Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang serasa remuk redam, rasanya seluruh tulang dan sendiku seakan patah dan hancur berkeping-keping. Kalau sudah seperti ini rasanya aku tidak ingin beranjak dari tempat tidur barang sedikitpun, tapi sialnya kandung kemih ku terasa penuh, ini sungguh menyesakkan dan harus segera di keluarkan.
Dengan tergesa-gesa aku membuka selimut dan perlahan turun dari ranjang, berjalan tertatih aku melangkah ke kamar mandi.
"Kau!" teriakku marah saat melihat sosok yang sangat ku benci.
Dia hanya menatapku dengan gaya pongahnya seperti biasa, namun ada sedikit yang berbeda dengan tatapannya padaku kali ini. Ia menatapku begitu penuh dari bawah ke atas, dari atas ke bawah secara bergantian. Dan itu sungguh membuatku jengah.
"Apa kau sengaja menggodaku dengan penampilanmu saat ini?" tanyanya masih dengan mata yang menelisik diriku.
Sial! Seketika aku tersadar jika aku polos, ya tentu saja. Ini semua akibat ulahnya yang tadi malam kembali menggagahiku tanpa ampun.
"Apa yang kau lakukan disini?" tak ku hiraukan pertanyaan gilanya tadi, justru aku malah melayangkan sebuah pertanyaan bodoh untuknya.
Jelas saja bodoh, tanpa bertanya pun semua orang akan tahu apabila melihat dirinya saat ini sedang berada di dalam bathub.

Lagi-lagi aku hanya mengacuhkannya, "keluar!" teriakku menyuruhnya keluar.
"Kau mengusirku?"
"Ya!"
"Apa kau lupa ini apartemen milik siapa, huh?" katanya seakan mengingatkanku siapa pemilik tempat ini yang sebenarnya.
"Tentu saja milikmu, aku tidak amnesia sampai melupakan fakta itu wahai bapak Hasan yang terhormat. Jadi sekarang aku mohon dengan sangat padamu, tolong keluar."
"Kau mengatakan tidak mengusirku, lalu itu apa namanya? Dengar ya, ini apartemen milikku, dan aku tidak akan keluar dari sini. Seenaknya saja kau mengusirku."
"Siapa yang ingin mengusirmu dari apartemen ini? Aku hanya mengusirmu agar keluar dari kamar mandi, karena aku mau buang air kecil!!" teriakku sangat kesal karena dia begitu lambat mencerna ucapanku.
Dasar bodoh.
Ku lihat ia tercengang setelah apa yang aku katakan barusan. Aku pikir dia baru mengerti maksud dari ucapanku.
"K-kau mau buang air kecil?"
Aku diam.
"Kalau begitu silakan, lakukan dan anggaplah aku tidak ada disini." katanya nampak kikuk.
What! Apa katanya tadi? Silakan buang air kecil, bagaimana mungkin aku buang air kecil saat ada dia disini.
Aku ingin memprotes, tapi rasa sesak itu semakin menjadi dan tak sanggup untuk ku tahan lebih lama lagi.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti ucapan si berengsek Hasan. Masa bodo!
"Uuh, lega!" ucapku merasakan lega saat rasa sesak itu sudah hilang.
"Lega ya?" tanya Hasan menatapku.
Wait!
Sejak kapan dia menatapku? Apakah sedari tadi aku kencing ia memperhatikannya?
Astaga!
"Dasar pengintip!" umpatku.
"Aku tidak mengintip!" elaknya, "aku hanya sedang memperhatikanmu."
"Sama saja, bodoh!"
Ia tersenyum, "aku senang mendengar umpatanmu sayang." katanya seraya bangkit keluar dari dalam bathub dan berjalan mendekatiku.
"M-mau apa kau?" tanyaku tergagap.
"Apalagi, tentu saja bermain bersamamu. Disini." desisnya di depanku.
"Main apa, aah!" Hasan menangkup sebelah breast-ku dan meremasnya cukup kuat.
"Sial!" tiba-tiba dia mengumpat, aku hanya menatapnya dengan bingung.
"Kita harus segera bersiap-siap, ayah tadi menghubungiku. Kita di suruh ikut berkumpul bersama anggota keluarga lainnya di rumah papa Dava." beritahunya yang membuatku terbelalak kaget.
"Apakah ada masalah? Kenapa kita semua di suruh berkumpul secara mendadak?" tanyaku penasaran.
Hasan mengendikkan kedua bahunya, "aku tidak tahu, ayah hanya menyuruh kita untuk datang berkumpul di rumah papa Dava."
"Apa ayah Nando tahu jika kita bersama?"
"Ya, aku yang mengatakan pada ayah jika aku menginap di rumahmu setelah aku menyeretmu paksa pergi dari acara pesta."
"Apa? Kau gila!" kataku tak habis pikir dengan pemikirannya, "ayah Nando pasti mengubungi bapakku, dan habislah kita jika sampai kebohonganmu ketahuan."
"Itu tidak mungkin! Karena aku sudah mengatakan pada ayah untuk tidak menghubungi bapak Ridwan. Oke, jadi sekarang kau bisa tenang?" jelas Hasan nampak kesal padaku.
"Baiklah, tapi tetap saja, aku tidak ingin ikut kesana."
"Kenapa?"
"Berkumpul di rumah papa Dava, itu sama saja artinya memulai peperangan." Ya, aku tidak mau ikut jika ke rumah papa Dava dan mama Airaa. Karena aku tahu jika aku ikut kesana maka akan menimbulkan keributan. Terlebih lagi puteri sulung mereka, Davira, tak menyukai diriku.
Jadi, daripada menimbulkan kekacauan sebaiknya aku tidak ikut serta kesana.
"Tidak!" tolak Hasan tegas, "kau tetap ikut, tidak peduli apapun alasanmu."
"Kau memang gila! Bukankah kau tahu jika Davira membenciku, maka dari itu aku menolak ikut."
"Sudah ku bilang Ayesha, aku tidak peduli! Kau harus tetap ikut karena kau juga bagian dari keluarga ini."
"Ta—"
"Tidak ada tapi-tapian, penolakanmu tidak berlaku. Oke, ini keputusan akhir dariku." ucapnya memotong kata-kataku yang tadinya masih ingin menolak.
"Cepatlah mandi, dan bersiap-siap. Aku menunggumu." sambungnya mengecup dahiku lalu berlalu keluar.
Part bonus.Ayesha terlihat lelah dan kini memilih kembali berbaring di ranjang, siang ini sudah kali ketiganya ia mandi membersihkan diri dari lengketnya sisa-sisa percintaannya dengan Hasan.Suaminya itu seperti orang kesurupan yang gak pernah ada kata lelah menggempur dirinya. Hampir seminggu ini mereka terus 'melakukan itu' jika ada kesempatan. Tak mempedulikan dimana tempat Hasan terus menggodanya dan merengek meminta jatah.Pagi, siang, sore hampir selalu mereka isi dengan desahan dan erangan. Jadilah siang ini Ayesha merasakan tubuhnya lelah luar biasa, tulang dan sendinya seakan remuk tak bersisa."Hentikan, Mas. Aku sangat lelah!" lirih Ayesha berusaha mendorong tubuh Hasan yang sudah bertengger nyaman menindih tubuhnya.Hasan tertawa namun tetap tak ingin beranjak dari atas tubuh Ayesha. "Capek banget ya sayang?"Ayesha mengangguk, "bangetlah. Habisnya tenaga
Tepat setelah satu bulan pernikahan Davira dan Haikal, keluarga Wicaksana menyelenggarakan acara pernikahan Hasan dan Ayesha.Semua persiapan sudah dilakukan secaraepikdan mantap, yang tentu saja kemewahan tetap terasa kental dalam acara tersebut. Nando bersikeras ingin melakukan yang terbaik dan termewah untuk pernikahan putranya, semua ini sebagai hadiah dan juga kenang-kenangan terindah untuknya. Menyaksikan sendiri pernikahan sang anak dengan Ayesha yang memang sudah lama menjadi impiannya.Sejak Hasan lahir, Nando sudah mengklaim pada dirinya sendiri bahwa putranya kelak yang akan menjadi jodoh Ayesha. Doanya terkabul dan ia sangat senang sekali, apalagi perjalanan kisah cinta Hasan dan Ayesha tidaklah mudah. Terlalu banyak drama dan duka yang mengiringi perjalanan asmara mereka.Lamunan Nando buyar saat seseorang menepuk pelan pundaknya, ia menoleh dan menemukan sosok besannya yang hari ini terlihat
Ayesha terhenyak kaget begitu mendengar kata-kata yang meluncur mulus keluar dari mulut bapaknya. Menikah? Satu hal yang tak pernah Ayesha duga jika bapaknya menyuruh sekaligus memberikan izin untuk Hasan menikahinya?Sungguh? Hah, yang benar saja! Ayesha lagi tak sedang bermimpi 'kan?Dan bukan hanya Ayesha saja disini yang kaget. Tetapi, Nando dan Hasan pun gak kalah kagetnya. Dan jangan lupakan bagaimana ekspresi terkejut ayah dan anak itu."Ridwan, benarkah ucapanmu itu?" tanya Nando melangkah masuk ke dalam kamar itu. "Kamu tidak sedang bercanda ataupun mempermainkanku dan putraku 'kan?"Ridwan menggelengkan kepala mantap, "aku serius dengan ucapanku. Memangnya kenapa? Kok kalian seperti tidak percaya begini?" Ridwan menatap mereka dengan pandangan bingung, apakah ada yang salah dengan ucapannya barusan?Hasan bergerak cepat bang
Hasan berjalan mengendap-endap seperti maling saat hendak ke kamar yang sekarang ini di tempati Ayesha, kamar yang dulu sering di tempati Ayesha saat tinggal di kediaman keluarga Wicaksana.Selama seminggu lebih ini Ayesha dan Ridwan menginap di rumah keluarga Wicaksana, dan rencananya siang nanti kedua orang itu memutuskan untuk pulang.Klek.Satu keuntungan bagi Hasan atas kecerobohan Ayesha untuk yang satu ini, sebab Hasan sangat hafal dan tahu betul jika Ayesha jarang menutup pintu kamarnya saat tidur.Mendapatkan kesempatan emas seperti ini tentu saja Hasan tak menyia-nyiakannya, dengan langkah riang yang disertai senyuman kebahagiaan yang tampak terbit menghiasi wajahnya.Hasan menatap lekat wajah Ayesha yang tertidur damai dalam jarak sedekat ini, perlahan tangannya terulur menyentuh surai panjang nan hitam yang terasa sangat lembut itu.Ayesha menggeliat kecil m
Ridwan meradang mendengar pengakuan putrinya yang bercerita tentang penghianatan Adnan yang begitu teganya berselingkuh dengan wanita lain.Ia sungguh tak percaya jika Adnan ternyata juga seorang pria berengsek, yang sialnya selama ini tertutupi oleh sikapnya yang baik bak seperti malaikat pelindung untuk putrinya. Ridwan pikir itu murni sifat alamiah dari diri seorang Adnan, namun nyatanya hanya kepalsuan belaka.Ridwan benci, kesal, dan marah. Ya, tentu saja. Orangtua mana yang tak marah jika ternyata selama ini anaknya hanya di permainkan dan terus-menerus dibohongi."Sini," ucap Ridwan merentangkan kedua tangan kekarnya lebar-lebar sebagai kode untuk Ayesha agar memeluknya.Tentu saja Ayesha langsung menerima pelukan bapaknya yang terasa begitu hangat dan nyaman. Apalagi ditambah sebuah kecupan yang mampir di puncak kepalanya secara beruntun. Ayesha mendongakkan kepalanya menatap wajah Ridwan yang tersenyu
Ayesha meremas ke sepuluh jari rampingnya yang saat ini saling bertautan, beragam perasaan cemas dan panik berkecamuk dalam dirinya.Bagaimanapun usahanya yang sudah susah payah mencari berbagai alasan agar Hasan tak mengantarkannya sampai ke rumah nyatanya sia-sia. Rupanya pria itu lebih licik sehingga mampu membalas ucapan Ayesha secara telak.Dan, pada akhirnya Hasan telah sampai mengantarkan Ayesha tepat di depan rumah wanita itu.Hasan mengamati rumah baru Ayesha yang tampak lumayan mewah, tidak se-sederhana seperti rumahnya yang dulu."Bagus," ucap Hasan tiba-tiba, reflek Ayesha menoleh padanya dengan mata berkedip berulang kali. "Uhm, maksudku rumah barumu bagus. Dan juga cantik."Mendengar itu Ayesha menjadi malu, ia pikir pujian bagus dan cantik itu ditujukan untuknya namun nyatanya tidak. Hmm, sepertinya Ayesha terlalu berha
"Kenapa menatapku seperti itu?!" hardik Hasan merasa risih sekaligus kesal dengan tatapan Ayesha padanya."Tatapanmu seolah menunjukkan bahwa kau tengah melihat hantu saja." dengkus Hasan benar-benar tak suka dengan tatapan Ayesha.Mendengar itu Ayesha memalingkan wajahnya tak ingin melihat ke arah Hasan lagi. Pria itu terlalu cerewet dan berisik, telinga Ayesha terasa kebas dan panas mendengarnya."Hei, kenapa kau cuek? Aku sedang bicara padamu," Hasan menyentuh lengan Ayesha langsung segera menepisnya."Pergi!" sentak Ayesha mengusir Hasan."Tidak, aku tidak akan pergi meninggalkanmu disini sendirian." tolak Hasan menggelengkan kepalanya, "apalagi di jalanan sunyi seperti ini. Oh, tidak akan aku meninggalkanmu."Mungkin jika wanita lain yang mendengar ucapan manis Hasan in
Pagi ini Ayesha memutuskan untuk menemui Adnan di apartemen milik pria itu saja. Setahu Ayesha, Adnan jarang pulang ke rumahnya dan lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen sama seperti Hasan.Astaga! Ayesha mengumpat dalam hati, disaat seperti ini bisa-bisanya ia malah kepikiran si berengsek Hasan.Tidak, Ayesha harus bisa mengenyahkan Hasan dari pikirannya sejauh mungkin. Dan sekarang Ayesha harus fokus pada Adnan, pria itu mungkin saja memang sedang marah padanya.Ayesha sebenarnya juga merasa bersalah karena belakangan ini kurang perhatian pada Adnan, dan malah lebih mementingkan lamunan konyol yang selalu memikirkan pria berengsek itu. Sungguh bodoh! Tak seharusnya ia memikirkan pria lain disaat seorang pria yang berstatus tunangannya itu lebih penting dan lebih berarti setelah kedua orang tuanya.Ayesha tersenyum sumringah menatap bangunan unit apartemen, ia langsung segera masuk ke dalam li
Aahhh.Suara desahan saling bersahutan itu terdengar memenuhi seisi ruangan kamar bernuansa putih tersebut. Kamar milik seorang pria di sebuah apartemen mewah miliknya.Adnan tampak begitu bersemangat menghujamkan miliknya ke lembah sempit nan hangat milik wanita bayaran itu, atau yang biasa di panggil dengan sebutan jalang favorit Adnan.Ya, favorit karena Adnan selalu meminta jasa berupa tubuh dan tenaga wanita itu untuk memuaskannya. Dengan kata lain, wanita tersebut berhasil membuat Adnan kecanduan akan dirinya. Tidak, pada tubuhnya. Padahal Adnan adalah tipekal pria yang mudah bosan, sekali pakai buang alias tidak ada kata yang kedua, ketiga, dan seterusnya.Tapi, dengan Maya? Lihatlah! Adnan seperti tak pernah puas akan tubuh montok itu. Tubuh yang saat ini tengah di gagahinya dengan sangat buas, panas dan liar."Oh, fu*k!" Adnan mengumpat dengan keras, persetubuhan mereka memang se