Share

Suami Dadakanku CEO Tampan
Suami Dadakanku CEO Tampan
Author: Kayinkayinn

Mawar Putih

“Apa? Dijodohkan? Harum beneran dijodohin?" teriak Harum yang begitu terkejut ketika kedua orang tuanya menjelaskan, dan menceritakan tentang perjodohannya secara tiba-tiba, dengan salah satu pria yang menjadi anak dari sahabat baik kedua orang tuanya.

“Iya. Rum. Sejak kamu masih kecil, sebenarnya kamu sudah dijodohkan dengan anak dari Tante Sinta juga Om Rama,” tutur sang ibu menjawab pertanyaan anaknya, dan mulai berharap-harap cemas menunggu pernyataan anak gadisnya.

“Tapi, Mih. Mamih kan tahu sendiri kalau Harum punya pacar. Terus, kalau Harum dijodohin, gimana nasib hubungan Harum sama Haris?” katanya kembali yang merasa keberatan dengan keputusan sepihak kedua orang tuanya. Apalagi, berita ini datang begitu tiba-tiba.

“Kamu harus secepatnya putuskan Haris, Rum. Sebelum kamu menyakiti Haris lebih jauh lagi. Kamu ngobrollah dulu sama Haris pelan-pelan, supaya dia mengerti. Kalau perlu, biar papih bantu kamu ngobrol sama Haris. Karena bagaimanapun perjodohan ini sudah ada, bahkan sebelum kamu lahir,” ujar sang ayah yang kali ini membuat Harum semakin kecewa dengan keputusan sepihak ayahnya. Namun, ia juga sangat mengapresiasi niat baik ayahnya yang ingin membantunya berbicara dengan Haris, tentang masalah perjodohan ini.

“Pih, papih kan tahu sendiri Haris kaya gimana. Dia pria yang baik dan juga sopan. Kita juga udah pacaran dari awal kuliah, Pih. Sudah hampir 3 tahun, loh. Ini jaman modern, udah nggak jaman jodoh-jodohan. Harum punya pilihan dan keputusan sendiri. Lagian, Harum masih 21 tahun, belum kepikiran sampai harus nikah muda seperti ini. Mana sebentar lagi Harum juga mau nyusun skripsi pula. Harum masih mau wisuda, Pih. Masih ingin ngerasain susahnya cari kerja dan mewujudkan semua impian Harum yang tertunda!” serunya dengan nada tinggi dan terlihat benar-benar kesal dengan keputusan sepihak kedua orang tuanya.

Sang ibu mendekati anaknya dan menggenggam kedua tangan anak semata wayangnya itu dengan lembut untuk menenangkannya, agar tidak terlalu berapi-api.

“Selama 21 tahun terakhir ini, semua keinginan Harum selalu mamih dan papih kabulkan kan, Rum? Kali ini, mamih sama papih cuma ingin Harum mengabulkan satu keinginan kami berdua. Ini keinginan terakhir kami sebagai orang tua kamu, Nak. Mamih mohon ya, Sayang."

Pandangan mata sang ibu terlihat seperti memohon dengan sangat kepada anaknya itu agar ia mau mewujudkan keinginan kedua orang tuanya. Melihat pandangan mata sayu ibunya yang penuh pengharapan, Harum pun jadi tak tega.

Selama ini, mereka selalu mengabulkan apapun permintaan darinya. Apa kali ini, Harum sebagai anak harus membalas kebaikan mereka selama 21 tahun terakhir ini? Walau Harum sendiri tahu, sebenarnya kedua orang tuanya itu begitu tulus memberikan apapun yang ia minta sebagai anak kepada kedua orang tuanya.

“Baiklah, kalau memang sudah seperti itu keadaannya. Harum menyetujui perjodohan ini,” katanya terlihat pasrah sehingga membuat ayahnya tersenyum sumeringah, dan membuat ibunya langsung memeluk anak gadisnya begitu erat.

“Terima kasih, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah mau mengerti dan berpikir dewasa. Kalau gitu, malam ini kamu dandan yang cantik, yah? Tante Sinta, Om Rama dan anaknya akan berkunjung ke rumah kita.”

“Hah? Secepat itu, Mih? Ko, dadakan banget?” seru Harum kembali terkejut.

Sang ibu kembali tersenyum tipis. Ia membelai rambut anaknya dengan lembut, kemudian merangkulnya.

“Sebenarnya nggak dadakan juga, Rum. Mamih sama papih aja yang lupa ngobrol sama kamu tentang masalah ini.”

“Yang di katakan mamihmu bener, Rum. Kita yang lupa membicarakan masalah perjodohan ini sama kamu. Habisnya, kamu sibuk terus sih di kampus. Jadi, kita jarang banget ketemu di rumah. Maaffin papih, yah, Nak?” tutur ayah Harum yang ikut merangkul anaknya, kemudian kembali menenangkan anaknya sebelum ia kembali kesal.

Harum menghela napas pendek. Orang tuanya memang luar biasa sekali. Masalah sepenting ini pun di bicarakan secara mendadak. Karena sudah tidak bisa menolak dan mundur ke belakang lagi, Harum pun langsung menuju kamarnya untuk bersiap-siap bertemu dengan calon suaminya.

3 jam berlalu dengan begitu cepat. Setelah selesai mandi, berpakaian rapih, dan merias diri, Harum memandangi wajahnya begitu lama di depan cermin dengan ekspresi wajah yang terlihat lelah.

“Kalau gue nikah, hubungan gue sama Haris bakalan gimana, yah? Haris pasti bakalan marah terus kecewa banget sama gue karena nggak bisa memperjuangkan hubungan kita. Ahh, kenapa sih gue mesti di jodohin segala!” teriaknya kesal.

"Harum, sini turun! Tante Sinta sama Om Rama sudah datang, nih!" teriak ayahanda Harum dari lantai bawah.

“Iya, bentar, Pih!” sahut Harum setengah berteriak.

Harum pun langsung terburu-buru merapihkan kembali pakaiannya dan rambutnya di depan cermin. Tak lupa, ia juga menyemprotkan parfume favoritnya di leher dan di pergelangan tangannya. Setelah merasa cukup puas dengan penampilannya dan tersenyum kecil di depan cermin, Harum langsung bergegas turun ke bawah.

Sambil menuruni anak tangga,Harum terlihat begitu gugup dan juga panik. Ia juga sempat melirik ke arah seorang pria berkacamata yang wajahnya belum terlihat begitu jelas oleh kedua bola matanya, karena tertutupi oleh pundak ayahnya.

Apa itu calon suami gue? Batin Harum gugup.

“Rum, kenalin, ini sahabat papih sama mamih. Tante Sinta dan Om Rama,” ujar sang ayah memperkenalkan calon besannya.

"Harum, Tante, Om," tutur Harum memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah, seraya membungkukkan kepalanya sebagai tanda menghormati orang yang lebih tua.

“Sudah jadi anak abg ya Harum sekarang. Dulu, waktu pertama kali ketemu itu, Harum masih kecil banget. Sekarang, malah jadi cantik begini. Iya kan, Pah?” tutur Tante Sinta sambil menggenggam kedua tangan Harum dan memandanginya dengan takjub, seraya meminta persetujuan suaminya tentang paras Harum yang semakin cantik.

“Iya, calon menantu kita cantik, Mah. Beruntung sekali kita bisa memiliki calon menantu seperti Harum. De, sini kenalan sama calon istrimu.”

Begitu anaknya dipanggil, sosok pria berkacamata, tubuh yang tinggi tegap, dada yang bidang juga terlihat tampan itu, muncul di hadapan Harum dengan membawa sebuket bunga Mawar putih.

“Hai, Harum. Saya Dewa, masih inget saya nggak?” katanya sambil mengulurkan tangannya dengan intonasi nada yang terdengar kaku.

“Harum. Maaf Kak, memangnya kita pernah ketemu, yah? Ko, aku nggak inget?” katanya bingung seraya membalas uluran tangan Dewa.

“Pernah. Waktu itu kamu memang masih kecil. Jadi, kamu pasti lupa sama saya. Dulu, kita pernah main bareng, loh," katanya bercerita mengenang masa lalu.

Harum masih terlihat bingung. Sepertinya, ia memang tidak mengingat sama sekali pertemuan pertamanya dengan Dewa di masa lalu.

“Jelas Harum lupa. Dulu, waktu kalian ketemu itu umur Harum masih 6 tahun. Saat itu, Dewa usianya sudah 18 tahun kalau nggak salah. Iya nggak sih, Ram?” tanya ayahanda Harum yang sedikit lupa.

“Iya. Mereka kan terpaut 12 tahun, Gal," jawab ayah Dewa seraya tertawa kecil.

Begitu mendengar perbedaan usianya dengan calon suaminya yang berselisih 12 tahun, Harum kembali terkejut.

Mampus! Gue bakalan nikah sama om-om? Untung aja dia cakep nggak kelihatan tuanya. Batin Harum yang terlihat sangat terkejut itu.

“Buat kamu,” tutur Dewa sambil memberikan sebuket bunga Mawar putih kepada Harum.

“Makasih, Kak,” katanya sambil tersenyum kecil sambil menerima sebuket bunga Mawar putih pemberian dari Dewa.

Begitu sesi perkenalan selesai, kedua orang tua Harum mengajak keluarga Dewa untuk makan malam bersama dengan hidangan luar biasa, spesial buatan ibunda Harum untuk calon besannya.

Melihat keakraban kedua orang tuanya dengan kedua orang tua Dewa yang sepertinya sudah lama tidak bertemu, Harum terlihat begitu gugup. Namun, ia juga sangat senang karena bisa melihat kedua orang tuanya tertawa bahagia.

Harum melirik ke arah Dewa yang sedang makan. Ia melihat Dewa adalah sosok pria dewasa, maskulin dan sepertinya masa depannya pun cerah.

Mendengar cerita kalau Dewa adalah seorang CEO muda yang telah sukses merintis dari nol dan menjalankan perusahannya sendiri yang sudah cukup terkenal di Indonesia, membuat Harum merasa semakin kecil di hadapannya. Karena ia sendiri merasa masa depannya masih belum terlihat jelas. Ia saja masih kuliah dan belum bisa menghasilkan uang sendiri, walaupun kedua orang tuanya cukup kaya dan memberikan apapun yang ia minta.

“Rum," panggil Dewa pelan.

“Iya, Kak?” sahut Harum terlihat gugup.

“Makasih ya, sudah menerima keluarga saya dengan baik.”

“Iya, sama-sama, Kak,” katanya terdengar malu-malu.

“Saya tahu kamu akan terkejut mendengar perbedaan usia kita yang sangat jauh. Tapi, saya akan berusaha keras untuk menyesuaikan diri saat bersama kamu. Semoga, kita bisa menjadi pasangan yang serasi.”

Harum hanya bisa tersenyum tipis. Ia melihat pria ini sedikit kaku. Tapi, Harum berpikir kalau Dewa adalah sosok pria yang baik dan juga sopan. Apakah keputusannya sudah tepat untuk menikahi pria kaku seperti ini?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Riri Rimausa
Duh, bayangin ada diposisi Harum jadi ikutan grogi Thor. ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status