Share

3.

Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang serasa remuk redam, rasanya seluruh tulang dan sendiku seakan patah dan hancur berkeping-keping. Kalau sudah seperti ini rasanya aku tidak ingin beranjak dari tempat tidur barang sedikitpun, tapi sialnya kandung kemih ku terasa penuh, ini sungguh menyesakkan dan harus segera di keluarkan.

Dengan tergesa-gesa aku membuka selimut dan perlahan turun dari ranjang, berjalan tertatih aku melangkah ke kamar mandi.

"Kau!" teriakku marah saat melihat sosok yang sangat ku benci.

Dia hanya menatapku dengan gaya pongahnya seperti biasa, namun ada sedikit yang berbeda dengan tatapannya padaku kali ini. Ia menatapku begitu penuh dari bawah ke atas, dari atas ke bawah secara bergantian. Dan itu sungguh membuatku jengah.

"Apa kau sengaja menggodaku dengan penampilanmu saat ini?" tanyanya masih dengan mata yang menelisik diriku.

Sial! Seketika aku tersadar jika aku polos, ya tentu saja. Ini semua akibat ulahnya yang tadi malam kembali menggagahiku tanpa ampun.

"Apa yang kau lakukan disini?" tak ku hiraukan pertanyaan gilanya tadi, justru aku malah melayangkan sebuah pertanyaan bodoh untuknya.

Jelas saja bodoh, tanpa bertanya pun semua orang akan tahu apabila melihat dirinya saat ini sedang berada di dalam bathub.

Sebelah tangannya menyentuh alis kirinya yang terangkat. "Apa kau buta!" ejeknya sarkastik.

Lagi-lagi aku hanya mengacuhkannya, "keluar!" teriakku menyuruhnya keluar.

"Kau mengusirku?"

"Ya!"

"Apa kau lupa ini apartemen milik siapa, huh?" katanya seakan mengingatkanku siapa pemilik tempat ini yang sebenarnya.

"Tentu saja milikmu, aku tidak amnesia sampai melupakan fakta itu wahai bapak Hasan yang terhormat. Jadi sekarang aku mohon dengan sangat padamu, tolong keluar."

"Kau mengatakan tidak mengusirku, lalu itu apa namanya? Dengar ya, ini apartemen milikku, dan aku tidak akan keluar dari sini. Seenaknya saja kau mengusirku."

"Siapa yang ingin mengusirmu dari apartemen ini? Aku hanya mengusirmu agar keluar dari kamar mandi, karena aku mau buang air kecil!!" teriakku sangat kesal karena dia begitu lambat mencerna ucapanku.

Dasar bodoh.

Ku lihat ia tercengang setelah apa yang aku katakan barusan. Aku pikir dia baru mengerti maksud dari ucapanku.

"K-kau mau buang air kecil?"

Aku diam.

"Kalau begitu silakan, lakukan dan anggaplah aku tidak ada disini." katanya nampak kikuk.

What! Apa katanya tadi? Silakan buang air kecil, bagaimana mungkin aku buang air kecil saat ada dia disini.

Aku ingin memprotes, tapi rasa sesak itu semakin menjadi dan tak sanggup untuk ku tahan lebih lama lagi.

Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti ucapan si berengsek Hasan. Masa bodo!

"Uuh, lega!" ucapku merasakan lega saat rasa sesak itu sudah hilang.

"Lega ya?" tanya Hasan menatapku.

Wait!

Sejak kapan dia menatapku? Apakah sedari tadi aku kencing ia memperhatikannya?

Astaga!

"Dasar pengintip!" umpatku.

"Aku tidak mengintip!" elaknya, "aku hanya sedang memperhatikanmu."

"Sama saja, bodoh!"

Ia tersenyum, "aku senang mendengar umpatanmu sayang." katanya seraya bangkit keluar dari dalam bathub dan berjalan mendekatiku.

"M-mau apa kau?" tanyaku tergagap.

"Apalagi, tentu saja bermain bersamamu. Disini." desisnya di depanku.

"Main apa, aah!" Hasan menangkup sebelah breast-ku dan meremasnya cukup kuat.

"Sial!" tiba-tiba dia mengumpat, aku hanya menatapnya dengan bingung.

"Kita harus segera bersiap-siap, ayah tadi menghubungiku. Kita di suruh ikut berkumpul bersama anggota keluarga lainnya di rumah papa Dava." beritahunya yang membuatku terbelalak kaget.

"Apakah ada masalah? Kenapa kita semua di suruh berkumpul secara mendadak?" tanyaku penasaran.

Hasan mengendikkan kedua bahunya, "aku tidak tahu, ayah hanya menyuruh kita untuk datang berkumpul di rumah papa Dava."

"Apa ayah Nando tahu jika kita bersama?"

"Ya, aku yang mengatakan pada ayah jika aku menginap di rumahmu setelah aku menyeretmu paksa pergi dari acara pesta."

"Apa? Kau gila!" kataku tak habis pikir dengan pemikirannya, "ayah Nando pasti mengubungi bapakku, dan habislah kita jika sampai kebohonganmu ketahuan."

"Itu tidak mungkin! Karena aku sudah mengatakan pada ayah untuk tidak menghubungi bapak Ridwan. Oke, jadi sekarang kau bisa tenang?" jelas Hasan nampak kesal padaku.

"Baiklah, tapi tetap saja, aku tidak ingin ikut kesana."

"Kenapa?"

"Berkumpul di rumah papa Dava, itu sama saja artinya memulai peperangan." Ya, aku tidak mau ikut jika ke rumah papa Dava dan mama Airaa. Karena aku tahu jika aku ikut kesana maka akan menimbulkan keributan. Terlebih lagi puteri sulung mereka, Davira, tak menyukai diriku.

Jadi, daripada menimbulkan kekacauan sebaiknya aku tidak ikut serta kesana.

"Tidak!" tolak Hasan tegas, "kau tetap ikut, tidak peduli apapun alasanmu."

"Kau memang gila! Bukankah kau tahu jika Davira membenciku, maka dari itu aku menolak ikut."

"Sudah ku bilang Ayesha, aku tidak peduli! Kau harus tetap ikut karena kau juga bagian dari keluarga ini."

"Ta—"

"Tidak ada tapi-tapian, penolakanmu tidak berlaku. Oke, ini keputusan akhir dariku." ucapnya memotong kata-kataku yang tadinya masih ingin menolak.

"Cepatlah mandi, dan bersiap-siap. Aku menunggumu." sambungnya mengecup dahiku lalu berlalu keluar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status