Imran sudah tiba di restoran yang diberitahu Fadhil. Lelaki itu berulang kali mengela nafasnya panjang. Otaknya terus memikirkan Fadhil, entah bagaimana tanggapan lelaki itu atas ucapannya semalam. Imran merasa jantungnya berdetak kencang, terlebih saat dirinya melihat sosok Fadhil yang berjalan mendekat. Rasanya mau copot.“Sorry, lama. Tadi macet,” ucap Fadhil. Lelaki jangkung itu terlihat santai, membuat ketampanannya terlihat semakin memesona.Keduanya kembali terdiam, bahkan Imran dan Fadhil terlihat canggung. Mirip pasangan suami istri yang sedang berbulan madu.“Fadhil ... saya.” Imran berucap, tapi menggantung kalimatnya, udara di sekitarnya terasa sesak saat dirinya hendak mengatakan untuk meminta Fadhil menikahi Nisa. Lidah Imran terasa kelu untuk mengatakan itu.“Saya terkejut, Imran.” Fadhil terlihat berpikir, ia juga terlihat memikirkan ucapan Imran semalam. Pun Fadhil terjaga semalaman dan tidak bisa tidur. “Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan hal segila ini. Dengan me
Imran masih merasakan jantungnya berdetak kencang, padahal sudah satu jam berlalu obrolannya dengan Fadhil. Sebuah keyakinan yang berasal dari mimpi yang membuat Imran dengan yakin memilih Fadhil sebagai penggantinya untuk Nisa.“Kamu harus kuat, Imran!” serunya pada diri sendiri.Masa Iddah Nisa hanya tersisa beberapa hari lagi. Wanita itu masih berharap ada keajaiban dan mukjizat lunaknya hati Imran dan mengajaknya untuk kembali rujuk. Akan tetapi, lelaki itu justru terlihat sebaliknya. Imran malah terlihat lebih kuat dan tegar.Imran manusia bukan, sih?Terlebih saat pulang dari kantor sore ini, Imran pulang dengan menenteng kue cubit kesukaan Nisa dan meletakkan makanan itu di meja makan. Seperti biasa, sepucuk surat kecil ditulis Imran dan meletakkan di atas dus makanan itu.Lagi-lagi, Nisa menerimanya dengan perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena Imran masih memperhatikannya dan mengingat apa yang ia suka, sedih karena ia tidak bisa menikmati makanan itu bersama Imran.
Imran dan mertuanya sudah duduk di sana. Nisa memilih duduk di sebelah Bu Surya. Imran terpesona melihat Nisa yang mengenakan baju yang paling disukainya. Baju itu adalah salah satu yang diberikan darinya saat mereka menikah.“Apa yang kamu ingin bicarakan, Imran?” tanya Bu Surya tak sabar.Imran menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan.“Hari ini masa Iddah Nisa berakhir dan secara agama, kami bukan lagi suami istri.” Kalimat Imran terhenti saat ia merasakan nyeri di dadanya. Pun dengan Nisa, wajahnya tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. Sakit!Bu Surya dan Pak Surya mendengarkan tanpa mencela ucapan Imran.“Imran sudah memikirkan ini dengan baik. Setelah sidang di pengadilan nanti, Imran akan pergi dari rumah ini. Rumah dan mobil, Imran serahkan sepenuhnya untuk Nisa.”Semua orang yang mendengarkan dibuat terkejut, terlebih Nisa yang sudah jauh-jauh hari membereskan pakaiannya ke dalam koper dan bersiap pulang kembali ke rumah pribadinya.“Mas ... apa ndak b
Hari yang dinanti Imran pun tiba. Dirinya sendiri datang ke pengadilan agama tanpa ditemani Pak Surya atau Bu Surya. Kedua orang tuanya enggan untuk sekadar menemani, mereka justru semakin murka atas sikap bodoh Imran. Bahkan tadi sebelum Imran berangkat, wajahnya mendapatkan bogem mentah dari sang Papa dan membuat sudut bibirnya berdarah.Imran hanya bisa terduduk lesu dengan sesekali mengusap pipinya yang masih terasa sakit. Tapi tidak ada seorang pun yang mengerti akan dirinya, jauh di dalam hatinya, Imran pun merasakan sakit dan pedih. Terlebih tidak ada seorang pun yang mendukung keputusannya. Irman benar-benar sendirian.Setelah melalui banyak proses, akhirnya hakim pun mengetuk palu tiga kali.Imran dan Nisa resmi bercerai. Baik secara agama maupun secara hukum.Tubuh Imran nyaris limbung saat mendengar kalimat terakhir sang hakim, terlebih saat telinganya mendengar suara palu yang diketuk. Seolah tusukan anak panah yang menancap di dadanya. Sakit tapi tidak berdarah.Pulang da
Rumah itu memang masih berdiri kokoh, tapi cinta yang menopangnya sudah roboh kala Imran benar-benar meninggalkan rumah itu. Di rumah ini, tertinggal berjuta kenangan manis pernikahan Nisa dan Imran dan kini itu hanya tinggallah masa lalu.Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Meski dengan mata yang sembab, ia melangkahkan kakinya ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar yang pernah ditidurinya bersama Imran.Aroma tubuh lelaki itu masih tertinggal di sana. Bagaimana mungkin bisa secepat itu bisa melupakan, jika cinta yang dibangun masih bertakhta megah dalam hati. Imran pergi meninggalkan sejuta kenangan beserta segumpal sakit dan itu kini bersemayam di hati Nisa.Nisa berjalan mendekati ranjang, tangannya menyentuh sprei yang sedikit berantakan. Di sini ia pernah memadu kasih bersama Imran dan menghabiskan malam-malam panjang bersamanya. Tapi kini semuanya sudah usai, kesendirian yang akan menemaninya mulai saat ini. Perlahan, Nisa merebahkan tubuhnya di kasur, matanya perlahan terpejam
Fadhil dibuat gamang dan nyaris tidak tidur semalaman. Meski hatinya sudah mantap mengambil keputusan, tapi tetap saja deg-degan tidak karuan.Pagi tadi saat dirinya tengah sarapan, Imran menelepon dan menagih jawaban padanya. Dengan segala kekuatan, Fadhil mengatakan akan memberikan jawaban saat jam makan siang. Kali ini Irman yang menentukan lokasi meeting, bukan untuk membicarakan perusahaan, melainkan untuk Merencanakan MerencanakanDada Fadhil berdebar-debar saat kakinya masuk ke dalam restoran. Ia lantas naik ke lantai dua. Imran sepertinya sengaja menyewa ruang VIP restoran tersebut untuk obrolan mereka.Tangan Fadhil meraih daun pintu, lantas membukanya. Di sana Imran sudah duduk dengan dua gelas minuman dingin tersaji. Irman berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan Fadhil.“Sorry, lama, Im. Tadi macet.” Fadhil berdusta. Bukan macet di jalan, melainkan hatinya yang macet, antara datang atau tidak. Ia sendiri pun masih sedikit tahu atas apa jawaban yang akan diberikannya.“N
Ada hati yang hancur berbalut keegoisan. Senyum palsu terus terukir di wajah Imran. Jika dilihat dari sudut pandang orang lain, tentu mereka akan berpikir bahwa Imran bahagia atas perceraian ini. Tapi itu semua hanya manipulasi hati dari seorang Imran. Tangan Imran menggenggam erat ponselnya sesaat pesan untuk Nisa terkirim. Ia berharap Nisa berkenan untuk bertemu dengan lelaki pilihannya. Matanya terus memandangi pemandangan kota dari balkon kamar apartemennya. Semuanya terlihat indah saat senja menjelang.“Andaikan Nisa ada di sini, pasti dia senang melihat pemandangan ini,” gumam Imran dalam hati. Tapi belum sempat kalimat itu terucap dari bibirnya, Imran segera mengucap istighfar. Tidak pantas rasanya membayangkan wanita yang bukan muhrimnya. Nisa tidak lagi halal baginya, haram jika ia memikirkan hal itu.Kacau, Imran masuk ke dalam kamar dan duduk di depan laptop, menyelesaikan pekerjaan yang sedikit tertunda. Ia sudah mengatur jadwal pertemuan nanti dengan Fadhil. Imran juga
Imran turun dari mobil dan berjalan pelan menuju pintu, tapi ia heran karena pintu rumah dalam keadaan terbuka. Irman tetap berdiri di depan pintu, menunggu si empunya rumah keluar. Entah Nisa sengaja membuka pintu, atau jangan-jangan ....Brak ... terdengar suara benda jatuh dari dalam. Imran yang berdiri di luar terkejut. Panik, lelaki itu pun masuk dan mendapati ruang tengah kosong, tapi kamar yang pernah ditempati Nisa dalam keadaan terbuka. Pun dengan ruangan kerjanya yang bersebelahan dengan kamar itu pun terbuka. Seingat Imran, ruangan itu terakhir ditinggal dalam keadaan tertutup. Nisa pun bukan tipe istri pelupa, ia akan memastikan rumahnya dalam keadaan rapi sebelum melakukan hal lain.Saat tengah merias wajah, Nisa mendengar suara gaduh dari kamar bawah. Terkejut bukan main, firasat buruk mengatakan jika ada orang asing yang masuk ke dalam rumahnya. Dengan langkah pelan, Nisa ke luar kamar.Imran berjalan mengendap-endap saat hendak melangkah ke pintu. Di dalam kamar, terde