LOGINLayar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup F******k pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.
WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB. Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana. "Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum makan siang." "Nanti saja di jalan, Bu. Doakan Aisyah diterima ya. Ini ikhtiar terakhir sebelum tenggat waktu dari Mas Bryan habis," pamit Aisyah cepat sambil mencium tangan ibunya yang kasar. Tanpa menunggu jawaban, Aisyah berlari keluar rumah. Dia tidak peduli dengan panas matahari yang menyengat kulit. Dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang di halte busway yang memandang aneh pada gamis hitam dan cadarnya yang sedikit berdebu karena berlari. Di dalam bus yang sesak, Aisyah meremas map lamarannya erat-erat. Jantungnya berpacu dengan waktu. "Tolong, Pak Kiri! Kiri depan menara itu!" seru Aisyah panik ketika melihat gedung pencakar langit Wijaya Tower sudah terlihat. Begitu turun, Aisyah setengah berlari menuju lobi gedung yang megah. Kakinya yang berbalut sepatu kets usang terasa sangat kecil saat memijak lantai marmer yang mengkilap. Dia merasa seperti semut di istana raksasa. "Maaf, Pak Satpam. Untuk pelamar Walk-In Interview di mana ya?" tanya Aisyah dengan napas terengah pada petugas keamanan di depan pintu detektor logam. Satpam itu menunjuk ke arah koridor sebelah kiri. "Langsung ke area HRD di lantai Ground belakang lobi, Mbak. Tapi buruan ya, loketnya lima menit lagi tutup." "Terima kasih, Pak!" Aisyah kembali berlari kecil. Dia harus melewati area lift utama untuk menuju koridor belakang. Kepalanya menunduk, berusaha menghindari tatapan para karyawan berdasi yang berlalu-lalang. Bersamaan Keinan melangkah masuk dari pintu khusus sambil merapikan dasinya. Dia baru saja kembali dari makan siang yang merusak suasana hati bersama Bryan. Pikirannya masih kacau memikirkan fakta bahwa sepupunya itu membatalkan pernikahan karena alasan yang membuatnya ingin muntah. Keinan menoleh ke samping, gerakannya terhenti. Matanya menangkap sosok wanita berbaju hitam yang berjalan tergesa-gesa melewati pilar besar. Deg. Keinan terpaku. Langkah kaki itu. Cara wanita itu memeluk tasnya. Dan sorot mata yang sekilas dia lihat saat wanita itu menoleh mencari arah. Tubuh Keinan bereaksi lebih cepat dari otaknya. Rasa dingin menjalar di punggungnya. Itu bukan sekadar orang asing. Dia hafal gestur itu. Gestur ketakutan yang sama dengan sosok yang menyelamatkannya di gang sempit sebulan lalu. "Aisyah, kah?" gumam Keinan tanpa sadar. Wanita itu berbelok masuk ke lorong menuju ruang HRD. Keinan tidak jadi berjalan ke lift khusus miliknya. Kakinya berputar arah, mengikuti sosok itu seperti orang yang terhipnotis. Jantungnya berdetak kencang, campuran antara rasa bersalah dan harapan. "Pak Keinan? Bapak mau ke mana? Ruangan Bapak di atas," tegur salah satu staf yang lewat, bingung melihat bos besarnya berjalan cepat ke arah back office. Keinan mengabaikannya. Dia terus berjalan sampai dia melihat wanita bercadar itu masuk ke dalam ruangan bertuliskan, Human Resource Department. Keinan berhenti di depan pintu kaca. Dia melihat dari luar. Wanita itu sedang menyerahkan map cokelat pada staf admin dengan gesture memohon karena jam sudah menunjukkan lewat pukul dua. Keinan merogoh saku celananya, mengambil ponsel, dan mendial nomor seseorang. Matanya tidak lepas dari punggung Aisyah yang terlihat rapuh di dalam sana. "Halo, Pak Hadi. Kamu di mana?" tanya Keinan dingin pada Manajer HRD-nya. "Saya di ruangan saya, Pak. Sedang rekap data pelamar hari ini. Ada perintah, Pak?" suara Pak Hadi terdengar gugup di seberang. "Keluar sekarang. Saya di depan ruangan kamu." "Hah? Bapak di depan ruangan saya?" Telepon mati. Tiga detik kemudian, pintu ruangan Manajer HRD terbuka. Pak Hadi muncul dengan wajah pucat pasi, kaget setengah mati melihat Direktur Utama berdiri tegap di lorong staf biasa. "Pa-Pak Keinan! Astaga, ada apa Pak? Kenapa Bapak turun ke sini? Kalau Bapak butuh sesuatu tinggal panggil saya ke atas," cecar Pak Hadi panik. Keinan tidak menjawab basa-basi itu. Dia mengangkat dagunya, menunjuk ke arah loket pendaftaran di mana Aisyah masih berdiri menunggu verifikasi berkas. "Gadis yang pakai cadar hitam itu. Siapa namanya?" tanya Keinan datar. Pak Hadi menyipitkan mata, melihat ke arah yang ditunjuk. "Oh, itu pelamar terakhir, Pak. Walk-in interview untuk posisi OG. Kasihan sebenarnya, dia datang telat tapi ngotot minta diterima berkasnya. Namanya kalau tidak salah Aisyah Humaira.” Rahang Keinan mengeras. Benar dugaan dia. Takdir memang sedang mempermainkan mereka berdua. Gadis yang dicampakkan Bryan karena dianggap kotor, kini sedang mengemis pekerjaan rendahan di perusahaan sepupunya sendiri. "Panggil dia," perintah Keinan. "Maksud Bapak? Suruh dia pulang? Memang penampilannya agak kurang sesuai standar seragam kita sih Pak, nanti saya tegur staf saya supaya ..." "Bawa dia ke ruangan saya. Sekarang," potong Keinan tajam. Pak Hadi melongo. "Ke ruangan Bapak? Di Penthouse? Tapi Pak, dia pelamar cleaning service. Apa tidak kejauhan kalau Bapak yang wawancara? Biar staf saya saja yang ..." Keinan menatap Pak Hadi dengan tatapan yang bisa membekukan air mendidih. "Saya tidak minta pendapat kamu, Hadi. Ambil berkas lamarannya, dan bawa orangnya naik ke ruangan saya dalam lima menit. Lewat lift VIP. Jangan biarkan dia menunggu antrean wawancara umum." "Ta-tapi Pak, alasannya apa? Nanti dia bingung." "Bilang saja dia lolos kualifikasi khusus," jawab Keinan asal. Keinan berbalik badan, melangkah kembali menuju lift dengan perasaan yang berkecamuk. Dia sudah menemukan Aisyah. Dia sudah memegang kunci untuk menebus rasa bersalahnya. Di belakangnya, Pak Hadi masih garuk-garuk kepala yang tidak gatal, bingung setengah mati dengan kelakuan bosnya. Namun perintah adalah perintah. Pak Hadi segera berlari kecil menghampiri meja pendaftaran. "Mbak! Mbak yang pakai cadar!" panggil Pak Hadi lantang. Aisyah yang baru saja hendak duduk di kursi tunggu menoleh kaget. "Saya, Pak?" "Iya, kamu. Sini ikut saya. Berkas kamu sekalian bawa." "Lho, ada apa Pak? Bukannya disini,” Aisyah panik, takut langsung ditolak sebelum dicoba. "Bukan disini. Kamu disuruh ikut saya naik ke atas." "Ke atas? Wawancaranya bukan di sini?" "Bukan. Kamu spesial. Direktur Utama mau ketemu kamu langsung. Ayo cepat, jangan bikin bos saya nunggu atau saya yang kena pecat!" Aisyah bingung bukan main, tapi kakinya tetap melangkah mengikuti pria gempal itu. Dia tidak tahu bahwa langkah kakinya menuju lift emas itu adalah langkah awal masuk ke dalam sangkar emas yang disiapkan Keinan untuknya."Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah."Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?"Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan."Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya.""Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu.Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam."Saya baru saja dipecat dari bu
Layar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup Facebook pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB.Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana."Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum maka
Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk."Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kas
Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap."Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"Itu suara Bryan.Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat."Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya
Keinan berusaha membuka mata, namun kelopak itu terasa seberat beton. Tubuhnya seolah bukan miliknya lagi. Rasanya kaku dan mati rasa di beberapa bagian namun berdenyut nyeri luar biasa di bagian lain terutama di sekujur rusuk dan kepala bagian belakang.Suara bip ritmis dari monitor di samping tempat tidur menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup. Keinan mengerang pelan. Tenggorokannya kering kerontang seperti padang pasir yang tak tersentuh hujan selama bertahun-tahun."Keinan? Sayang? Mama! Papa! Keinan sadar!"Suara perempuan yang melengking panik itu menusuk telinganya. Itu suara Agnes, kekasihnya. Perlahan namun pasti pandangan Keinan mulai fokus. Cahaya putih lampu neon di langit-langit menyilaukan matanya sejenak sebelum wajah-wajah cemas itu mulai terbentuk jelas. Ada Mama yang sudah berurai air mata di sisi kiri sambil menggenggam tangannya erat sekali seolah takut dia akan pergi lagi. Ada Papa yang berdiri tegap di belakang Mama dengan wajah lelah dan mata m
Suara decit rem bus yang beradu dengan aspal panas menandai akhir perjalanan panjang itu. Terminal sore ini begitu sesak dan pengap. Debu beterbangan setiap kali roda-roda besar melindas jalanan yang berlubang, namun bagi Aisyah, kekacauan ini terasa melegakan. Akhirnya dia pulang. Empat puluh hari menjalani Kuliah Kerja Nyata di desa terpencil tanpa sinyal dan listrik yang memadai rasanya seperti satu dekade.Satu per satu teman kelompoknya turun dari bus. Wajah-wajah lelah itu seketika cerah begitu melihat jemputan masing-masing. Ada tawa renyah saat koper-koper besar berpindah tangan ke bagasi mobil orang tua atau pacar yang sudah menunggu.Aisyah hanya berdiri diam di pinggir trotoar sambil memeluk tas ranselnya yang lusuh. Dia merapatkan gamis panjangnya yang sedikit berdebu, lalu memperbaiki letak cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang teduh menatap nanar pada teman-temannya yang mulai melambaikan tangan perpisahan dari balik kaca mobil ber-AC.Hati kecilnya s







