LOGIN“Hal paling berbahaya dari kantor bukanlah kerja lembur. Tapi gosip.”
Itu yang aku pelajari di minggu pertamaku bekerja. Dan pagi ini, gosip sudah terdengar lebih keras dari mesin fotokopi. “Aku dengar, dia cuma seminggu menikah, habis itu langsung cerai.” “Ya ampun, secepat itu? Gilanya…” “Makanya, siapa yang berani jadi istrinya lagi? Kayak hidup sama es batu.” Aku berdiri di pojokan pantry, pura-pura sibuk menuang air ke gelas. Kupikir kupingku sudah kebal sama bisik-bisik kantor, tapi kali ini setiap kata yang menyebut nama Christian Luciano menancap lebih keras. Karena aku baru saja melihat sesuatu yang… bukan gosip. Apanya dingin? Aku masih bisa merinding sampai ke ujung-ujung jari. Saat makan siang, aku berniat mencari makan dengan turun ke bawah. “Astaga, Lola, kamu pucat banget. Nggak sarapan ya?” suara Bu Emma mengagetkanku. Aku buru-buru tersenyum. “Hehe… iya, Bu. Kayaknya cuma butuh kopi.” Dia mengangkat alis, lalu kembali ngobrol dengan staf lain. Aku menarik napas, berharap wajahku nggak terlihat setegang yang kurasakan. Belum sempat meneguk teh, suara langkah berat terdengar mendekat. Otomatis semua orang diam. Dan di sanalah dia. Christian Luciano. CEO sekaligus pusat gosip yang barusan ramai dibicarakan. Jas hitamnya rapi, wajahnya datar, sorot matanya tajam. Semua orang sibuk menunduk. Tapi aku justru merasa tertekan saat matanya singgah sekilas ke arahku. Nafasku tercekat. Rasanya seperti semalam terulang—tatapan itu, tatapan yang membuat paru-paruku berhenti bekerja. Aku buru-buru keluar pantry, membawa gelas hanya sebagai alasan. Tubuhku terasa panas dingin. Pikiranku berisik, memutar ulang kejadian semalam. Kenapa aku harus kepo? Kenapa harus ngintip? Aku mempercepat langkah menuju lift, ingin segera kabur ke lantai bawah untuk sekadar menghirup udara. Ding! Pintu lift terbuka. Aku masuk cepat-cepat, menekan tombol tutup berulang-ulang. Hampir saja pintu menutup sempurna—sampai sebuah tangan masuk menahan pintu. Brak! Aku terperangah. Dia lagi. Christian berdiri di sana, tubuh tingginya memenuhi celah pintu lift. Dasinya sudah rapi, tapi sorot matanya… sama seperti semalam. Intens. Gelap. Aku menelan ludah. “Pa-Pak Christian…” suaraku hampir tidak terdengar. Dia melangkah masuk. Aroma parfumnya yang maskulin langsung memenuhi ruang sempit itu. Pintu tertutup, meninggalkan kami berdua. Ruang lift yang biasanya biasa saja kini terasa pengap. Aku mundur, punggungku menempel pada dinding dingin. Gelas di tanganku bergetar. Christian menekan tombol lantai atas, lalu berdiri hanya beberapa langkah dariku. Tatapannya lurus ke depan, tapi aku bisa merasakan sisi wajahnya menoleh perlahan. “Sedang apa kamu?” suaranya rendah, datar. Aku terdiam sejenak, lalu menjawab terbata. “Sa-saya cuma… “ Dia tidak langsung merespons. Hanya ada bunyi ting kecil dari lift yang bergerak. Lalu matanya benar-benar menoleh padaku. “Apa kamu selalu pulang paling akhir?” pertanyaannya terdengar biasa, tapi nadanya menusuk. Aku buru-buru menggeleng. “Nggak, Pak. Kemarin… cuma kebetulan.” Tatapannya bertahan beberapa detik. Seakan menimbang apakah aku berbohong atau tidak. Aku menggigit bibir, panik. Pikiranku kembali ke suara itu, erangan tertahan semalam. Jangan-jangan dia tahu aku mendengar. Jangan-jangan— “Ting!” Pintu lift terbuka. Aku hampir melompat keluar, seolah baru saja lolos dari jebakan. Tapi sebelum benar-benar pergi, suara itu kembali menahan langkahku. “Lola.” Aku berbalik. Matanya dingin, tapi senyumnya tipis. Senyum yang lebih mirip peringatan daripada keramahan. “Saya anggap kamu paham dengan kejadian semalam.”Lola terdiam.Christian menatapnya, tidak dengan maksud lain—hanya memohon tempat untuk bernafas.Lola tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.Dan untuk pertama kalinya, sejak perjalanan itu dimulai, keduanya duduk berdampingan dalam diam yang tidak menyakitkan.Lola menyandarkan kepalanya di bahu Christian, sementara pria itu memejamkan mata.Tidak ada kata cinta di antara mereka malam itu, tapi ada sesuatu yang lebih jujur dari cinta—keberanian untuk berhenti berpura-pura kuat.Dan ketika lampu apartemen dimatikan, hanya cahaya kota yang masuk lewat tirai, Christian membuka matanya pelan, menatap wajah Lola yang tertidur di bahunya.Ia menelusuri garis wajah itu, lalu berbisik lirih, seperti pada dirinya sendiri.“Seandainya kau tahu, Lola... apa yang sebenarnya terjadi malam ini.”Wajahnya suram, tapi ada keputusan di matanya.Ia tahu, begitu matahari terbit nanti, semuanya akan berubah lagi.Tapi untuk sekarang, hanya malam ini, ia izinkan dirinya untuk beristirahat di dunia kecil
Hujan tidak turun malam itu, tapi udara terasa lembap, seperti kota baru saja selesai menangis.Di kamar apartemen kecil itu, Lola sudah terlelap di atas kasurnya. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, napasnya teratur, sesekali bibirnya bergerak kecil, mungkin sedang bermimpi, mungkin hanya sekadar bergumam.Ia baru saja menutup matanya kurang dari satu jam lalu. Matanya bengkak karena kelelahan, bukan karena tangis, meski keduanya terasa sama di tubuh yang nyaris tumbang itu.Tapi kemudian suara itu datang.Suara bel apartement nya.Lola menggeliat pelan, mengerang, mencoba mengabaikan. Ia menyelipkan kepalanya ke balik bantal, berharap suara itu hanyalah bagian dari mimpi. Tapi kemudian disusul bunyi bel pintu.Sekali. Dua kali. Panik, mendesak.Ia membuka mata, mendengus kesal. “Tengah malam begini...” gumamnya serak, bangkit setengah malas dari ranjang.Matanya masih setengah tertutup ketika ia menyeret langkah ke arah pintu, masih memakai kaus tipis dan celana tidur panja
Esther berdiri terpaku, menatapnya dengan pandangan tak percaya, lalu tiba-tiba ia tertawa mengejek. “Jadi sekarang kau membawa perempuan murahan itu ke dalam pembicaraan keluarga ini? Yang kedua, setelah aku?” katanya dingin. “Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Christian.”Kata itu, 'murahan', membuat rahang Christian mengeras. Pria itu bahkan mengepalkan tangannya, mencoba meredam emosi yang semakin menggila. Ia menatap Esther perlahan, pandangannya naik dari ujung sepatu hingga ke mata wanita itu. Dan untuk pertama kalinya sejak perceraian mereka, rahangnya benar-benar mengeras.“Jaga bicaramu.” Suaranya pelan, tapi berat. Terlalu tenang untuk disebut ancaman, tapi cukup membuat udara di sekitar mereka menegang.Esther mengangkat dagu, tak gentar. “Kau marah karena aku mengatakan yang sebenarnya?”“Tidak,” jawab Christian cepat. “Aku marah karena kau dengan mudah meludahi nama orang lain, hanya karena kau ingin terlihat lebih tinggi dariku.” Nadanya kini naik setengah oktaf.I
Di sisi ruangan, lilin-lilin panjang menyala tenang, melemparkan cahaya keemasan yang bergetar di wajah tiga orang yang membisu di sana.Tuan Luciano menatap anaknya yang berdiri tegak di hadapannya. Tatapan itu seperti ujung pisau: dingin, presisi, dan berlapis kebencian yang tak terucap.Lalu ia membuka suara pelan, nyaris seperti gumaman:“Jangan pernah kau tadahkan kepalamu, sampai kau memastikan benar-benar bisa hidup tanpa bantuanku.”Christian tidak bergeming. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah ayahnya.Kemudian, ia tersenyum tipis, senyum yang bukan untuk ramah, melainkan untuk menyembunyikan rasa muak yang sudah menahun.“Aku bisa hidup dengan kakiku sendiri sejak lama, Ayah,” ucapnya datar.“Hanya saja, setiap aku berhasil melaluinya sendiri, kau selalu memberikanku masalah lain dengan sengaja. Dengan begitu, usahaku akan tertutup, dan kau akan datang seperti pahlawan dalam kehidupanku. Selalu begitu.”Kata-kata itu jatuh seperti pecahan kaca.Nyonya Maria Luciano pucat.
Lola duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Cahaya lampu jalan berganti satu per satu di wajahnya, menciptakan bayangan samar di pipinya yang basah oleh cahaya. Mobil melaju tenang di jalanan kota yang belum sepenuhnya terjaga.Ia masih bisa mendengar suara Christian sebelum pria itu menjauh.“Antarkan dia pulang. Pastikan dia sampai dengan selamat.”Hanya itu. Tanpa menoleh, tanpa melihatnya sedikit pun. Lalu langkah Christian menghilang, digantikan suara sepatu pria itu yang perlahan menjauh.Lola menunduk. Tangannya menutup wajah, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan gemetar. Ia menepuk-nepuk pipinya pelan, mencoba menahan rasa panas yang tiba-tiba menggenang di mata.Ingin menangis, tapi tidak bisa.Kenyataan memang tidak sesederhana itu, pikirnya. Hanya karena seseorang mencintaimu, bukan berarti segalanya bisa berjalan mudah. Cinta tidak serta-merta memindahkan gunung yang berdiri di antara kalian.Dan begitulah kehidupan, selalu mengingatka
Christian masih berdiri di tempat, bahunya naik-turun menahan emosi yang belum surut. Lola menatapnya lekat, menunggu penjelasan yang tak kunjung datang. Lalu akhirnya, suaranya pecah juga.“Sebenarnya apa maksudmu, Christian?” tanyanya tajam. “Kenapa kau bersikap seperti itu tadi?”Christian tak langsung menjawab. Ia menatap jauh, menelan napas berat, tapi diamnya justru membuat Lola semakin tersulut.“Memangnya aku terlihat seperti apa?” lanjut Lola, nadanya meninggi. “Apa kau takut aku melakukan sesuatu dengan Matthew? Apa tidak ada kepercayaanmu padaku?”Christian menatapnya tajam. “Aku tidak bilang begitu.”“Tidak bilang?” Lola tertawa sinis, tapi suaranya bergetar. “Tapi sikapmu jelas menunjukkan itu, Christian. Kau menuduhku seolah aku sengaja pergi dengannya. Seolah aku—” ia berhenti, menahan napas, “seolah aku tidak bisa dipercaya.”Christian mendekat, nada suaranya berat. “Lola, aku tidak menuduh. Aku hanya... khawatir. Kau tidak tahu apa yang terjadi di antara kami bertiga.