LOGINselamat Hari Minggu selamat membaca kasih luluh atau nggak nih Papa Denver?
“Dari mana sih mereka tahu sekarang aku ada di sini?” Raina menggumam, suaranya benar-benar kecil ditelan keriuhan massa. Langkahnya pun makin berat, meskipun ia berusaha menyeret kakinya sekuat tenaga.“Jangan asal bicara kamu. Aku nggak pernah membunuh seseorang! Beraninya mulut kotormu itu menuduhku!” bentak Raina. Ia melotot pada Dinda yang masih menunjuk ke arahnya.Sambil memperpendek jarak, Dinda bicara dengan suara lantangnya, “Bu Raina yang terhormat, saya tidak sembarangan bicara. Apa Ibu lupa pertemuan kita di ruang ICU? Bukankah saat itu juga Ibu berusaha melenyapkan adik saya? Saya punya rekamannya! Anda menyamar jadi dokter padahal memiliki niat yang lain?” Suaranya bergetar karena teringat kepedihan dan penantian panjang agar Regina siuman dari koma.“Video palsu! Zaman sekarang, apa pun bisa dibeli dan dibuat. Kamu anak kecil pasti mengada-ngada!” Raina terus mengelak. Ia merasa harus membela dirinya mati-matian, karena kalau bukan diri sendiri, siapa lagi yang mau
“Buka pintunya! Kamu ada di dalam ‘kan dasar penyihir!” “Cepat buka jangan sembunyi!” Lolongan itu membuat Raina mengeratkan pegangan pada bungkus mie instan. Ia menelan ludah mengapa tiba-tiba orang-orang mendatangi rumahnya? Kemudian ia teringat dengan mimpinya semalam. Sambil tertawa getir Rana menggeleng. “Nggak mungkin mimpi sialan itu jadi nyata. Lagian siapa mereka? Ganggu aja orang mau makan,” gumam wanita itu tak sadar mie dalam genggamannya itu sudah remuk.“Dobrak saja pintunya! Bawa perempuan itu keluar!” seruan perintah itu membuat mata Raina membulat dan hampir melompat keluar.Tubuhnya langsung lemas dengan lututnya gemetar hebat. Ia mundur beberapa langkah, terdesak ke sudut ruangan. Kepalanya sungguh berputar-putar berusaha mencari celah, dan matanya tertuju pada pintu reot di belakang. Ketakutan mencekiknya lebih dalam, ia harus kabur dari sini sekarang juga! Suara gebrakan yang makin keras membuat Raina menjerit tertahan, “Akh?!”Ia buru-buru membuang mie insta
Laras membaca setiap kata di layar ponsel suami. Bukannya tenang, tetapi merasa merinding sampai menggosok tengkuknya pelan. Tatapannya kembali pada Dirga. “Sebanyak ini? Kalau … Mas dituduh pencemaran nama baik, gimana? Saya nggak mau, ya, Mas kenapa-napa.” Laras menelan liurnya sendiri. Terlalu seram membayangkan apa yang akan terjadi menimpa mantan ibu mertua.“Nggak akan dituduh pencemaran nama baik, percayalah. Kamu mau dia berlama-lama di desa atau cepat ditindak, hm?” Dirga membelai pipi Laras, lembut— seringai bulu. Suaranya yang pelan, justru membuat tubuh wanita itu bergidik ngeri.“Umm … kalau saya bilang supaya Bu Raina dipenjara aja, jahat nggak? Beliau udah mencelakai Regina, menukar obat-obatan demi keuntungan. Itu jahat banget, Mas. Nama rumah sakit juga bisa ikut bersih, karena selama ini semua orang anggap nakes RS yang lalai, padahal ‘kan nggak gitu,” beber Laras, teringat bagaimana awal-awal Dirga menjabat Direktur selalu pulang dengan wajah garangnya dan lembur d
Tangan Laras gemetaran meraih benda kecil itu. Matanya terpaku pada satu garis merah tebal yang terlihat jelas. Jantungnya langsung mencelos, rasa kecewa seketika menyergapnya dingin, semua harapan yang ia bangun di apotek tadi runtuh. 'Masa cuma satu? Tapi, dulu waktu aku hamil, garis tipisnya muncul belakangan,' batinnya, ia memegang test pack itu erat sekali. Laras terdiam, duduk terkulai di atas kloset. Ia masih menanti. "Ayo dong, ayo, ayo," gumamnya frustrasi selama sepuluh menit penuh. Nahas, bayangan samar kedua itu tak kunjung muncul. Laras menghela napas panjang, menatap alat itu dengan sorot mata nanar. "Belum ada, ya?" Ia mengusap perut ratanya. 'Tenang. Mungkin hormon HCG-nya belum terlalu tinggi untuk dideteksi alat ini. Aku bakal cek lagi seminggu dari sekarang,' tekadnya dalam hati, ia berusaha meredakan kekecewaan dengan logikanya sebagai dokter.**Sementara suasana berbeda terjadi di rumah sakit JB.Petang ini, Dirga baru saja menyelesaikan praktik di ruang pol
Dirga memicingkan mata mendapati istrinya terdiam sambil menunduk. Ia mendekat, mata karamelnya makin menajam tatkala Laras memegang perut dengan satu tangan. “Kamu sakit? Karena saya semalam? Sejak kapan? Tadi pagi atau malam?” tanya pria itu. Bahkan tanpa menunggu persetujuan, Dirga menarik tangan Laras mendekati ranjang. “Berbaringlah, saya periksa kamu.” Pria itu mengeluarkan stetoskop dari tas perlengkapan daruratnya. Sedangkan Laras bergeming, tangannya masih memegangi perut. Ia sendiri bingung, haruskah ia bicara tentang kecurigaannya atau memeriksanya diam-diam? Dirga mulai menempelkan stetoskopnya. Selama beberapa saat, ekspresi wajah tampan itu berubah serius, mencoba mendengarkan saksama. Ada sesuatu, kejanggalan dalam bunyi yang ia dengar, di area perut sang istr. Melihat suaminya diam begitu lama, Laras menjadi antusias sekaligus cemas. “Ada apa, Mas? Gimana?” Dirga tersentak, lalu mencabut stetoskopnya. Ia mencium perut rata Laras. “Nggak ada apa-apa, Sayang. Ka
Kepala Raymond yang benjol dipukul panci besi terasa berdenyut hebat, bahkan seperti jantungnya pindah ke atas tengkorak. Ia hanya bisa melotot sinis pada seorang perawat yang berusaha membersihkan lukanya di klinik 24 jam.“Obat macam apa ini?! Apa kalian tidak tahu cara mengobati luka? Cepat panggil dokter yang benar!” Suara Raymond meledak dalam ruangan yang luasnya tak seberapa itu.“Maaf, Pak. Dokter sudah memerintahkan kami untuk membantu obati luka Bapak,” perawat bertutur kata lemah lembut.Raymond justru memaki, “Kalian kerja tidak becus!”Ia lantas menepis tangan perawat itu kasar. Perawat hanya menunduk ketakutan.Raymond bangkit dari tepi ranjang periksa, mengambil dompet tebalnya, dan melempar beberapa lembar uang ratusan ribu tepat ke wajah perawat.“Heh, itu untuk ganti rugi waktuku yang berharga!!”Dengan langkah tergesa, Raymond keluar dari klinik. Ia melihat mobil mewahnya yang terparkir agak jauh. Mobil itu sedang dibersihkan oleh anak buahnya. Namun yang leb







