"Hiks… hiks… a-anak kita, Sayang… anak kita… dia sudah ke surga…!"Selina menangis meraung-raung di atas ranjang rumah sakit, memeluk tubuh Raka erat-erat seperti anak kecil kehilangan boneka kesayangan. Air mata buayanya mengalir deras tanpa rasa malu."Sudah, sudah, Sayang… jangan disalahkan terus, ya… anak kita sudah tenang di surga," bisik Raka lembut sambil mengecup puncak kepala istrinya."Tapi ini semua salahku! Ini salahku, Sayang! Aku nggak pantas jadi ibu… aku egois… andai saja aku nggak ngotot makan di restoran kemarin sore, semua ini nggak akan terjadi… aku nggak akan kehilangan buah hati kitaaa…"Selina kembali merengek dan melempar dirinya ke dada Raka, dramatis sekali. Suaranya cempreng, tangisnya tak henti-henti.Di sudut ruangan, Mayunda yang sedari tadi menyaksikan semua itu hanya bisa memutar bola mata. Wajahnya jelas menunjukkan ekspresi jijik maksimal."Beneran, ya, ratu drama satu ini… tiap kejadian aja yang dibesar-besarin. Kayak sinetron jam sembilan pagi," gum
"Woaah...."Nayara menyandarkan punggung di sofa sambil memegangi kepalanya. Pandangannya kosong, pikirannya berputar cepat. Kebenaran yang baru saja ia temukan masih terasa asing dan mengguncang."Jadi... Rei sudah tahu kalau aku itu temannya pas SMA? Sejak kapan?" gumam Nayara sambil memijit pelipis. "Dan kenapa aku nggak ingat sama sekali kalau Rei itu temenku?"Ia menatap langit-langit ruangan, mencoba mengais ingatan yang mengambang. Namun, semua terasa buram, seolah tertutup kabut masa lalu.Di tengah keheningan itu, matanya melirik ke arah tumpukan album foto yang dibawakan ibunya tadi siang. Satu album berukuran sedang dengan sampul cokelat kusam tampak belum sempat dibuka. Sampulnya usang, bergurat waktu, dengan lapisan plastik yang sudah mulai terkelupas."Hmmm?" gumam Nayara sambil mengangkat alis. Ia mengamati album itu, merasa asing. "Tau ah..." Ia mengangkat bahu, membuang rasa ragu, lalu membuka halaman pertama.Mata Nayara melebar. Nafasnya tertahan.Itu adalah fotonya
“Sepi amat?” gumam Nayara pelan begitu melangkah masuk ke rumah. Matanya menyapu ruang tamu yang sunyi. Tak ada suara televisi, tak ada aroma masakan, hanya keheningan yang menyambutnya.“Bibi?” panggil Nayara, suaranya melengking memecah kesunyian.Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki tergesa dari arah dapur. Seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk muncul, tersenyum lelah sambil mengusap tangannya pada celemek.“Iya, Nyonya?”“Bi, ini... Tuan Mahendra sudah pulang?”Bibi mengerutkan kening, tampak bingung. “Loh? Bukannya Tuan pergi bersama Nyonya tadi?”Nayara hanya menatap bibi itu sebentar, lalu melambaikan tangan seolah menyuruhnya tak usah ribut.“Ya sudah, lupakan saja, Bi. Aku tahu ke mana Tuanmu itu pergi.”Nada suaranya dingin, sinis, membuat bibi yang polos itu otomatis menunduk. Tak berani bertanya lebih jauh.“Tapi, Nyonya—”“Sudah. Aku capek.” Nayara memotong, lalu menaiki tangga dengan langkah malas. Suasana hatinya sudah buruk, dan mendengar nama Raka ha
"Hmm, jadi begitu ya..."Rei duduk tenang di balik meja kerjanya di gedung megah milik Aldebaran. Jari-jarinya bermain dengan bandul perak yang menghiasi sudut meja, namun sorot matanya tajam—berbahaya."Iya, Tuan. Nona Nayara saat ini sedang pulang dengan taksi," lapor Bima, berdiri tegap di hadapan atasannya. "Sementara Mayunda menuju penthouse tempat Tuan Mahendra dan Nona Selina masih berada."Rei mengangkat dagu sedikit, matanya mengerjap pelan. "Mayunda terlalu lambat. Tekan dia lebih kuat lagi. Kalau perlu—ancam. Bukankah dia masih punya ibu? Gunakan itu. Paksa dia selesaikan tugasnya."Suaranya dingin, nyaris tak beremosi. Jauh berbeda dengan caranya bicara jika sedang menyebut nama Nayara."Baik, Tuan."Bima menunduk. Ia tahu, tak ada ruang untuk keraguan jika Rei sudah bersuara seperti itu. Meski di dalam hati, ia akui—Rei bisa menjadi sosok yang kejam saat menginginkan sesuatu."Lalu, hasil penyelidikanmu soal kesehatan Nayara sepuluh tahun lalu?"Rei menatap lurus ke matan
Nayara sudah duduk di meja VIP dan memesan makanan dengan cepat. Tak lama setelah pelayan pergi, pandangannya jatuh pada sepasang manusia yang membuatnya muak: siapa lagi kalau bukan Raka dan Selina."Hmm..." gumamnya pelan, menopang dagu di telapak tangan, matanya tak lepas dari adegan geli di depan sana."Woah..." bibir Nayara menyeringai saat melihat Selina tiba-tiba memegangi kepala.“Bentar lagi juga pasti pura-pura pingsan…” ia menggumam lagi, malas tapi penasaran. Dan benar saja, Selina menjatuhkan diri ke pelukan Raka, seolah tubuhnya tak kuat berdiri.“Ck, drama historical banget. Bangsawan Victoria yang kelamaan nonton sinetron,” Nayara menggeleng-geleng sambil memainkan sendok.Tak lama, pelayan yang tadi melayaninya kembali, kali ini dengan raut ragu dan kertas catatan kecil."Bu… tadi Tuan Mahendra bilang… Ibu bisa pulang naik taksi saja, karena dompet beliau sudah ada pada Ibu. Dan… beliau berpesan supaya Ibu makan yang banyak agar cepat sehat…” suara pelayan bergetar.N
“Kamu!”Tangan Raka terangkat ke udara.“Apa? Mau mukul aku? Nih, pukul sini!” Nayara maju, mendekatkan wajahnya ke wajah Raka. Matanya tajam, menantang, penuh bara. “Sekalian aja abis ini kita cerai!”Tanpa ragu, Nayara menggenggam pergelangan tangan Raka dan menempelkannya ke pipinya sendiri. Wajahnya pucat, tapi keras.Raka mendengus, menarik tangannya kasar. Jemarinya menyisir rambut acak-acakan, lalu berdiri berkacak pinggang.“Hah~”Nayara membuang muka, melipat tangan di dada, wajah masam.“Kamu lapar, kan? Ayo, keluar. Makan di restoran.” Suara Raka mulai diturunkan, mencoba meredakan ketegangan.“Gak mau!” Nayara melotot. “Ngapain juga kamu sok ngurusin aku? Sana urusin aja gundik kamu yang lagi hamil!” Telunjuk Nayara menghantam dada Raka tanpa ampun.“Cukup, Nay.” Raka menahan pergelangan tangannya. “Aku gak mau ribut di sini. Udah, ayo cari restoran. Lupakan makanan sampah itu.”“Makanan sampah?!” Nayara membentak. “Mulut kamu ringan banget, ya! Itu makanan kesukaan aku! K