Kegagalan pernikahan beberapa bulan lalu kini membuatku benar-benar tak percaya dengan laki-laki manapun. Katanya, cinta adalah perjuangan, tetapi nyatanya dari sekian banyaknya laki-laki yang mengatakan ingin bersamaku, mereka pada akhirnya tak ingin memperjuangkan diriku hingga akhir.
“Mau kemana, Nduk?” tanya Bik Sri. Kebetulan kami berpapasan di jalan, aku hendak mengantar teh dingin untuk ayah yang sedang matun di sawah.Sejak perkelahian kami malam itu, jika kami bertemu, Bik Sri pasti akan menghindar. Daripada menyapaku, dia lebih memilih memutar badan, terlebih setelah pernikahan Bang Roy dan Ranti, tiga bulan kemudian Ranti melahirkan, menambah sayatan luka di dadaku, sudah kupastikan mereka tak hanya melakukannya sekali. Entah sejak kapan mereka menikungku diam-diam. Namun, siang ini Bik Sri terlihat ingin sekali menyapaku.Aku mengangkat sedikit capil yang bertengger di kepala. “Ngantar teh untuk Bapak,” jawabku sekenanya.“Bibik mau nganter ini, kebetulan tadi buat banyak, nitip aja Nduk.” Bik Sri menyerahkan kantong kresek entah berisi apa, sepertinya makanan.Aku mengangguk dan meraih kantong kresek tersebut, kemudian berlalu meninggalkannya. Meski terlihat ia ingin sekali berbincang denganku, tetapi aku tak acuh dan kembali melanjutkan langkah menuju ladang sawah yang digarap bapak.Terlihat bahu tua bapak yang sedang mencabut rumput di sela tanaman padi. Meski terik matahari membakar kulit hitamnya, ia tetap terus bekerja. Peluh membasahi sekujur tubuhnya, sesekali berhenti mengusap tetesan peluh yang ada di wajahnya. Wajah tua yang terlihat memikul beban memikirkan anak semata wayangnya ini. Aku tahu, dalam hati bapak tak kuasa menahan pedih melihat aku yang sekarang menjadi bahan gunjingan warga kampung.I bu pun kini menjadi sering sakit-sakitan, tekanan darahnya naik turun.Aku sempat berpikir ingin merantau ke kota lagi, selain mencari ketenangan, siapa tahu juga bisa membantu perekonomian. Tetapi, bapak melarang, aku sudah cukup umur dan hanya tinggal menunggu lamaran, katanya. Namun, siapa lagi yang mau denganku? Mereka sudah tak menginginkanku bukan karena aku tak cantik atau mapan sebagai seorang istri, tapi aku ini perawan tua yang berulang kali gagal nikah. Menyedihkan."Pak!" teriakku lantang memanggil Bapak dari gazebo di tepi sawah, melambaikan tanganku agar Bapak segera beristirahat.Manikku mengarah ke seorang laki-laki yang tak berhenti membantu bapak mencabut rumput di sela tanaman padi. Dia adalah lelaki yang dibawa bapak pulang beberapa hari setelah gagalnya pernikahanku dengan Bang Roy. Kami tak mengenal lelaki yang bapak beri nama Danu itu.Sehari setelah acara pernikahan gagal, bapak memutuskan pergi ke rumah Pakde Ratno, kakak tertua bapak. Berniat mengembalikan uangnya yang sempat bapak pinjam. Namun, dua hari kemudian, Bapak pulang membawa lelaki yang tak tahu namanya sendiri, dan hanya bisa diam melamun layaknya orang bodoh.Setiap ditanya namanya ia selalu menggeleng tak tahu, alhasil bapak memanggilnya Danu.Danu tinggal di rumah sebelah, rumah lama bapak yang tak lagi kami huni. Kata bapak, dia bertemu dengan lelaki itu di pinggir jalan dekat tebing, wajahnya penuh luka, sepertinya terlibat kecelakaan. Bapak membawanya ke klinik dan menginap semalam disana, karena tak tahu alamatnya, akhirnya bapak membawa Danu pulang.Tiga bulan tinggal di rumah, sudah banyak perubahan. Semula pria itu hanya berdiam dan murung, tetapi bapak selalu mengajaknya berbicara. Tak hanya itu, bapak pun mengajarkan cara berkebun. Wajahnya terlihat sedikit lebih ceria, dia bahkan sering membantuku mencuci pakaian di sungai. Meski aku menolak, tetapi Danu tetap keukeuh membantu. Kami tak banyak bicara, hanya sepatah kata jika ada yang perlu disampaikan. Danu lebih sering mengobrol dan bercanda dengan bapak dan ibu.“Tehnya Pak.” Kulambaikan tangan kepada Bapak. Ia segera menghampiriku setelah memanggil Danu.“Ini apa?” tanya bapak mengambil bingkisan dari Bik Sri.“Bik Sri yang ngasih,” jawabku enteng.Bik Sri memang terlihat begitu menyesal, terlebih ia tahu semenjak kelakuan hina anaknya dan mantan calon suamiku, ibu jadi sakit-sakitan. Bik Sri sangat ingin memperbaiki hubungan dengan ibu, tetapi apalah daya, kaca yang pecah tak mungkin akan kembali utuh tanpa meninggalkan retakan.“Makan Nu.” Bapak menyerahkan bingkisan kepada Danu, ia pun terlihat enggan menyentuh makanan itu.“Loh, Bapak gak mau?” tanya Danu, secepat kilat pemuda itu meraih kantong kresek berwarna hitam itu, lalu membuka isinya, ternyata getuk lindri, makanan kesukaan ibu. Aku memang tak berniat membawanya pulang, jika ibu tahu itu dari Bik Sri, bukannya senang justru akan membuat tekanan darah ibu naik.“Wis, makan aja.” Bapak tersenyum melihat Danu melahap getuk dari Bik Sri.Sejenak kami terdiam dengan pikiran masing-masih, bapak terus menatap Danu yang masih lahap menghabiskan getuk lindri di sampingnya, sementara aku merasakan segarnya angin berhembus sedikit kencang menggoyang anak rambutku. Hamparan padi hijau menyegarkan pandangan mata. Dunia ini indah, tetapi terkadang takdir tak seindah pandangan orang lain.“Nu, kamu mau gak nikah sama anak bapak?” cetus bapak yang membuatku terkejut begitupun Danu. Hampir saja getuk yang ada di mulutnya terlempar keluar karena tersedak.Apa yang bapak pikirkan? Bagaimana bisa meminta lelaki yang dia sendiri tak tahu asal usulnya untuk menikahiku?Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga
“kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung
….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “