Share

SA - Bab 6

"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah.

Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam.

Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen.

Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti.

Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan.

Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup.

"Apa mau sore ini saja panen, Mbak?"

Pada Pak Sardi aku menggeleng. "Saya ada urusan sore ini, Pak. Besok saja, biar nanti saya juga ada waktu untuk cek pesanan rumah makan."

Usai berbincang sebentar dengan Pak Sardi, aku pun pamit. Aku enggak bohong. Memang ada hal yang aku diurus sore ini.

Aku harus ke rumah Inara.

Repot dan melelahkan berurusan dengan Inara. Terlebih, setelah kecelakaan dengan Gatan kemarin. Karena itu, hari ini aku akan tuntaskan soalan berkunjung ke rumah Inara.

Di perjalanan aku singgah untuk membeli beberapa buah tangan. Sengaja meminta taksi yang mengantar untuk pelan-pelan saja, pada akhirnya aku tiba juga di rumah Inara.

"A***nglah," umpatku pelan ketika menutup pintu mobil setelah turun.

Mobil Gatan ada di halaman. Artinya, pria itu ada di rumah. Padahal, sengaja aku memilih jam dia belum pulang kantor untuk berkunjung, supaya kami enggak perlu ketemu.

Mau pulang lagi, sudah kepalang tanggung. Ditunda pun, besok masih harus dilakukan juga. Sudahlah.

"Gaslah!" kataku menyemangati diri sendiri.

Toh, Inara enggak mungkin tahu soal kejadian di kamar kos tempo hari. Kalau dia tahu, aku pasti sudah mati di tangan Ibu.

Inara tampak begitu terkejut saat melihat aku yang datang. Perempuan itu melompat ke pelukan macam anak kecil. Aku berusaha anteng saja, berharap ini akan jadi yang terakhir kami bersua.

Aku diajak masuk. Inara heboh menyuruh asisten rumah tangganya menyiapkan makanan. Katanya, aku harus ikut makan malam. Gagal sudah rencanaku habis ketemu, langsung pulang.

"Senang banget Kakak datang." Seakan enggak cukup duduk berdekatan, Inara masih harus merangkulkan lengannya padaku. "Makasih banyak, Kak."

Aku mengangguk saja. "Setelah ini, jangan bahas apa pun soal maaf dan kejadian di waktu dulu. Lupain aja, kamu itu harusnya repot mikirin gimana bisa sembuh."

Dia mendongak. Matanya yang menatapku berkaca-kaca. Lalu, si bungsu itu menangis.

Haduh. Datang salah, enggak datang juga salah sepertinya.

"Aku nggak lelah bilang ke Kakak, aku benar-benar menyesal untuk semua. Aku nggak pernah bermaksud membuat Kaka jadi dibenci Ibu. Aku juga sedih tiap kali Ibu marahin Kakak."

Aku mengangguk pelan. Aku juga tahu itu. Namun, aku ini juga manusia. Kadang, sewaktu lelah dengan sikap pilih kasih Ibu, aku memang menyalahkan dia.

"Aku juga," sahutku. "Satu-satunya hal buruk yang sengaja aku lakuin ke kamu cuma pas pulang duluan sewaktu SMP dulu. Selebihnya, aku enggak pernah bermaksud jahat."

Ini pengakuan jujur. Selain waktu SMP itu, aku memang enggak pernah melakukan hal buruk ke dia. Meski dia lebih disayang ibu, tetapi aku cukup waras untuk melihat kenyataan kalau Inara ini enggak pernah mengompori Ibu untuk benci aku. Memang Ibu yang ingin membenciku.

Masalah aku yang seolah enggak peduli sama sakitnya Inara, aku punya alasan. Dulu, pernah aku berusaha selalu ada untuk menolong Inara.

Misal, waktu dia pingsan di sekolah. Aku langsung jagain ke UKS, kuminta guru untuk segera antar kami pulang. Namun, setibanya di rumah, Ibu malah marah. Aku disalahkan karena enggak bisa jaga Inara. Dan aku salah karena bawa Inara pulang dan bukannya ke rumah sakit.

Demi apa pun, aku masih anak SD dulu. Pikiranku enggak sampai sana. Namun, Ibu enggak mau tahu. Dia tetap menyalahkanku.

Juga, selama ini Ibu selalu siap siaga di samping Inara. Enggak ada sehari pun Ibu enggak nemenin Inara tidur, makan, bahkan mandi. Jadi, seharusnya aku sudah enggak diperlukan lagi, 'kan?

Karena itu aku membantu Inara dengan cara yang lain.

Inara menangis cukup lama di pelukan. Perempuan itu baru berhenti saat Gatan muncul. Lelaki itu ternyata mandi, karenanya enggak kelihatan sejak tadi. Kenapa enggak mandi lebih lama lagi, sih? Sampai besok gitu?

"Mas, lihat. Kakakku bawain baju tidur baru. Ada sandal juga." Inara memamerkan buah tangan yang kubawa pada suaminya.

Gatan tersenyum. Tersenyum dengan mata berbinar seperti suami baik-baik. Hilih. Apa dia sudah lupa dengan kelakukan bejatnya padaku?

Maksudku, kelakukan bejat kami berdua.

Kalau saja enggak ingat penyakit jantungnya Inara, sudah aku beberkan apa yang dia lakukan waktu itu. Biar dia dicerai.

"Aku udah lega sekarang, Mas. Kak Anes udah mau datang ke rumah kita, artinya dia udah nggak marah lagi sama aku."

Gatan hanya mengangguk. Pria itu mengusapi puncak kepala Inara.

Muak melihat tingkah sok baiknya itu, aku memalingkan wajah. Ke mana saja, asal enggak ke dia. Pahit.

***

Tahu apa yang buruk dari manusia? Sekali maunya dikasih, dia akan minta berkali-kali lagi.

Aku sudah setuju datang. Inara malah merengek agar aku enggak pulang dan menginap semalam. Sudah kukarang alasan sebanyak-banyaknya, tetapi dia bersikeras menahanku di sini. Malah, dia mengancam akan mengekori aku kalau sampai benar-benar pulang.

Harusnya aku bisa enggak peduli, kalau saja malam ini langit cerah. Paling, Inara hanya kuat berlari beberapa meter, kemudian pingsan. Namun, sekarang hujan. Agak kasihan juga melihat perempuan ringkih itu harus berlari di tengah hujan.

"Kamu, tuh, bener-bener menjebak aku, ya!" Aku menyerah. Kembali duduk di sofa, sengaja memicing pada Inara.

Inara malah tertawa-tawa. "Yey! Kakak tidur sini! Bentar, aku siapin kamarnya dulu."

Aku menahan lengannya. "Bawakan selimut sama bantal aja. Aku mau tidur sini, sekalian nonton."

"Tapi nanti dingin."

Aku menggeleng. "Aku tidur sini, atau aku pulang!"

Ancamanku berhasil membuatnya balik badan tanpa banyak protes. Aku cuma takut dia akan mengajak tidur berdua. Karena itu, lebih baik menahan dingin di ruang tamu ini.

Bukan. Bukan aku membenci Inara. Aku hanya ... kasihan? Kasihan dan merasa sedikit bersalah padanya.

Aku saksi bagaimana dia berusaha keras untuk bertahan hidup selama ini. Meski selalu didampingi Ibu, aku tahu itu enggak mudah. Aku kasihan padanya, tetapi merasa bersalah karena enggak ada hal yang bisa aku lakuin untuk nolong.

Kalau saja jantung bisa didonorkan tanpa membuat kita mati, atau bisa diambil sepotong seperti organ hati, mungkin aku mau memberikannya untuk Inara. Namun, aku ini terlalu pengecut.

Berulang kali aku berkata enggak ingin hidup lagi. Mau ke Mars, mau pindah dari Bumi. Namun, keberanianku untuk menggores nadi dengan cutter atau silet enggak pernah ada. Melompat dari gedung tinggi, berdiri di tangah jalan raya, mencekik diri sendiri atau minum racun rumput, semua itu cuma wacana di kepalaku yang berisi keputusasaan dan kesedihan.

Nyaliku ternyata enggak sebanyak itu untuk benar-benar mati, meski tahu kalau nanti mati, jantungku bisa dikasih untuk Inara. Aku enggak seberani itu, dan karenanya aku amat merasa bersalah pada Inara.

Kalau kami sampai tidur satu ranjang, aku pasti akan menangis sambil memandangi dia. Nanti, dia akan terbangun, lalu bertanya kenapa aku menangis. Lantas, aku harus jawab apa?

Memberitahu kalau aku merasa bersalah padanya? Bercerita kalau selama ini aku diam-diam juga berdoa supaya dia cepat sehat? Aku hanya akan ditertawakan. Mana ada yang percaya kalau iblis yang kesasar di Bumi bisa menyayangi orang lain? Jadi, lebih baik diam saja dan menghindar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status