Share

7. Jatuh Cinta?

Kerja kelompok sudah selesai, Nita dan Kezia sudah dijemput oleh orangtua masing-masing dan menyisakan Hariz. Hariz dengan kaku duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan jari-jarinya. Ia terlihat bingung dan canggung. Sementara itu, Sera ikut terpangaruh oleh suasana canggung tersebut dan hanya bisa diam sambil memainkan handphonenya. 

Hariz melirik ke arah Sera. 

'Ayo, Hariz, buka pembicaraan.' Batin Hariz berteriak, merasa dirinya payah sekali karena membiarkan suasana berlangsung kaku dan hening yang tidak mengenakkan bagi keduanya. 

"Meoww!" Erta mendadak mengeong dan lompat ke paha Sera. 

Suasana hening pecah dengan Sera yang terkikik kecil sambil mengelus Erta. Hariz tersenyum. 

"Senyummu itu manis, Ser." Hariz tersentak, terkejut sendiri dengan ucapannya. Sepertinya batinnya baru saja membuat bibirnya bergerak dan suaranya benar-benar keluar dengan keras. Hariz meruntuki dirinya yang tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. 

Wajah Sera tidak bisa berbohong, ia salah tingkah, sedikit memerah. Erta memejamkan matanya, tidak ingin melihat keadaan yang terlihat aura cinta dimana-mana. Erta menatap Hariz dengan sinis, namun Hariz tidak bereaksi dan fokus dengan detak jantungnya sendiri. 

Tiba-tiba ponsel genggam Hariz berbunyi. Hariz bangkit dari sofanya tanpa mengangkat telfon tersebut. 

"Sepertinya Ibuku sudah menjemput, sudah dulu ya, Ser. Terima kasih!" Hariz buru-buru keluar dari rumah Sera agar ibunya tidak marah-marah. 

Sera menutup wajahnya. Ia kemudian memejamkan matanya dengan mulut yang terlihat ingin berteriak namun tertahan. Erta memperhatikan Sera dengan raut heran ala kucing, memiringkan sedikit kepalanya. 

"Kamu lihat itu, Ray?!" Sera membuka mulutnha dengan bersemangat. "Astaga Hariz benar-benar membuat hatiku meleleh. Wajahku panas sekali. Kenapa dia bisa baik ke semua wanita sih? Apakah aku baru saja jatuh cinta?" Sera mengoceh sambil memegang wajahnya yang masih sedikit memerah. 

"Meow." Erta menjawab dengan nada rendah, terdengar tidak suka. 

"Astaga ada apa denganmu? Sepertinya kamu membenci Hariz ya? Padahal dia anak yang baik."

Erta hanya diam dan memejamkan matanya, memposisikan dirinya lebih nyaman dalam posisi terngkurapnya. Sera menggelengkan kepalanya, sedikit bingung juga dengan keadaan kucing satu-satunya ini. 

***

"Bu, kayaknya Erta lagi badmood deh. Liat wajahnya, galak sekali." Vani berbisik pada Ibunya. 

Sang Ibu berwujud kucing itu hanya terkekeh. Firasatnya sebagai Ibu telah memberikan suatu sinyal. Ibu Erta berjalan dengan pelan mendekati Erta yang sedang memasang wajah masam dan menatap entah kemana. 

"Biar Ibu tebak, sepertinya gadis majikanmu itu sedang dekat dengan cowok lain dan kamu melihatnya ya?"

Erta memasang wajah makin masam, karena tebakan Ibunya benar. Padahal dalam hari Erta pun menyadari bahwa Hariz adalah lelaki yang baik dan tidak akan mungkin menyakiti Sera. 

"Astaga? Ternyata cukup mudah membuatmu jatuh cinta, Ta. Kukira bakal susah, atau apakah memang Sera mudah untuk dicintai? Saat aku melihat orangtuanya, mereka terlihat sangat sayang pada anaknya itu." Yetha tiba-tiba muncul, langsung mengoceh tentang pendapatnya. 

"Kak Yetha, aku tidak jatuh cinta pada Sera," ujar Erta dengan nada sinis. 

Yetha menutup mulutnya, kaget. "Bukankah kau baru saja menunjukkan bahwa kau jatuh cinta padanya? Dengarlah nada sinismu itu.Tsundere sekali hahaha!" Yetha tertawa terbahak-bahak, yang kemudian diikuti dengan kikikan kecil dari Vani. 

Erta menghembuskan nafasnya dengan berat, kakak-kakaknya ini mudah untuk mengambil suatu kesimpulan. Tetapi, disaat bersamaan ia mulai merasa ada yang aneh pada dirinya. Sesak, panas, semua perasaan itu tidak terasa nyaman. Dan perasaan itu hanya ia rasakan saat melihat Sera bersama dengan si Hariz itu. Erta menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Sera. 

Sementara itu, Indra terlihat mengamati Erta dengan tatapannya yang sebenarnya sedikit terlalu dalam. Erta yang menyadari ia sedang ditatap oleh kakak laki-lakinya itu lantas menoleh, membuat mereka saling bertatapan sejenak. Erta mengernyitkan dahinya, bingung dengan tatapan kakak laki-lakinya itu. 

"Ada apa, Kak Indra?" Akhirnya Erta bertanya secara langsung karena penasaran. 

Indra terdiam sebentar saat mendengar jawaban itu, kemudian ia membuka suara. "Jangan terlalu benci jatuh cinta."

Erta memutar bola matanya. "Kak Indra juga mengira aku jatuh cinta dengan majikanku sendiri ya?" 

Indra hanya menggedikkan bahunya, kali ini ia kembali menyibukkan diri dengan ponsel genggamnya yang sedari tadi masih menyala. Erta mendengus saat kakaknya itu tidak membalas dan malah mengabaikannya. 

Vani yang melihat hal tersebut tersenyum puas. "Bahkan si Indra pun setuju kamu sedang jatuh cinta, Ta. Sudahlah akui saja, tidak ada salahnya jatuh cinta."

Erta mengerang. Sang Ibu yang memperhatikan perdebatan anak-anak kesayangannya itu hanya tersenyum, lalu akhirnya membuka suara untuk mengakhiri perdebatan tidak jelas itu. 

"Sudah-sudah, yang memutuskan jatuh cinta adalah Erta. Biarkan dia sendiri yang menyadari hal itu. Jika Erta tidak jatuh cinta juga biarkan saja, dia sudah besar dan tidak harus mengikuti kakak-kakaknya juga." Ibu Erta berlaku netral. 

Erta tersenyum, merasa lega ada yang mendukungnya meskipun ia merasa sedikit janggal jika dibela sedemikian rupa. Entah mengapa Erta lebih suka digoda daripada dibela dengan ucapan ambigu seperti perkataan Ibunya itu. 

***

Di lain waktu, Hariz sedang berbaring di kasurnya. Sejak tadi, ia masih memikirkan apa saja yang baru saja terjadi di rumah Sera. Wajah Hariz memerah, masih meruntuki mengapa mulutnya sejujur itu dan bisa selepas itu hingga mengucapkan pujian itu. 

"Well, pujian itu tidak salah tapi malu sekaliii." Hariz mengerang, ia menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya. 

Hariz kemudian menatap dinding kamarnya, menerawang. Membayangkan wajah Sera yang sedang tersenyum saat menatap kucing peliharaannya. Hariz merasa ia sudah gila dan terkena virus bucin yang ia kira, ia tidak akan terkena virus tersebut yang sudah membuat teman-temannya melakukan hal tidak masuk akal. Hariz memiliki banyak teman yang berpacaran, selama ini Hariz tidak pernah terpengaruh mereka. 

"Tapi, Sera auranya beda sekali. Aku merasa ingin mengenalnya lebih jauh. Aku suka padanya," aku Hariz pada dirinya, bermonolog dengan nada pelan agar tidak terdengar oleh siapapun. 

"Hariz! Mama bikin kue! Mau nggak?!" 

Tiba-tiba suara lantang Mama Hariz terdengar membuat Hariz buru-buru bangkit dan menjawab. 

"Iya, Ma! Sebentar!"

Hariz pun keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Ia dapat melihat mamanya yang masih menggunakan sarung tangan untuk mengambil loyang di oven. Hariz juga bisa melihat ada kue-kue berbentuk love berada di meja makan. 

Hariz mengernyit. "Kenapa bentuk love, Ma?" Hariz bertanya dengan heran, selama ini Mamanya tidak pernah membuat bentuk kue selain bulat dan kotak. 

Mama Hariz tertawa, wajahnya terlihat riang dan sumringah. "Gara-gara liat auramu setelah pulang kerja kelompok di rumah temenmu itu. Siapa namanya? Sefa?"

"Sera, Ma."

"Nah iya, itu. Kamu sepertinya suka ya sama si Sera itu?"

Deg. Wajah Hariz tidak bisa berbohong. Memerah dan panas sekali. Mama Hariz tertawa melihat reaksi anak semata wayangnya itu. 

"Hahahaha, nggak papa kok, Riz. Mama dukung. Asal kamu bisa mengendalikan dirimu, jangan terlalu dalam jatuh cintanya, nanti sakit." Mama Hariz tersenyum, memberi saran berdasarkan pengalaman hidupnya. 

Hariz mengusap tengkuknya dengan kaku. "Mama selalu bisa nebak aku deh. Iya, Ma."

Mama Hariz sekali lagi tertawa, gemas dengan tingkah putranya itu. 

"Ya sudah, ini coba dimakan kuenya. Enak nggak?"

Hariz mengambil salah satu kue tersebut dan menggigitnya, mengunyahnya dengan pelan. "Enak, Ma."

"Pasti dong, kan Mama yang buat."

"Hahaha iya, Ma."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status