Pagi harinya, seperti yang sudah diultimatum oleh sang ayah, akad nikah berlangsung mendadak dan privat. Acara hanya dihadiri beberapa keluarga penting saja, tak ketinggalan para tante julid dan omnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Aliesha Zhafira binti Martin Zhafir dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tuunai.”
Lantunan ijab qabul yang diucapkan Noah dengan lancar membuat seisi rumah mengucapkan kalimat ‘sah’ secara bersamaan.
Bak di adegan film, prosesi diiringi oleh rasa haru dan lega, akhirnya Aliesha melepaskan masa lajang.
Aliesha masih belum percaya Noah menikahinya. Apa yang mampu diberikan oleh seseorang yang berprofesi sebagai sopir selain keahliannya menyetir?
Noah... bagaimanapun dia tak lebih dari seorang karyawan yang menggantungkan gaji dari keluarganya setiap bulan.
Jangankan untuk memberikan hidup mewah bagi Aliesha, untuk hidup sehari-hari saja Noah itu menumpang pada keluarganya.
Dia mendiami paviliun kecil di belakang rumah induk Aliesha, makan sehari-hari bersama staff di belakang. Semua dia lakukan untuk menghemat pengeluaran.
Lelaki itu tak punya apa-apa selain tubuh atletis dan wajah tampan saja.
“Aliesha, cium tangan suamimu…” perintah ayahnya saat tahu anak perempuannya hanya mematung.
“A-apa, Ayah?” tanyanya linglung.
“Cium tangan suamimu…” bisik ibu tirinya melanjutkan.
Tangan Aliesha gemetar saat harus mencium tangan Noah. Ini adalah hal yang tak pernah terbayang olehnya. Bagaimana mungkin akhirnya sopir yang lebih muda itu jadi suaminya sekarang?
Tak bisa dihindarkan juga komentar miring dan bisik-bisik beberapa keluarganya yang hadir.
“Huh, mendingan si Eros kemarin. Biar jelek gitu tapi duitnya banyak.” Timpal salah satunya.
“Iya, betul. Daripada pemuda ganteng, tapi hanya seorang sopir pribadi.” Ejek yang lain. “Mau cari yang begini mah… sejuta juga dapat kalau untuk semalam. Cih…”
Iringan tawa kecil akhirnya menjadi bumbu pembicaraan ghibah selepas akad itu.
Mereka rupanya tak berhenti, justru pembicaraan semakin hot. “Eh, diam dulu. Siapa tahu sama yang lebih muda, Aliesha nanti merasa lebih greng di ranjang. Kalau sama Eros… amit-amit. Badannya banyak lipatannya dan pasti berbulu…Hiii…”
“Tapi, apa Aliesha kuat mengimbangi stamina si bule itu? Dengar-dengar mereka ganas lho…”
Aliesha tak menangggapi mereka. Baginya sekarang, mengurusi dirinya lebih penting daripada adu mulut yang nanti tak akan mengubah keadaan.
**
Suasana malam di kamarnya kembali seperti penjara lagi.
Aliesha tak hanya terenggut kebebasannya, tapi juga haknya untuk memilih masa depannya sendiri.
Pintu kamarnya diketuk halus.
“Noah? Masuklah…” tanpa memperhatikan siapa yang sedang mengetuk pintu, Aliesha menyuruhnya masuk.
Dia pikir itu adalah suaminya.
Siapa sangka kalau sosok yang mendekat dengan tubuhnya itu adalah lelaki yang paling dia benci di muka bumi ini.
Lampu ruangan sengaja dia matikan. Pintu juga sudah terkunci dari dalam.
“Kenapa kamu mematikan lampu?” tanya Aliesha. “Kamu tahu kan kalau aku takut gelap? Noah, nyalakan lagi!”
Tak digubrisnya permintaan wanita cantik itu dan kedua tangannya segera menyentuh punggung Aliesha.
“Si-siapa kamu? Noah?”
“Dia tak ada di sini.” Jawabnya datar dengan senyuman penuh arti.
“Eros? Apa yang kamu lakukan di sini!”
"Aku adalah laki-laki yang seharusnya menikmati tubuhmu pada malam pertama."
"Pergi kamu! Atau aku akan berteriak.”
"Hahahaha. Bagiku tak masalah siapa yang menikah denganmu, yang jelas... akulah yang akan mencicipi kemolekan tubuhmu. Hahaahaha!" Tawa itu menggema ke seluruh isi ruangan.
"Toloooong...." jeritan suara Aliesha yang hampir membuat uratnya putus. Tak seorangpun menolong.
"Semua akan percuma saja kamu lakukan. Sini, buka bajumu dan serahkan dirimu padaku. Itu akan membuat semuanya mudah dan sama-sama enak... Hahaha..." Eros semakin mendekat dan bahkan nafasnya sudah terdengar makin jelas di telinga Aliesha.
"Pergi dari sini! Pergi..." suaranya semakin serak namun tetap saja berteriak.
Sekarang dirinya hanya bisa pasrah menjadi korban kemesuman Eros. Tubuhnya yang ringkih mulai tertindih.
Karena tak punya cara lain untuk meloloskan diri, tangan kiri Aliesha memukul tubuh Eros yang penuh tumpukan lemah. Nihil.
Noah, seandainya saja kamu ada di sini…
Doa terakhir dia panjatkan. Sementara Eros terus mencium leher dan tubuh bagian depan Aliesha.
“Hentikan! Hentikan…”
“Hey, kurang ajar kamu!”
Seketika lampu menyala. Dua orang pembantunya mengikuti Noah yang muncul tiba-tiba menarik tubuh Eros.
Aliesha hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Hampir saja harta paling berharganya sebagai seorang wanita terenggut.
“Kamu tidak apa-apa, Nona?” Eros menenangkannya.
Dengan tanpa sengaja dia memeluk tubuh yang ketakutan itu.
“Ssssh… sudah, sudah, ada aku. Tenanglah, Nona. Jangan menangis.” Dia menyeka air mata Aliesha dan mengelus punggungnya.
Meski masih sesenggukan, akhirnya tak berapa lama kemudian dia tenang dan tertidur. Tenaganya sudah habis saat diserang oleh Eros tadi.
Setelah memastikan tubuh Aliesha terbaring sempurna, Noah menerima panggilan dari seseorang yang dia beri nama Ben di kontaknya.
“Iya, halo…” ucap Noah pelan-pelan. Dia memastikan kalau istrinya tak terusik dalam tidur.
“Bagaimana? Sudah kamu lakukan?” tanya sosok bernama Ben itu.
“Aku baru saja akad nikah hari ini. Jelas itu tidak mungkin.” Timpalnya. “Semua orang masih lengkap di rumah ini. Belum lagi tadi Eros gendut itu membuat ulah lagi.”
“Hah, jangan lama-lama. Segera ambil sertifikatnya lalu pastikan kamu letakkan yang palsu.”
“Pasti aku akan melakukannya.” Noah pun berjalan keluar kamar. Semua orang sedang sibuk berpesta di bawah.
Keluarga Aliesha sungguh tega, setelah membuatnya menikah dengan Noah, mereka berhura-hura di bawah tanpa pengantin pria maupun wanita.
“Bagus. Sesuai informasi dari orang yang bis akita percaya, keluarga istrimu itu juga memiliki asset batu bara dan pertambangan… kalau kamu bisa…”
Noah mendengar suara lenguhan wanita yang tak jauh dari tempatnya menelpon.
“Ben, kita sudahi dulu. Aku harus mengecek sesuatu di sini. Nanti aku beri update lagi.” Bisik Noah lalu menutup telpon dan segera menaruhnya di saku celana.
“Uh, uh… uh…”
Suara yang tak asing di telinganya. Suara itu semakin terdengar jelas. Noah mencari asal usul sumbernya dan tak dia sangka, dia menemukan sesuatu yang di luar dugaan.
Sepasang manusia sedang beradu di atas sofa ruang kerja. Pintu yang sedikit terbuka memudahkannya untuk mengabadikan momen itu dengan ponselnya.
“Eros! Ah… ahhh…”
Suara wanita itu semakin menjadi-jadi. Sementara tubuh tambun yang berada di atasnya, terus menggerak-gerakkan tubuhnya.
“Ini hukuman kamu karena anak tirimu tidak jadi memuaskanku! Terima ini…”
Noah tak menyiakan momen itu dan terus mengamati keduanya meski dia merasa jijik dan ingin muntah seketika.
“E-ros… E… ros… Aku... puas!” wanita itu tergolek di atas sofa dan disusul oleh Eros yang berbaring di bawah sofanya.
“Kena kalian!” ucap Noah setelah mengambil gambar yang akhirnya memperlihatkan wajah jelas kedua makhluk itu.
Beberapa tahun kemudian..."Aku sungguh bangga kepadamu!" Kakek menepuk pundak cucu kebanggaannya yang telah berhasil membuat perusahaannya menjadi semakin besar dan sukses hingga ke kancah internasional."Terima kasih, Kakek. Ini semua tak lepas dari bantuan Kakek serta Ricky juga." Ucap Noah sambil menepuk bahu sepupunya.Keduanya memang diberikan mandat untuk memegang perusahaan milik McLaren yang tak main-main asetnya kini."Sama-sama..." Ricky nampak tersenyum dan rupanya di sebelahnya sudah ada seorang wanita cantik bertubuh seksi yang menggamit lengannya."Apalagi sejak ada Cassandra, kamu semakin bersemangat bekerja, Ricky. Tidak sia-sia perjuanganku menjodohkanmu dengan dia..." Kakeknya tertawa."Kakek, terima kasih sudah memperkenalkan saya pada Ricky. Dia adalah lelaki terbaik dan sempurna yang pernah saya ketahui..." Cassandra mengucapkannya dengan tulus.Sedangkan Noah masiih nampak diam tak bereaksi saat orang di sekelilingnya menikmati perbicangan. Sudah hampir tiga tah
Masih dengan mulut yang terkunci rapat, Tuan Martin tak bisa merespon."Apa katamu?" Itu saja kalimat yang bisa dia katakan saat tahu Noah meminta maaf padanya.Dosanya terlalu banyak, dia harus memastikan Noah meminta maaf dalam hal apa dulu ini."Iya, saya minta maaf telah menuduh Om Martin sebagai penyebab Ben celaka dalam kematiannya itu. Saya mewakili keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya..." Kata Noah sambil menundukkan kepala.Tuan Martin mengamati pemuda itu. Tak ada unsur yang dibuat-buat apa lagi pura-pura. Dia terlihat sangat serius dan tidak main-main.Ini di luar ekspektasinya, jelas tak mungkin seorang searogan dan sesombong Noah mau merendahkan diri untuk meminta maaf."Aku sudah tak bisa percaya apapun yang keluar dari mulutmu, McLaren!" Bentak Tuan Martin.Anehnya, Noah tak bereaksi frontal meski Tuan Martin sudah memancing amarahnya dan bahkan menghina perilakunya saat meminta maaf begitu."Apa yang harus aku lakukan sehingga Om Martin mempercayaiku?" Noah namp
Noah mendengarkan apa yang dijelaskan oleh pihak kepolisian dengan seksama. Rasanya seperti tak percaya saja dengan apa yang mereka jelaskan.Betapa dia selama ini telah merasa bersalah karena meminjam mobil sepupunya itu sementara mobilnya dikenakan oleh Ben."Tidak ada hal yang mencurigakan selain memang proses perbaikan yang belum selesai." Kata polisi itu mengulangi penjelasannya."Lalu, apa sepupu saya tahu soal mobil yang belum selesai itu?" Noah masih penasaran. "Kata pihak bengkel mobil yang menjalankan pembenahan terhadap mobil itu, korban sudah diberi tahu soal pekerjaan yang belum selesai tapi tetap saja katanya ingin dipakai secepatnya dan dia tak bisa menunggu lebih lama lagi." Jawab polisi itu.Tuan Martin dan Noah saling berpandangan karena merasa saling tuduh satu sama lain. Mertua Ben itu masih mengira kalau Noah sengaja menjebak Ben dengan membiarkan mobil yang masih setengah selesai dikerjakan itu agar dikemudikan oleh menantunya.Padahal jelas-jelas hal itu memba
"Noah, apa yang terjadi?" Aliesha bertanya sambil merangkul sosok di depannya itu.Tangannya gemetar karena membayangkan hal yang tak diinginkan."Cepat jaga Nona Aliesha!" Noah mendengar suara beberapa orang yang berlarian di lantai dua namun dia belum berani membuka pintu."Nona Aliesha, ini kami. Jangan keluar dulu karena di luar masih berbahaya." Rupanya itu adalah pengawal ayahnya."Apa yang terjadi?" Noah bertanya dari balik pintu namun masih menjaga jarak agar tak langsung berada di depan pintu. Khawatir kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."Orang yang dulu disuruh menembak mobilmu, Noah, dia membalas akan menembak Tuan Martin. Tapi beruntunglah tembakan itu meleset dan dia sudah ditembak di tempat oleh pengawal lain..." Jelasnya."Saat kami berdua naik ke atas tadi, dia memang akan melarikan diri ke sini, jadi kami berinisiatif untuk mengamankan Nona Aliesha..." Jawab yang lain."Baik, terima kasih. Kami baik-baik saja. Tolong jaga kami selagi... kami masih di dalam
"Kesalah pahaman bagaimana?" Noah mulai terlihat menegang. Dia tak yakin akan siap dengan apa yang akan dia dengar nanti."Saat itu seingatku memang Tuan Martin sudah mengincarmu..." Bi Lastri masih menunggu reaksi Noah.Jika dia rasa nanti Noah akan bereaksi hiper, maka Bi Lastri akan berhenti bercerita."Mengincar?" Noah bertanya namun terlihat kalau dia masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya."Setidaknya itu yang bisa aku ceritakan padamu sekarang..." Bi Lastri masih belum mau menceritakan lebih lanjut.Sepertinya memang ada hal yang masih dia tutup-tutupi. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya."Kumohon ceritakan saja sekarang, Bi. Aku tidak yakin apakah setelah ini kita memiliki waktu atau tidak untuk bertemu." Noah sengaaj menakuti Bi Lastri agar dia memang membuka semua yang ia tahu saat ini juga."Apa maksudmu? Apa setelah ini kamu mau pergi dari sini?" Bi Lastri tentu terkejut."Iya..."Langit yang tadi gelap kini sudah berubah lebih mencekam karena badai yang dira
Noah berjalan keluar dari kamar Aliesha.Pikirannya masih kalut dan berkabut. Antara diri dan nafsunya saling bertarung. Tak seharusnya di saat-saat berkabung begini dia mencari-cari kesempatan untuk mendekati adik iparnya itu."Noah, kamu belum tidur rupanya..." Bi Lastri tampak kaget ketika keluar dari kamar Tuan Martin dan bertemu dengan Noah yang juga baru saja keluar dari kamar Aliesha."Aku? Aku tidak mungkin tidur jam segini. Lagipula Aliesha sudah tertidur jadi aku pikir lebih baik aku keluar dan... sebenarnya aku ingin bicara denganmu!" Kata Noah.Bi Lastri langsung meletakkan telunjuknya di antara dua bibirnya."Sebaiknya jangan di sini. Ayo, kita turun ke bawah saja!"Bi Lastri mengajaknya untuk segera mencari tempat yang lebih privat untuk bicara. Noah tentu saja menurut dan mengikutinya.Setelah mereka sampai di pavilion bawah, Bi Lastri memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka.Lalu dia membuka dan masuk ke dalamnya."Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu!" Bi