"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah.
Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam.Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen.Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti.Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan.Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup."Apa mau sore ini saja panen, Mbak?"Pada Pak Sardi aku menggeleng. "Saya ada urusan sore ini, Pak. Besok saja, biar nanti saya juga ada waktu untuk cek pesanan rumah makan."Usai berbincang sebentar dengan Pak Sardi, aku pun pamit. Aku enggak bohong. Memang ada hal yang aku diurus sore ini.Aku harus ke rumah Inara.Repot dan melelahkan berurusan dengan Inara. Terlebih, setelah kecelakaan dengan Gatan kemarin. Karena itu, hari ini aku akan tuntaskan soalan berkunjung ke rumah Inara.Di perjalanan aku singgah untuk membeli beberapa buah tangan. Sengaja meminta taksi yang mengantar untuk pelan-pelan saja, pada akhirnya aku tiba juga di rumah Inara."A***nglah," umpatku pelan ketika menutup pintu mobil setelah turun.Mobil Gatan ada di halaman. Artinya, pria itu ada di rumah. Padahal, sengaja aku memilih jam dia belum pulang kantor untuk berkunjung, supaya kami enggak perlu ketemu.Mau pulang lagi, sudah kepalang tanggung. Ditunda pun, besok masih harus dilakukan juga. Sudahlah."Gaslah!" kataku menyemangati diri sendiri.Toh, Inara enggak mungkin tahu soal kejadian di kamar kos tempo hari. Kalau dia tahu, aku pasti sudah mati di tangan Ibu.Inara tampak begitu terkejut saat melihat aku yang datang. Perempuan itu melompat ke pelukan macam anak kecil. Aku berusaha anteng saja, berharap ini akan jadi yang terakhir kami bersua.Aku diajak masuk. Inara heboh menyuruh asisten rumah tangganya menyiapkan makanan. Katanya, aku harus ikut makan malam. Gagal sudah rencanaku habis ketemu, langsung pulang."Senang banget Kakak datang." Seakan enggak cukup duduk berdekatan, Inara masih harus merangkulkan lengannya padaku. "Makasih banyak, Kak."Aku mengangguk saja. "Setelah ini, jangan bahas apa pun soal maaf dan kejadian di waktu dulu. Lupain aja, kamu itu harusnya repot mikirin gimana bisa sembuh."Dia mendongak. Matanya yang menatapku berkaca-kaca. Lalu, si bungsu itu menangis.Haduh. Datang salah, enggak datang juga salah sepertinya."Aku nggak lelah bilang ke Kakak, aku benar-benar menyesal untuk semua. Aku nggak pernah bermaksud membuat Kaka jadi dibenci Ibu. Aku juga sedih tiap kali Ibu marahin Kakak."Aku mengangguk pelan. Aku juga tahu itu. Namun, aku ini juga manusia. Kadang, sewaktu lelah dengan sikap pilih kasih Ibu, aku memang menyalahkan dia."Aku juga," sahutku. "Satu-satunya hal buruk yang sengaja aku lakuin ke kamu cuma pas pulang duluan sewaktu SMP dulu. Selebihnya, aku enggak pernah bermaksud jahat."Ini pengakuan jujur. Selain waktu SMP itu, aku memang enggak pernah melakukan hal buruk ke dia. Meski dia lebih disayang ibu, tetapi aku cukup waras untuk melihat kenyataan kalau Inara ini enggak pernah mengompori Ibu untuk benci aku. Memang Ibu yang ingin membenciku.Masalah aku yang seolah enggak peduli sama sakitnya Inara, aku punya alasan. Dulu, pernah aku berusaha selalu ada untuk menolong Inara.Misal, waktu dia pingsan di sekolah. Aku langsung jagain ke UKS, kuminta guru untuk segera antar kami pulang. Namun, setibanya di rumah, Ibu malah marah. Aku disalahkan karena enggak bisa jaga Inara. Dan aku salah karena bawa Inara pulang dan bukannya ke rumah sakit.Demi apa pun, aku masih anak SD dulu. Pikiranku enggak sampai sana. Namun, Ibu enggak mau tahu. Dia tetap menyalahkanku.Juga, selama ini Ibu selalu siap siaga di samping Inara. Enggak ada sehari pun Ibu enggak nemenin Inara tidur, makan, bahkan mandi. Jadi, seharusnya aku sudah enggak diperlukan lagi, 'kan?Karena itu aku membantu Inara dengan cara yang lain.Inara menangis cukup lama di pelukan. Perempuan itu baru berhenti saat Gatan muncul. Lelaki itu ternyata mandi, karenanya enggak kelihatan sejak tadi. Kenapa enggak mandi lebih lama lagi, sih? Sampai besok gitu?"Mas, lihat. Kakakku bawain baju tidur baru. Ada sandal juga." Inara memamerkan buah tangan yang kubawa pada suaminya.Gatan tersenyum. Tersenyum dengan mata berbinar seperti suami baik-baik. Hilih. Apa dia sudah lupa dengan kelakukan bejatnya padaku?Maksudku, kelakukan bejat kami berdua.Kalau saja enggak ingat penyakit jantungnya Inara, sudah aku beberkan apa yang dia lakukan waktu itu. Biar dia dicerai."Aku udah lega sekarang, Mas. Kak Anes udah mau datang ke rumah kita, artinya dia udah nggak marah lagi sama aku."Gatan hanya mengangguk. Pria itu mengusapi puncak kepala Inara.Muak melihat tingkah sok baiknya itu, aku memalingkan wajah. Ke mana saja, asal enggak ke dia. Pahit.***Tahu apa yang buruk dari manusia? Sekali maunya dikasih, dia akan minta berkali-kali lagi.Aku sudah setuju datang. Inara malah merengek agar aku enggak pulang dan menginap semalam. Sudah kukarang alasan sebanyak-banyaknya, tetapi dia bersikeras menahanku di sini. Malah, dia mengancam akan mengekori aku kalau sampai benar-benar pulang.Harusnya aku bisa enggak peduli, kalau saja malam ini langit cerah. Paling, Inara hanya kuat berlari beberapa meter, kemudian pingsan. Namun, sekarang hujan. Agak kasihan juga melihat perempuan ringkih itu harus berlari di tengah hujan."Kamu, tuh, bener-bener menjebak aku, ya!" Aku menyerah. Kembali duduk di sofa, sengaja memicing pada Inara.Inara malah tertawa-tawa. "Yey! Kakak tidur sini! Bentar, aku siapin kamarnya dulu."Aku menahan lengannya. "Bawakan selimut sama bantal aja. Aku mau tidur sini, sekalian nonton.""Tapi nanti dingin."Aku menggeleng. "Aku tidur sini, atau aku pulang!"Ancamanku berhasil membuatnya balik badan tanpa banyak protes. Aku cuma takut dia akan mengajak tidur berdua. Karena itu, lebih baik menahan dingin di ruang tamu ini.Bukan. Bukan aku membenci Inara. Aku hanya ... kasihan? Kasihan dan merasa sedikit bersalah padanya.Aku saksi bagaimana dia berusaha keras untuk bertahan hidup selama ini. Meski selalu didampingi Ibu, aku tahu itu enggak mudah. Aku kasihan padanya, tetapi merasa bersalah karena enggak ada hal yang bisa aku lakuin untuk nolong.Kalau saja jantung bisa didonorkan tanpa membuat kita mati, atau bisa diambil sepotong seperti organ hati, mungkin aku mau memberikannya untuk Inara. Namun, aku ini terlalu pengecut.Berulang kali aku berkata enggak ingin hidup lagi. Mau ke Mars, mau pindah dari Bumi. Namun, keberanianku untuk menggores nadi dengan cutter atau silet enggak pernah ada. Melompat dari gedung tinggi, berdiri di tangah jalan raya, mencekik diri sendiri atau minum racun rumput, semua itu cuma wacana di kepalaku yang berisi keputusasaan dan kesedihan.Nyaliku ternyata enggak sebanyak itu untuk benar-benar mati, meski tahu kalau nanti mati, jantungku bisa dikasih untuk Inara. Aku enggak seberani itu, dan karenanya aku amat merasa bersalah pada Inara.Kalau kami sampai tidur satu ranjang, aku pasti akan menangis sambil memandangi dia. Nanti, dia akan terbangun, lalu bertanya kenapa aku menangis. Lantas, aku harus jawab apa?Memberitahu kalau aku merasa bersalah padanya? Bercerita kalau selama ini aku diam-diam juga berdoa supaya dia cepat sehat? Aku hanya akan ditertawakan. Mana ada yang percaya kalau iblis yang kesasar di Bumi bisa menyayangi orang lain? Jadi, lebih baik diam saja dan menghindar."Bisamu cuma buat ulah." Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata. Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini. "Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat? "Pindah ke kamar. Di sini dingin." Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya. "An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar. "Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi. "Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik. Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu
Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
"Lagi hamil, ya?" Pertanyaan Ibu pemilik warung yang aku datangi, kujawab dengan anggukkan pelan, enggak bersemangat. Pagi ini, kondisiku agak kurang baik. Sejak kemarin aku enggak selera makan apa pun dan lemas. Pagi ini, aku ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan. Siapa tahu dengan memasak menu lain, selera makan jadi sedikit membaik. Aku membeli mi putih dan satu bungkus bakso. "Biasanya Ibu hamil memang begitu. Sering lemas. Suaminya di mana?" Beberapa minggu tinggal di sini, ini pertama kalinya ada yang menanyai soal suamiku. Seperti rencana awal, aku menjawab kalau ayahnya calon anakku ini sudah meninggal. "Dia supir, Buk. Kecelakaan dan meninggal di tempat." Aku menunduk untuk menahan senyum. Semoga enggak ada malaikat yang mencatat ucapan tadi. Ibu pemilik warung itu tampak simpati. Beliau mengangguk dengan wajah iba. Usai menghitung belanjaanku, dia berkata, "Yang sabar. Kamu pasti sudah dianggap mampu mengurus anak itu sendirian, karenanya suamimu dipanggil dul
Harusnya bisa untung besar bulan ini, karena pelanggan yang memesan ikan bertambah, aku harus kecewa dan segera merencanakan pembatalan pesanan. Hari ini aku menerima laporan kalau banyak ikan yang mati. Padahal, kata Pak Sardi, pakan, vitamin dan jadwal membersihkan kolam sudah seperti biasa. Pak Sardi bilang, kalau enggak ada ikan yang mati lagi, mungkin yang bisa dipanen enggak sampai setengah dari bibit yang disebar. Sedih sekali rasanya. Namun, apa mau dikata? Mungkin sudah nasib. "Sudah sore. Mbak mau pulang sekarang?" Pertanyaan Pak Sardi kujawab dengan anggukkan lesu. Tadi pagi aku datang dengan taksi. Jadi, sekarang pun harus pesan taksi dulu. Belum juga taksiku datang, seorang pekerja menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik. "Mbak, ada yang cariin. Orangnya pingsan." Aku diajak untuk ke depan. Umpatanku enggak bisa ditahan saat melihat ada mobil Gatan terparkir di dekat pintu masuk tempat budidaya ikan. Kuperiksa ke dalam, info pekerja itu ter
Seminggu penuh aku menganggap Gatan orang hilang akal. Aku mengabaikan kehadiran, pertanyaan atau ucapannya. Seminggu ini, seperti orang aneh, dia mengikutiku. Lelaki itu datang ke tempat kolam ikan. Mengikutiku sampai rumah. Pernah menunggu sampai pagi di luar rumah. Dan terus bertanya soal siapa ayah dari anak yang aku kandung. Selama tujuh hari menganggapnya enggak ada, sore ini aku lelah direcoki. Letih juga melihat wajahnya yang kadang memasang ekspresi galak, datar dan beberapa kali terlihat sedih. Setibanya di rumah, aku menanyai Gatan. "Maumu apa? Mau ini anak Naja atau bukan, masalahmu apa?" Tatapan Gatan meredup untuk sebentar. Untuk sesaat aku seperti melihat rasa bersalah di sana. Heran, penasaran kenapa dia seperti itu, tetapi aku pura-pura enggak lihat apa pun. "Mau ini a--" "Aku bapaknya, 'kan?" Tadinya aku yang ingin melabrak dia supaya enggak merecoki hidupku lagi, kalau perlu sampai marah-marah biar dia merasa tersudut, sekarang keadaan berbalik. "Itu anak ak