak aneh-aneh. Jangan sampai terjadi juga, deh, karena kalau sampai hamil, kasihan nanti, yang jadi korban itu anaknya. Kayak nasib Ivy sekarang, selalu dibilang anak haram sama Ibu dan dibilang anak bawa sial."

Langsung saja Islandia meringis mendengarnya. Kisah hidup Ivy memang miris sekali, makanya Isla sampai nekat membeli gadis itu sebelum terjadi sesuatu kepada remaja berusia empat belas tahun tersebut. Sekarang, Isla bahkan berperan sebagai kakak sekaligus keluarga Ivy satu-satunya, yang menafkahi dan menyekolahkan Ivy.

Karena topik pembicaraan mereka berubah jadi ke arah yang sangat tidak nyaman, buru-buru Isla mengalihkan pembicaraan. "Sudah, jangan bahas itu. Kamu 'kan sekarang sudah hidup nyaman sama Mbak. Yang lewat lebih baik dilupakan saja, karena Mbak pasti akan melindungi kamu," papar Islandia sambil mengelus kepala Ivy. "Omong-omong, kamu sudah siap-siap buat study tour besok? Jangan sampai persiapannya mendadak, lho. Nanti kamu kerepotan."

"Oh, iya. Ivy lupa. Kalau gitu, Ivy siap-siap dulu," ujar remaja tersebut sambil berlari menuju ke kamarnya.

Sayang sekali, kepergian Ivy tidak membuat Islandia lega juga karena omongan gadis itu sebelumnya membuat pikiran Isla terusik. Dengan segera gadis itu masuk ke kamarnya, mengunci pintu, lalu menelepon River dengan menekan tombol nomor dua cukup lama.

"Apa? Saya baru mau istirahat, sudah diganggu lagi saja." River menggerutu begitu mengangkat telepon.

Meskipun kesal, Isla masih harus tetap mempertahankan panggilan itu karena ada hal sangat amat penting. "Semalam kita nggak pakai pengaman?" tanya gadis itu dengan cemas.

"Mana ada pengaman. Saya tidak pernah menyiapkan yang begitu. Jadi, selama berkali-kali kita berbuat, ya, tanpa pengaman," jawab River dengan santai.

Islandia pun menggigit bibirnya karena gelisah. "Gimana kalau saya hamil?"

"Ya, berarti kita bakal punya anak."

Sialan! Islandia juga tahu kalau soal itu. Yang dia tanyakan itu, bagaimana dengan nasib Isla selanjutnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status