Fadhil menggandeng tangan sang ibu saat meninggalkan koridor rumah sakit. Sejak tiba di rumah sakit, sang ibu lebih terlihat pendiam dari biasanya. “Kamu kok bisa setenang itu, sih, Fadhil! Ibu nggak paham!” seru Bu Sri kesal saat benar-benar berada di luar gedung rumah sakit.Bu Sri paham bagaimana keadaan hati putra semata wayangnya itu. Fadhil sedang tidak baik-baik saja, terlebih sikap Imran dan orang tuanya. Bu Sri menganggap jika permintaan Imran waktu itu untuk meminta Fadhil menikahi Nisa adalah main-main saja.Kalimat Bu Surya tadi yang menyebut Nisa adalah menantunya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya ngilu jika nantinya Imran membatalkan menjodohkan Nisa dengan Fadhil. Padahal, Bu Sri pun berharap besar bisa menjadikan Nisa menantu di rumahnyaFadhil menyadari kekesalan sang ibu. Lelaki berkacamata itu hanya tersenyum simpul menimpali celoteh ibunya.“Lanjut marahnya nanti di rumah saja, ya, Bu,” ucap Fadhil datar sambil menyalakan mesin mobil.“Kamu, tuh. Selalu
Bu Surya terbangun saat ia mendengar suara Nisa. Tapi Nisa sudah kembali tertidur karena efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang.Mata Bu Surya menatap Imran yang duduk di sisi ranjang dan menatap Nisa dengan tatapan kosong. Lelaki itu terlihat sayu dan tidak bergairah. Jujur saja, sebagai seorang ibu, hatinya pun pilu melihat putra sulungnya terlihat seperti orang sakit. Bimbang. Itu yang dirasakan Bu Surya. Mau menasihati seperti apa pun, jika Imran sendiri enggan bertindak, Bu Surya bisa apa. Ia hanya bisa mendoakan semoga apa yang Allah takdirkan adalah yang terbaik untuk semuanya.Imran mengusap wajahnya kasar, ia bahkan tidak peduli pada sang mama yang melihatnya sedemikian rupa. Wajahnya tertuju lurus pada Nisa. Ia seolah takut kehilangan Nisa dan memang tidak ingin kehilangannya. Imran masih mencintai Nisa, bahkan kadar cinta itu tidak pernah berkurang sedikit pun. Terlebih setelah insiden Nisa menyelamatkan nyawanya, kadar cinta Imran semakin bertambah.Bu Surya kembali
Hati Imran berdenyut nyeri kala mendengar permintaan maaf itu. Imran justru bersyukur, karena adanya insiden itu mata dan hatinya terbuka dan Imran berinisiatif untuk membatalkan perjodohan Nisa dengan Fadhil.Imran diam dan dengan tetap memandangi Nisa. Lidahnya terasa kelu, pun bingung harus menjawab apa.“Mas kok diam? Mas Imran marah sama Nisa, ya?”Imran menggeleng. Ia merasakan matanya panas karena menahan air mata yang terasa ingin keluar.“Mas nggak marah sama Nisa.”“Alhamdulillah. Nisa takut Mas marah sama Nisa.”“Nggak, Nisa.”“Ngomong-ngomong, lelaki yang Mas pilihkan untuk Nisa, dia bagaimana? Apa dia marah karena kita nggak jadi bertemu semalam?”“Nisa nggak usah mikirin itu. Nisa harus fokus sembuh dulu aja.”“Iya, Mas. Tapi, Nisa hanya ingin membahagiakan Mas Imran. Bukankah menikahnya Nisa dengan lelaki lain bisa bikin Mas bahagia?”“Nisa ... Mas janji akan mengabulkan semua keinginan Nisa, sebagai bentuk rasa bersalah Mas selama ini.”“Mas ... Nisa nggak mau apa-apa.
Kondisi Nisa perlahan semakin membaik. Bu Surya benar-benar menjaga Nisa penuh kasih sayang layaknya putri sendiri dan sangat dimanja.Imran tetap tinggal di apartemen miliknya, meski sesekali ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk sekadar menjenguk mereka, atau lebih tepatnya ingin mengobati rasa rindunya pada sang mantan istri. Lelaki itu kerap kali membawakan makanan kesukaan Nisa dan tentu diterima dengan senang hati. Dalam benak Nisa, perhatian seperti ini biasa untuknya. Karena selama ini pun Imran selalu baik dan perhatian padanya. Meski beberapa bulan belakangan ini sikap Imran dingin padanya, tapi Nisa tidak pernah ambil pusing. Di mata Nisa, Imran tetap sosok lelaki yang baik dan penyayang.Tidur di kamar milik Imran, membuat Nisa terkadang harus merasakan kenangan kembali momen manisnya bersama Imran saat mereka masih bersama dan tidur di kasur itu. Tapi bukan Nisa namanya jika tidak kuat. Nisa bertekad harus membahagiakan Imran, satu-satunya lelaki yang ada di d
Hari yang dinanti pun tiba. Pagi ini, Fadhil dan Bu Sri sudah bersiap-siap hendak berangkat ke rumah orang tua Imran. Lelaki berkacamata itu terlihat gugup dan Bu Sri hanya tertawa melihat tingkah putra semata wayangnya itu.“Bismillah, Nak,” ucap Bu Sri pada Fadhil. Lelaki itu pun berulang kali mengembuskan napasnya panjang sambil mulutnya terus mengucapkan kata basmalah. Tanpa membuang waktu, keduanya pun lantas berangkat menuju rumah Imran. Imran sudah berada di rumah sang mama sejak pukul enam pagi. Ah, entah untuk apa Imran pagi-pagi datang ke sana. Pasalnya Imran dilanda insomnia dan datang ke rumah sang mama dengan raut wajah sayu dan mata yang sembab. Bu Surya tentu paham apa yang dirasakan Imran, hanya saja ia tidak banyak bicara.Nisa masih berada di dalam kamar, ia akan keluar jika sang mama memanggilnya nanti. Wanita itu tampak ayu dengan balutan gamis merah muda, senada dengan kulit tubuhnya yang putih mulus.Pukul sepuluh pagi Fadhil dan Bu Sri tiba di kediaman Surya. D
Semuanya sepertinya terkejut dengan Nisa yang langsung bisa mengenali Fadhil, bahkan memanggil nama lelaki itu dengan embel-embel ‘Kakak. Nisa pun menjelaskan jika Fadhil adalah Kakak kelasnya saat Aliyah dulu dan Fadhil pun mengiyakan jika ucapan Nisa adalah benar.“Apa Nisa menerima perjodohan ini?” Kali ini Bu Sri yang bertanya karena sedari tadi dia hanya diam. Semuanya langsung diam, menunggu Nisa membuka suara.Nisa mengucapkan basmalah dalam hati lalu berkata. “Insya Allah Nisa menerimanya.”Bunga-bunga harapan bermekaran di hati Fadhil mendengar ucapan Nisa, sementara di hati Imran tumbuh subur kaktus berduri yang semakin menghunjam hatinya. “Nisa akan pulang ke rumah Tante Widi. Lama-lama di sini pun Nisa nggak enak sama Mama,” ucap Nisa lagi.Widi adalah adik Papa Nisa. Wanita itu bertanggung jawab atas aset mendiang papa Nisa. Widi sengaja tidak diberitahu soal perceraian ini, karena sudah bisa dipastikan wanita itu akan murka pada Imran.“Nggak perlu, Nak. Kamu berkorban
Fadhil melajukan mobilnya dengan tenang, meski debar jantungnya semakin tidak karuan. Pasalnya ia merasakan canggung yang luar biasa saat berada dalam jarak yang begitu dekat dengan Nisa.Nisa pun lebih banyak diam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Nisa pun merasakan apa yang Fadhil rasakan. Hanya bersama Imran Nisa bisa menjadi dirinya sendiri.Merasa bosan dan semakin jenuh, akhirnya Fadhil membuka suara. “Semalam tidur nyenyak, Nis?”Bodoh! Fadhil merutuki dirinya sendiri. Kenapa pula harus bertanya hal itu.“Alhamdulillah, Kak. Kak Fadhil sendiri, nyenyak?” Fadhil hanya menjawab dengan anggukan kepala sebagai jawaban, ya. Padahal tadi malam ada hati terjaga semalaman karena memikirkan Nisa.Cinta dan sifat bodoh itu hanya setipis rambut ternyata. Di balik siap Fadhil yang cool, ternyata ia bisa bersikap orang linglung dan tidak tahu harus berbuat apa.Lagi-lagi keduanya terdiam. Nisa lebih banyak melihat ke arah sisi jalan, sedangkan Fadhil fokus mengemudi. Sesekali Fadhil
Sejak kencan pertama hari itu, cinta Fadhil untuk Nisa semakin besar. Lelaki berkacamata juga semakin takut kehilangan Nisa. Satu-satunya cara agar Nisa tetap berada di sisinya adalah dengan segera menikahinya.Keinginannya untuk melamar Nisa pun Fadhil sampaikan kepada keluarga Surya dan tentu saja niat baik itu disambut dengan baik. Bu Surya pun mengatakan jika tidak baik berlama-lama, toh Keduanya sudah pada kenal pribadi masing-masing.Di antara kebahagiaan yang sedang melingkupi hati Fadhil, ada hati lelaki yang kian hari semakin hancur. Imran merasa semakin tidak ikhlas melepas Nisa untuk Fadhil. Imran ingin Nisa kembali padanya dan menjadi istrinya.Namun, apa itu tidak terlalu egois?Imran bodoh!Imran semakin kalut sendiri di dalam apartemen. Tidak ada orang lain di sana. Hanya ada dirinya sendiri, bahkan orang tuanya pun mendukung penuh keputusan Fadhil yang ingin segera meminang Nisa.Imran kacau, bahkan semakin kacau dan terlihat tidak terurus. Hari lamaran Nisa tinggal me