LOGIN"Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."
Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah. "Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?" Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan. "Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya." "Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu. Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam. "Saya baru saja dipecat dari butik tempat saya bekerja, Pak. Pemiliknya tidak mau mempekerjakan karyawan yang punya masalah pribadi. Dan saya sangat butuh uang. Mendesak sekali." Keinan memajukan tubuhnya, menumpukan dagu pada tautan jemarinya. "Sebutkan alasan kenapa kamu butuh uang itu. Saya ingin tahu motivasi calon karyawan saya." Aisyah menarik napas panjang, berusaha menahan getaran dalam suaranya. "Saya masih punya tunggakan administrasi di kampus, Pak. Meski sudah lulus sidang, ijazah asli saya masih ditahan pihak kampus karena ada biaya semester akhir dan wisuda yang belum lunas. Tanpa ijazah fisik, saya sulit melamar kerja formal." Aisyah berhenti sejenak, matanya berkaca-kaca mengingat beban terberatnya. "Dan saya punya hutang, Pak. Hutang yang sangat besar kepada mantan tunangan saya. Lima ratus juta rupiah. Dia mengancam akan menyita rumah Ibu saya kalau saya tidak segera mencicilnya. Jadi tolong, Pak. Posisi Office Girl pun tidak apa-apa. Saya kuat angkat-angkat berat. Saya bisa kerja lembur. Asal saya bisa dapat gaji bulan ini." Keinan terdiam. Hatinya mencelos mendengar pengakuan polos itu. Lima ratus juta. Beban yang tidak masuk akal untuk gadis seusia Aisyah, dan semua itu terjadi karena Bryan yang bajingan. Keinan menutup map cokelat itu dengan gerakan perlahan. "Saya tidak bisa menerima kamu," ucap Keinan dingin. Jantung Aisyah berhenti berdetak. Harapannya hancur berkeping-keping. "Kenapa, Pak? Apa karena cadar saya? Saya janji tidak akan mengganggu karyawan lain. Saya bisa kerja di jam sepi..." "Dengarkan saya dulu," potong Keinan sambil mengangkat tangan. "Saya tidak bisa menerima kamu sebagai Office Girl. Tenagamu terlalu mubazir kalau hanya dipakai untuk mengepel lantai lobi." Aisyah mengerjapkan mata bingung. "Maksud Bapak?" "Posisi OG sudah penuh," bohong Keinan lagi dengan lancar. "Tapi kebetulan saya sedang mencari Asisten Pribadi baru. Asisten saya yang lama terlalu lamban dan banyak bicara. Saya butuh orang yang cekatan, pintar mengatur jadwal, teliti, dan yang paling penting bisa diatur." Keinan menatap Aisyah penuh arti. "Kamu butuh uang, dan saya butuh orang yang penurut dan tidak banyak tanya. Saya lihat dari caramu bicara, kamu tipe yang akan mengerjakan perintah tanpa membantah. Benar begitu?" "Benar, Pak! Saya akan kerjakan apa saja perintah Bapak. Saya cepat belajar," sambar Aisyah cepat, takut kesempatan itu hilang. "Bagus. Tugasmu mengatur jadwal saya, menyiapkan dokumen rapat, dan memastikan kebutuhan saya di kantor terpenuhi. Tidak ada pekerjaan fisik berat, tapi kamu harus siap sedia 24 jam kalau saya butuh. Sanggup?" "Sanggup, Pak. Insya Allah saya sanggup." "Baik. Kamu diterima." Keinan mengambil pulpen, mencoret sesuatu di kertas memo, lalu menyodorkannya ke arah Aisyah. "Ini rincian kontrakmu. Gaji pokok sepuluh juta rupiah per bulan. Belum termasuk uang makan dan lembur. Kalau kerjamu bagus, bulan depan ada bonus." Mata Aisyah membelalak lebar, nyaris keluar dari rongganya. Dia menatap angka yang ditulis Keinan, lalu menatap wajah bos barunya itu bergantian. "Se-sepuluh juta, Pak? Per bulan?" tanya Aisyah gagap. Suaranya melengking saking kagetnya. Itu angka yang fantastis baginya. Gaji di butik dulu bahkan tidak sampai seperempatnya. "Kenapa? Kurang?" "Bukan! Bukan kurang, Pak. Ini... ini kebanyakan. Saya cuma lulusan baru, belum punya pengalaman jadi asisten. Apa Bapak tidak rugi?" Keinan menahan senyum melihat kepolosan gadis itu. Orang lain pasti akan langsung minta naik gaji, tapi Aisyah malah khawatir perusahaannya rugi. "Saya menggaji orang berdasarkan nilai yang bisa dia berikan, bukan cuma pengalaman. Dengan gaji sepuluh juta, kamu bisa ambil ijazahmu dan mulai mencicil hutangmu ke mantan tunanganmu itu, kan?" Air mata Aisyah menetes lagi. Kali ini bukan karena sedih, tapi karena haru yang membuncah. Allah memang Maha Baik. Di saat satu pintu tertutup kasar, pintu lain terbuka lebar dengan cara yang tak disangka-sangka. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak," Aisyah berdiri dan membungkuk hormat berkali-kali. "Bapak sudah menyelamatkan hidup saya dan Ibu saya. Saya janji akan bekerja sungguh-sungguh." "Simpan terima kasihmu. Buktikan dengan kinerja besok pagi. Datang jam tujuh teng, jangan terlambat. Pakaianmu sesuaikan saja, yang penting rapi dan bersih. Saya tidak masalah dengan cadarmu asal kerjamu beres." "Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih." Aisyah keluar dari ruangan mewah itu dengan langkah ringan seolah melayang. Beban berat di pundaknya terasa sedikit terangkat. Sepuluh juta. Dengan uang itu, dia bisa menyelamatkan rumah Ibu. Sore harinya, Aisyah pulang ke rumah dengan senyum merekah di balik cadarnya. Di tangannya, dia menenteng kantong kresek berisi martabak manis keju susu kesukaan Ibunya. Makanan mewah yang sudah lama tidak mereka cicipi. "Assalamualaikum, Bu! Aisyah pulang!" Bu Nur yang sedang menjahit baju di ruang tengah menoleh kaget mendengar nada ceria putrinya. Sudah sebulan ini Aisyah selalu pulang dengan wajah murung dan mata sembab. "Waalaikumsalam. Masya Allah, Nduk. Senang sekali kelihatannya. Bawa apa itu?" Aisyah meletakkan martabak itu di meja, lalu berhambur memeluk ibunya erat-erat. "Bu, Aisyah diterima kerja! Di Wijaya Group, perusahaan besar di pusat kota itu lho, Bu!" seru Aisyah antusias. "Alhamdulillah, Ya Allah. Jadi tukang bersih-bersih di sana?" tanya Bu Nur ikut bersyukur. Aisyah menggeleng cepat, matanya berbinar jenaka. "Bukan, Bu. Awalnya Aisyah melamar jadi OG, tapi Bosnya bilang Aisyah terlalu pintar buat ngepel lantai. Aisyah diangkat jadi Asisten Pribadi Direktur!" Mulut Bu Nur menganga. "Asisten Direktur? Apa Pak Bosnya nggak masalah sama pakaian kamu, Nduk?" "Nggak, Bu. Pak Keinan, nama bosnya, dia baik banget. Dia bilang yang penting kerjanya bagus dan bisa diatur. Dan Ibu tahu gajinya berapa?" Bu Nur menggeleng polos. "Sepuluh juta sebulan, Bu! Sepuluh juta!" Bu Nur sontak menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. Tubuh rentanya gemetar. Baginya, uang segitu sangatlah banyak. "Ya Allah... beneran Nduk? Kamu nggak bohong kan? Itu uang halal kan?" "Halal, Bu. Resmi ada kontraknya. Aisyah tadi tanda tangan di atas materai. Dengan uang itu, kita bisa tebus ijazah Aisyah, terus sisanya kita tabung buat cicil hutang ke Mas Bryan. Rumah ini aman, Bu. Kita nggak bakal diusir." Tangis Bu Nur pecah. Dia memeluk putrinya erat-erat, menumpahkan segala kekhawatiran yang selama ini dia pendam sendirian. Dia takut kehilangan rumah peninggalan suaminya, tapi dia lebih takut melihat Aisyah menderita. "Alhamdulillah... Terima kasih ya Allah," isak Bu Nur sambil mengelus punggung Aisyah. "Ibu bangga sama kamu, Nduk. Kamu anak kuat. Allah angkat derajat kamu setelah dihina orang-orang." "Ini berkat doa Ibu juga," bisik Aisyah, ikut menangis haru. Malam itu, di rumah sederhana yang dindingnya mulai retak, Aisyah dan Ibunya menikmati potongan martabak manis dengan perasaan penuh syukur. Mereka tidak tahu bahwa di balik kebaikan hati bos barunya, ada rencana lain dan masa lalu kelam yang masih tersimpan rapat. Tapi untuk malam ini, biarlah mereka merayakan harapan kecil itu. Harapan bahwa badai pasti berlalu."Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah."Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?"Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan."Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya.""Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu.Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam."Saya baru saja dipecat dari bu
Layar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup Facebook pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB.Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana."Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum maka
Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk."Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kas
Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap."Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"Itu suara Bryan.Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat."Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya
Keinan berusaha membuka mata, namun kelopak itu terasa seberat beton. Tubuhnya seolah bukan miliknya lagi. Rasanya kaku dan mati rasa di beberapa bagian namun berdenyut nyeri luar biasa di bagian lain terutama di sekujur rusuk dan kepala bagian belakang.Suara bip ritmis dari monitor di samping tempat tidur menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup. Keinan mengerang pelan. Tenggorokannya kering kerontang seperti padang pasir yang tak tersentuh hujan selama bertahun-tahun."Keinan? Sayang? Mama! Papa! Keinan sadar!"Suara perempuan yang melengking panik itu menusuk telinganya. Itu suara Agnes, kekasihnya. Perlahan namun pasti pandangan Keinan mulai fokus. Cahaya putih lampu neon di langit-langit menyilaukan matanya sejenak sebelum wajah-wajah cemas itu mulai terbentuk jelas. Ada Mama yang sudah berurai air mata di sisi kiri sambil menggenggam tangannya erat sekali seolah takut dia akan pergi lagi. Ada Papa yang berdiri tegap di belakang Mama dengan wajah lelah dan mata m
Suara decit rem bus yang beradu dengan aspal panas menandai akhir perjalanan panjang itu. Terminal sore ini begitu sesak dan pengap. Debu beterbangan setiap kali roda-roda besar melindas jalanan yang berlubang, namun bagi Aisyah, kekacauan ini terasa melegakan. Akhirnya dia pulang. Empat puluh hari menjalani Kuliah Kerja Nyata di desa terpencil tanpa sinyal dan listrik yang memadai rasanya seperti satu dekade.Satu per satu teman kelompoknya turun dari bus. Wajah-wajah lelah itu seketika cerah begitu melihat jemputan masing-masing. Ada tawa renyah saat koper-koper besar berpindah tangan ke bagasi mobil orang tua atau pacar yang sudah menunggu.Aisyah hanya berdiri diam di pinggir trotoar sambil memeluk tas ranselnya yang lusuh. Dia merapatkan gamis panjangnya yang sedikit berdebu, lalu memperbaiki letak cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang teduh menatap nanar pada teman-temannya yang mulai melambaikan tangan perpisahan dari balik kaca mobil ber-AC.Hati kecilnya s







