LOGINSetelah dua hari dirawat dan memastikan kondisi Laras stabil, Dirga diizinkan pulang. Pagi ini, mereka semua bersiap untuk kembali ke Jakarta. Draven dan Dashel telah mengatur pesawat pribadi keluarga agar perjalanan pemulihan Dirga dan kehamilan Laras berjalan nyaman.Bahkan kabin pesawat telah diubah menjadi ruang perawatan kecil yang mewah. “Makasih, Mas Dokter udah kembali sama saya,” lirih Laras, mencium punggung tangan suaminya berulang kali.Dirga duduk bersandar pada punggung kursi.“Iya, Mami Sayang.” Senyum di bibirnya ini menjadi berkat bagi Laras, bahwa suaminya baik-baik saja.Sedangkan Laras bersandar di sampingnya. Satu tangan Dirga mengusap lembut perut sang istri yang masih rata."Mami mau makan apa? Dari tadi Papi lihat makannya cuma sedikit, apa karena mual?" tanya Dirga lemah lembut, mata karamelnya menunjukkan kekhawatiran.Laras menggelengkan tegas. "Nggak mual, Mas. Cuma ... takut mulas kalau kekenyangan, ‘kan mau perjalanan jauh. Sebentar lagi juga ada ma
Malam hari menyelimuti ruang perawatan Dirga. Alih-alih dipenuhi tawa dan cerita, suasana terasa berat. Draven, Dashel , dan Randy berkumpul. Namun topik pembicaraan mereka tidak jauh dari kondisi Raymond. Sedangkan Dinda yang masih lemas akibat donor darah, sudah tertidur pulas di sofa panjang. Berbeda dengan Laras berbaring hati-hati di ranjang suaminya, bersandar pada lengan Dirga, dan memeluk erat suaminya.Dirga mendengkus kasar. "Jadi dia hampir mati Randy? Bagaimana kabar Raymond sekarang? Apa dia sudah sadar?" tanya pria itu dengan nada menggebu. Meskipun masih ada emosi kebencian di sana, dan lebih dari sekadar rasa ingin tahu.Dashel menjawab sambil menghela napas, "Sudah, Bang. Tapi kondisinya ... prihatin. Dokter serumah sakit sudah tahu dia histeris hari ini, kaki kirinya harus diamputasi. Tadi sempat meronta sampai lukanya berdarah lagi.""Amputasi?" Dirga tersentak. Matanya memejam sesaat.Dashel kembali melanjutkan, "Kemungkinan Raymond harus dirawat di sini seki
Siang harinya, setelah kondisi Dirga agak stabil dan ia diizinkan keluar ruangan. Kini pioritas utamanya adalah memastikan Laras baik-baik saja. Ia bersikeras membawa sang istri untuk pemeriksaan mendesak ke dokter kandungan di rumah sakit yang sama.Bahkan ia menolak bantuan perawat untuk mendorong kursi rodanya. Tidak ingin ada yang mengganggunya bersama Laras.Sekarang di ruang pemeriksaan, Laras terlihat sangat tegang. Tubuh wanita itu tampak kaku di atas ranjang pemeriksaan. Rasa cemas yang menumpuk selama insiden kecelakaan masih terasa.Dokter kandungan yang melihat kegelisahan Laras, mencoba tersenyum menenangkan."Tenang, Bu Laras. Santai saja," imbuh dokter itu lemah lembut. "Kalau ibunya tegang terus, nanti rahimnya ikut tegang, jadi sulit diperiksa."Dirga langsung merunduk. Ia membisikkan kata-kata penghiburan tepat di telinga istrinya, "Sayang ... tenang, ya. Ada saya di sini. Tarik napas, embuskan perlahan ... semua akan baik-baik saja, kesayangan Papi.” Suara pria
“Darah gue,” gumam Dinda yang merasakan sensasi dingin dan hampa setelah tim medis selesai mengambil sebagian darahnya. Entah mengapa ia sedikit bersyukur kala dokter menyatakan darahnya sesuai dengan Raymond.Mungkin itu karena nalurinya sebagai dokter, yang dituntut menyelamatkan nyawa.Kini, kantong darah itu, yang kini berlabel O- langka, membawa serta sebagian kekuatan hidupnya untuk menyembuhkan Raymond.Dinda melihat sekilas saat perawat buru-buru membawanya menuju ruang operasi.‘Semoga aja darah gue nggak sia-sia,’ batin Dinda penuh harap, meskipun ada sedikit rasa pahit. ‘Sembuh, ya, Pak Ray. Terus tobat! Jangan ganggu hidup Laras lagi.’Dengan tubuh yang terasa lemas, Dinda kembali menghampiri Laras.Dari kursi tunggu, Laras menyambutnya dengan tatapan cemas. Ia mengulurkan tangan."Gimana, Din? Lu nggak apa-apa?" tanya Laras, sambil memperhatikan gadis itu.Dinda menggeleng tipis, lalu menyengir. "Gue lemes banget, Ras. Tapi lega ... gue udah donorin."Laras langsung memel
“Nggak! Nggak… itu bukan Mas Dokter. Suamiku masih hidup, baik-baik aja!” racau Laras, bibirnya gemetar dan tubuhnya makin bergetar hebat.Laras mencengkeram kepalanya, pandangannya lantaran berembun. Namun, ia tidak peduli. Wanita itu langsung berlari dengan langkahnya terseok-seok, mencari perawat terdekat.Dinda yang sebelumnya menatap pada istri Raymond, berusaha mencegah sahabatnya itu, tetapi gerakan Laras tidak bisa dibendung lagi. Bahkan Dashel dan Draven saja tidak sampai hati membelenggu kakak ipar mereka."Suster! Pa-pasien... s-siapa yang di Ruang Operasi Utama? Dokter Dirga... bukan dia, ‘kan?!" desak Laras dengan suara histeris, air matanya kian berlinang.Perawat yang tergesa-gesa itu berhenti sejenak, wajahnya tegang. "Bukan, Nyonya. Itu Tuan Raymond yang baru kecelakaan," jawabnya singkat sambil bergegas pergi.Seketika itu juga, Laras langsung merosot di lantai dingin yang bernoda. Ada lega bercampur letih di wajah sayunya.Dashel dan Draven sigap memapah ipar mereka
“Nona … Anda ….”Asisten Raymond, menangkap peluang setipis nyawa ini. Ia segera menerobos kerumunan kecil keluarga Bradley itu. Dengan wajah memancarkan keputusasaan yang tidak disembunyikan.Ia langsung berlutut di depan Dinda, mengabaikan Laras, Draven dan Dashel."Nona! Tolong saya!" pinta asisten itu, suaranya serak. "Anda dengar ‘kan? Golongan darah Bos saya O negatif! Sama seperti … Anda!"Laras menatap Dinda dan Asisnten Raymond penuh tanya. Berbeda dari Dashel yang siap menarik Dinda menjauh.Sudah tahu dikepung begini, Asisten itu makin mendesak, "Saya akan bayar Anda. Seratus juta? Dua ratus juta? Berapa pun, pasti Bos saya bayar! Tolong selamatkan nyawa beliau!" Dinda yang jelas-jelas sangat membutuhkan uang, kini harus berhadapan dengan dilema terbesarnya. Regina, masih kuliah dan keluarganya di desa harus tetap hidup, dan ia bisa sekolah spesialis. Namun, rasa bencinya yang meluap pada Raymond harus dipertaruhkan dengan tawaran uang yang menggiurkan.Meskipun Laras ingi







