"Hah, Mas bilang apa?"
"Apa kamu tidak mendengarnya? Sudahlah terserah kamu mau percaya atau tidak." Alvarendra kembali berdiri lalu berjalan menuju ke kamarnya, diikuti oleh Aretha di belakangnya. Malam hari Aretha terbangun dari tidurnya, dia merasa tenggorokan kering. "Haus." Gumam Aretha lirih yang masih dalam keadaan setengah sadar. Dia berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati, namun karena kakinya masih terasa sakit akhirnya jatuh ke lantai. BUG "Awh!" Aretha mengadu kesakitan setelah terjatuh dari ranjang. Alvarendra terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara Aretha jatuh sambil mengadu kesakitan. "Sayang, kamu tidur sambil berjalan, kenapa nggak menyalakan lampu?" Alvarendra merasa heran melihat Aretha sudah ada di lantai, padahal kamar masih dalam keadaan remang-remang hanya ada sedikit cahaya dari lampu tidur. Dia segera turun dari ranjang untuk menghampirinya. "Aku takut akan membangunkan Mas, aku cuma mau mengambil air minum. Kakiku sakit karena terkilir ketika Mas menyeret ku." Ujar Aretha menjelaskan. "Kenapa nggak bilang, kamu marah sama Mas?" Tanya Alvarendra menatap ke arah Aretha seolah sedang mengintimidasinya. Aretha yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya pelan. Melihat Aretha menggelengkan kepalanya pelan, Alvarendra segera mengangkat Aretha ke dalam gendongannya lalu mendudukkannya di tepi ranjang. Kemudian dia berjalan menuju meja mengambil sebotol air minum yang ada di atasnya. "Ini minum dulu! Katanya haus." Alvarendra menyodorkan sebotol air minum kepada Aretha. "Terima kasih Mas." Aretha yang melihatnya segera meraih botol minum tersebut kemudian meneguk isinya. "Lain kali kalau ada apa-apa bilang!" Ujar Alvarendra mengingatkan, tangannya bergerak memijat kaki Aretha yang tadi terkilir. "Padahal kakiku yang terkilir, tapi kenapa Mas Alvarendra yang kelihatan marah?" Batin Aretha heran melihat suaminya tampak marah. Aretha mengamati suaminya yang sedang memijat kakinya. Dia masih merasa heran dengan suaminya yang tiba-tiba marah tanpa alasan. "Bagaimana, apakah masih terasa sakit?" Pertanyaan Alvarendra membuyarkan lamunan Aretha. "Sudah mendingan, aku ngantuk ayo tidur!" Alvarendra menghentikan gerakan tangannya yang sedang memijat kaki Aretha. Dia merebahkan tub uhnya di samping Aretha lalu memeluknya dengan erat. Pagi hari Alvarendra terkejut melihat Kaki Aretha tampak bengkak. "Ayo ke rumah sakit!" Alvarendra menyusuri lorong rumah sakit sambil menggendong Aretha. "Mas, turunkan aku! Kakiku cuma terkilir aku masih bisa jalan sendiri." Aretha mendongak menatap wajah Alvarendra berharap Alvarendra akan menurunkannya. "Kamu boleh menatapku seperti itu terus jika ingin gosipmu menjadi berita utama pagi ini." Alvarendra tersenyum ke arah Aretha, sedangkan Aretha dengan cepat memalingkan wajahnya. Mereka masuk ke dalam ruangan dokter spesialis ortopedi. "Dok, tolong periksa kaki istriku!" Dokter Fandi segera menoleh ke arah Alvarendra setelah mendengar ucapannya. "Silahkan duduk dulu." Alvarendra menurunkan Aretha dari gendongannya menaruhnya di atas ranjang rumah sakit. "Bagaimanapun caranya pastikan kaki istriku sembuh seperti sedia kala!" Ujar Alvarendra tegas menatap dokter Fandi. "Kami akan berusaha yang terbaik untuk kesembuhan kaki istri bapak." Ujar dokter Fandi. Dokter Fandi berjalan menghampiri Aretha kemudian memeriksa kakinya yang terkilir. Tidak jauh dari mereka Alvarendra berdiri menatap ke arah dokter Fandi yang sedang memeriksa kaki Aretha. "Kakimu hanya terkilir tidak mengalami luka parah, untuk sementara waktu jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahat yang cukup sampai kakinya sembuh!" Dokter Fandi menjelaskan kondisi kaki Aretha. "Apa dokter bisa pastikan kaki istriku bisa sembuh seperti sedia kala?" Tanya Alvarendra menatap ke arah dokter Fandi menuntut jawaban darinya. "Iya, kaki istri Bapak hanya terkilir, untuk sementara waktu jangan terlalu banyak beraktivitas. Ini resep obatnya bisa ditebus di apotik!" Dokter Fandi menyerahkan selembar kertas tertulis resep obat untuk Aretha. "Terima kasih Dok, kalau begitu kami permisi dulu." Alvarendra menerima selembar kertas yang diserahkan oleh dokter Fandi lalu membacakan sekilas. Alvarendra mengangkat Aretha ke dalam gendongannya, membawanya keluar dari ruangan dokter spesialis ortopedi. "Fano, kamu tebus obat Aretha di apotik!" Alvarendra menyerahkan selembar kertas tertulis beberapa obat untuk Aretha kepada Fano. "Baik Pak." Fano berjalan menuju ke apotik, sedangkan Alvarendra masuk ke dalam mobil. "Hari ini kamu istirahat saja yang cukup di apartemen sampai kakimu sembuh!" Alvarendra menoleh ke arah Aretha yang duduk di sampingnya. "Iya Mas." Alvarendra kembali menatap ke depan. "Aku tahu Aretha bersedia menikah denganku karena uang, jadi aku tidak terlalu berharap dia akan setia kepadaku. Meskipun begitu tidak seharusnya dia berpelukan dengan pria sembarangan di luar sana." Monolog Alvarendra dalam hati teringat Aretha berpelukan dengan pria lain di restoran. Beberapa saat kemudian Fano masuk ke dalam mobil. "Pak ini obatnya." Fano menyerahkan plastik berisi beberapa obat kepada Alvarendra yang sedang duduk di dalam mobil. "Terima kasih!" Alvarendra menerima obat yang diserahkan oleh Fano kepadanya. "Pak, tadi saya melihat ada wartawan yang memotret bapak." Fano menyerahkan sebuah kamera kepada Alvarendra. Alvarendra melihat foto yang ada di kamera tersebut, foto dirinya dari belakang yang sedang menggendong Aretha masuk ke dalam rumah sakit. Karena memotretnya agak jauh jadi foto Aretha tidak terlihat jelas. "Apa perlu saya menghancurkan kameranya?" Fano bertanya dengan hati-hati. "Nggak perlu, kembalikan lagi kepadanya serta katakan untuk berhati-hati dengan apa yang ditulis olehnya!" Alvarendra menyerahkan kembali kameranya kepada Fano. "Baik Pak." Fano keluar dari mobil menghampiri wartawan yang telah memotret Alvarendra dan Aretha. "Foto siapa Mas?" Tanya Aretha merasa penasaran dengan foto yang sedang dibahas oleh Alvarendra dan Fano. "Kepo." Aretha mencebikkan bibirnya sebal mendengar Jawaban Alvarendra. "Foto Mas dan kekasihnya?" Tanya Aretha asal menebak. "Iya, nggak usah terlalu dipikirkan, lebih baik fokus pada kesembuhan kakimu!" "Iya Mas." Entah kenapa hati Aretha terasa nyeri, sehingga dia lebih memilih melihat keluar melalui kaca mobil. "Sayang, kamu marah sama Mas?" Alvarendra bertanya kepada Aretha sambil mengusap rambutnya dengan lembut. "Nggak Mas." Aretha tersenyum menoleh ke arah Alvarendra berusaha tetap terlihat biasa saja. "Aku bukan anak kecil yang suka ngambek." Ujarnya lagi. "Iya mas tahu." Alvarendra memperbaiki posisi duduknya kembali menatap ke depan. Fano masuk kembali ke dalam mobil, perlahan mobil berjalan meninggalkan area rumah sakit. Hening tidak ada pembicaraan di antara mereka, semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mobil berhenti setelah sampai di depan Villa Grand Luxury. Alvarendra turun dari mobil lalu mengitarinya membuka pintu sebelah kiri. Dia mengulurkan tangannya membantu Aretha turun dari mobil. Alvarendra memapah Aretha masuk ke dalam villa. "Sayang, hari ini kamu minta izin saja, nggak usah pergi ke kampus!" Alvarendra berkata sambil membantu Aretha duduk di sofa. "Tapi Mas ...." "Aretha, apa kamu lupa dengan apa yang tadi diucapkan oleh dokter Fandi?" Alvarendra mencondongkan tub uhnya ke arah Aretha sehingga wajahnya tepat berada di depan wajah Aretha. Aretha refleks memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya pelan. Alvarendra menyunggingkan senyum tipis kembali menegakkan tub uhnya, tangannya bergerak mengusap rambut Aretha dengan lembut. "Mas sudah minta Fani untuk datang ke sini, jadi kalau kamu butuh sesuatu bisa minta tolong kepadanya." Mendengar ucapan Alvarendra, Aretha membuka matanya secara perlahan lalu menunduk merasa malu. "Sayang, apa yang kamu pikirkan? Apa kamu berpikir mas akan menci_ummu?" Alvarendra tersenyum jahil ke arah Aretha. "Mana ada." Tanpa Aretha sadari semburat merah muncul di pipinya. "Benarkah?""Aretha, ada yang ingin aku bicarakan berdua denganmu." "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, hubungan kita sudah berakhir. Silahkan pergi dari sini!" Usir Aretha, dia tidak ingin bertemu dengan Alvarendra saat ini. Apalagi sampai dicap sebagai orang tiga karena menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri. "Semuanya hanya salah paham, karena itu aku ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita lima tahun yang lalu." Alvarendra akhirnya membuka mulutnya berusaha menjelaskan kesalahan pahaman yang terjadi lima tahun yang lalu. "Salah paham?" Aretha menatap ke arah Alvarendra meminta penjelasan darinya. Alvarendra menganggukkan kepala sebagai jawabannya. "Sebenarnya kesalahan pahaman seperti apa yang dimaksud oleh Mas Alvarendra?" Batin Aretha merasa penasaran. "Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya." Alvarendra menatap penuh harap ke arah Aretha. Aretha tampak terdiam berusaha mempertimbangkan permintaan Alvarendra. "Baiklah." Ujar Aretha lirih set
Lima tahun berlalu kini Aretha tidak lagi sendirian ada seorang anak laki-laki yang bersama dengannya. Yaitu anak laki-laki yang lahir dari rahimnya, anak dirinya dengan Alvarendra yang diberi nama Rafa.Selama lima tahun terakhir ini Aretha memfokuskan diri mengurus putranya serta butik miliknya, sama sekali belum terbesit keinginan untuk menikah lagi.Siang itu Aretha menjemput Rafa di sekolahnya seperti biasa."Bu, Rafa mau balon." Rafa merengek sambil menunjuk ke arah beberapa balon dengan beragam bentuk dan warna.Aretha menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Rafa, ada penjual balon di seberang jalan."Tunggu sebentar!" Aretha menoleh ke kanan serta ke kiri sebelum menyeberang jalan. Rafa yang sudah tidak sabar ingin membeli balon berlari begitu tanpa menunggu ibunya."Rafa!" Teriak Aretha terkejut sekaligus panik melihat sebuah mobil hampir menabrak Rafa. Beruntung pengemudi mobil segera mengerem mobil dengan cepat sehingga Rafa bisa selamat.Aretha langsung berlari ke arah Rafa lal
Alvarendra berjalan dengan cepat keluar dari restoran lalu masuk ke dalam mobilnya. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar bisa secepatnya sampai di apartemen untuk menanyakan alasan Aretha menjual kalung berlian "the hope diamond"."Kalau Aretha butuh uang seharusnya bilang langsung kepadaku, bukan malah menjual kalung berlian "the hope diamond" miliknya." Sepanjang perjalanan Alvarendra terus menggerutu kesal.Setelah sampai di apartemennya Alvarendra langsung membuka pintunya sambil memanggil nama Aretha dengan keras."Aretha, Aretha, Aretha ....!"Alvarendra berjalan masuk ke dalam apartemennya, namun apartemennya terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Kenapa sepi, apakah Aretha belum pulang?" Batin Alvarendra sambil mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Aretha di beberapa ruangan, namun sama sekali tidak menemukan keberadaan Aretha di dalamnya.Dia akhirnya berjalan menuju ke kamarnya lalu masuk ke dalamnya. Pandangannya tanpa sengaja melihat
"Mungkin seperti ini jauh lebih baik, Aku menikah dengan Alvarendra demi uang agar tetap bisa melanjutkan kuliah serta membiayai pengobatan ibu. Sekarang aku sudah lulus kuliah dan ibu juga sudah meninggal dunia. Saatnya aku belajar mandiri agar tidak bergantung terus dengan Alvarendra." Kata Aretha berusaha tetap berpikir positif dengan apa yang terjadi."Lebih baik kita fokus jalani kehidupan kita sendiri, tidak perlu peduli dengan Alvarendra." Sahut Tasya."Sya, aku hamil." Aretha akhirnya memberi tahu tentang kehamilannya kepada Tasya.Tasya terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Aretha. "Apa hamil, kamu serius?" Tanyanya memastikan."Iya, tapi aku sangat bersyukur karena aku tidak sendirian ada bayi di dalam perut ini yang akan menemaniku." Jawan Aretha tersenyum sambil mengusap perutnya yang masih rata."Aretha, menjadi single parent bukankah hal yang mudah." Ujar Tasya mengingatkan."Dua tahun ini hidupku juga tidak mudah tapi aku berhasil melaluinya. Aku yakin ibu memilih
"Aretha!" Panggil Evan membuat Aretha mengangkat pandangannya menatap ke arahnya."Iya Kak?""Kenapa nggak dimakan soto ayamnya?" Tanya Evan melihat soto ayam di mangkuk Aretha masih banyak."Ini dimakan, Kak." Jawab Aretha kembali memakan soto ayamnya."Sepertinya Aretha sudah jatuh cinta dengan Alvarendra?" Batin Evan menyadari perubahan ekspresi di wajah Aretha setelah melihat berita akuisisi HR Group.Setelah selesai makan Evan mengantarkan Aretha ke apartemen Grand Luminor."Terima kasih Kak." Aretha tersenyum ke arah Evan setelah turun dari mobil."Sama-sama."Evan menatap ke arah Aretha yang berjalan masuk ke dalam apartemen Grand Luminor."Meskipun kita tidak ditakdirkan untuk kembali bersama, aku berharap kamu bisa hidup bahagia." Gumam Evan lirih.Aretha membuka pintu apartemennya terlihat gelap dan sepi menandakan Alvarendra belum pulang."Sepertinya Mas Alvarendra belum pulang?" Batin Aretha berjalan masuk ke dalam apartemen lalu menyalakan lampunya.Dia masuk ke dalam kam
Evan yang melihatnya segera menahan tub uh Aretha sehingga tidak jatuh ke lantai, mengangkatnya ke dalam gendongannya. Dia membawa Aretha menuju ruang rawat."Aretha baru berusia 21 tahun tapi sudah harus kehilangan ayahnya, dan sekarang juga kehilangan ibunya." Batin dokter Wilson menatap iba ke arah Aretha yang sedang digendong oleh Evan.Terdengar bisik-bisik beberapa dokter dan perawat yang melihat Evan menggendong Aretha."Beruntung Aretha mempunyai suami yang tidak hanya tampan, tapi juga begitu perhatian.""Aku juga mau punya suami yang tampan serta perhatian."Evan seolah menulikan pendengarannya, dia tetap menggendong Aretha tidak peduli dengan beberapa orang yang sedang membicarakannya.Evan merebahkan Aretha di atas ranjang rumah sakit. Dia menatap iba wajah pucat Aretha yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wanita yang pernah menjadi kekasihnya memberi warna dalam kehidupannya kini terlihat begitu rapuh. Ada perasaan bersalah karena pernah menuduh Aretha yang t