Maya memasuki kamarnya dengan berlari usai pulang dari sekolah. Hari ini ia pulang cukup terlambat membuat ia sangat terburu-buru mengganti pakaiannya. Biasanya dia akan sampai rumah pada pukul sepuluh pagi, namun sopir yang biasa menjemputnya sedang tidak masuk karena pulang kampung sehingga dirinya harus menunggu maminya datang untuk menjemputnya. Maminya yang bekerja terlambat datang karena menemui tamu dadakannya ditambah saat perjalanan pulang jalan arah menuju rumahnya malah terkena macet. Jadilah Maya sampai di rumah ketika jarum jam dinding menunjukan waktu pukul satu siang. Setelah berganti seragam sekolahnya ke pakaian rumah, ia meraih salah satu bukunya. Buku tersebut sedikit menyumbul karena ada sesuatu terselip di dalamnya. Terdapat lipatan selembar kertas dengan tulisan acaknya serta dua buah tanda tangan di bawahnya. Bibirnya tersenyum sumringah kala melihat namanya bersanding dengan nama laki-laki yang disukainya. Suara kekehan terdengar keluar dari mulutnya. Usai puas memandang kertas tersebut ia kembali menyimpannya ke dalam bukunya.
Maya menuruni tangga dengan hati-hati. Biasanya sepulang sekolah ia langsung makan siang, tapi karena dirinya pulang terlambat perutnya yang sudah lapar bergerumuh meminta diisi. Namun, Maya memilih untuk tidak makan. Dia segera keluar dari rumah usai berpamitan dengan asisten rumah tangga keluarganya. Dengan langkah ringan kakinya berjalan menuju sebuah rumah biru yang berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya. Sesampainya di sana Maya heran dengan keadaan rumah yang terlihat sepi itu. Biasanya jika sudah siang begini tetangga laki-laki itu sudah pulang dari sekolah. Dan juga ada wanita yang merupakan ibu dari anak lelaki itu selalu di rumah karena tidak bekerja. Tetapi, Maya heran melihat rumah biru tersebut sangat sepi seperti tidak ada penghuninya. Maya mencoba membuka pintu pagar, namun sayangnya terkunci.“Mas Yan!” teriaknya memanggil. “Tante Mel!” Maya merengut sedih kala tak mendapatkan jawaban. Ia kembali berteriak hingga suaranya serak. Maya terdiam menatap rumah tersebut. Wajahnya yang telah memerah dan basah oleh keringat karena panasnya matahari. Kedua bola matanya mulai berair.“Lhoh Non Maya?”Maya menoleh pada suara yang memanggilnya. “Bik Rina!” Wajah Maya terlihat cerah kala melihat orang yang dikenalnya. Wanita paruh baya di depannya ini adalah asisten rumah tangga dari tetangga pemilik rumah biru tersebut.“Non Maya ngapain di sini?” tanya Rina pada Maya. Ia sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu.“Kok rumah sepi? Mas Yan kemana?” Maya heran dengan kemana perginya orang-orang di rumah itu.“Lhoh Non Maya nggak tahu toh? Kan udah pindah, barusan tadi mobilnya udah pergi.”“Pindah?” Maya terkejut mendengar jawaban dari Bik Rina.“Iya, pindah rumah orangtuanya Ibu Melia. Non Maya tadi nggak ke sini ya? Padahal biasanya abis pulang sekolah selalu ke sini, udah ditungguin Ibu sama Den Ian lhoh.”“Perginya jauh?” Suara Maya bergetar memikirkan pemilik rumah biru yang telah pindah.Rina mengangguk. “Iya, jauh. Tadinya Bik Rina mau diajakin, tapi nggak mau karena jauh kasian orang rumah kalau nggak ada yang urus.” Rina adalah janda yang memiliki dua anak yang mana sulung seumuran dengan anak majikannya dan si bungsu seumuran Maya. Dia tiap minggu selalu pulang ke rumahnya yang jaraknya satu jam dari tempat kerjanya. Ketika majikannya pindah dan ingin mengajaknya ia menolak meski gaji yang didapatnya ditambah lebih banyak. Jaraknya yang lebih jauh karena pindah kota membuat ia tak bisa meninggalkan kedua anaknya di rumah. Rina tadi baru saja sudah sampai di rumah, tapi lupa kalau kunci cadangan rumah majikannya masih terbawa olehnya sehingga ia memutuskan kembali. Tadi dirinya sudah menelpon majikannya untuk menginformasikan mengenai hal itu dan ia diminta menitipkan kuncinya ke ketua rumah tangga perumahan tersebut.Namun, dalam perjalanannya ia menemukan sosok Maya yang berdiri di depan rumah majikannya. Ia pun menghampirinya. Maya adalah anak tunggal yang mana kedua orangtuanya sama-sama bekerja. Dia sering sekali datang ke sini untuk bermain. Makanya, ia tadi heran tak melihat kedatangan Maya saat majikannya sedang bersiap untuk pergi.“Terus nanti aku nggak bisa ketemu Mas Yan lagi?” Seketika tangis Maya pecah membuat Rina panik.Rina tahu jika Maya saat ini kaget dengan informasi yang baru didengarnya tadi. Sepertinya anak majikannya ini lupa memberitahukan mengenai kepindahannya. Gadis kecil yang selalu bermain ke sini ini merasa kehilangan dengan kepergian teman bermainnya. Rina memeluk Maya untuk menenangkannya.*****“Dita, ngemol yuk!” Seorang gadis berambut hitam bergelombang tanpa mengenakan aksesoris apapun. Salah satu tangannya memeluk beberapa buah buku. Ia mengenakan midi skirt motif bunga dengan atasan kaos dan outer rajut yang membungkus tubuh rampingnya. Gadis itu berdiri di samping sahabatnya mengajaknya pergi main setelah kelas hari ini selesai.“Oke, lu yang nyupirin ya,” jawab seorang gadis berambut sebahu itu. Usai membereskan barang bawaannya ia segera melangkah pergi bersama sahabatnya menuju parkiran mobil.Dua orang gadis itu berjalan beriringan. Terlihat kontras dengan penampilan mereka berdua. Yang satu terlihat feminim bahkan sesekali ia melambai pada orang-orang yang mengenalnya. Sedangkan yang satunya terlihat cuek.“Mau kemana May?” Seorang mahasiswa mendekati mereka berdua. Maya yang mengenakan style feminim terlihat manis sehingga beberapa mahasiswa meliriknya.“Mau maen berdua sama Dita. Duluan, ya!” Maya menggandeng Dita dan segera berjalan cepat membuat mahasiswa tadi kecewa. Sudah hal biasa Maya bersikap seperti itu. Meski ia terkesan ramah pada siapapun, dirinya selalu menggambar garis batas dengan mereka. Rasanya seolah Maya sulit untuk disentuh meski berjarak dekat sekalipun.“Nih!” Dita melempar kunci mobil pada Maya yang membuat gadis itu merenggangkan tangannya yang bebas untuk menangkapnya. Namun, sayangnya ia gagal. Tangannya melayang di udara bersamaan dengan wajahnya yang masam membuat Dita tertawa kencang.“Jahil banget sih, Dit!” protes Maya sembari mengambil kunci yang tak jauh dari kakinya.Kedua gadis itu masuk ke dalam mobil. Maya yang sudah siap di kursi sopir membawa mobil Dita dengan mulus membelah jalanan. Suara musik menggema menemani perjalanan mereka.“Tumben ngajaki ke mall, biasanya juga susah banget diajakin,” ucap Dita yang merasa heran dengan sahabatnya itu.Maya dan Dita itu saling berlawanan. Mereka berdua banyak membuat orang salah paham. Dari luar Dita tampak cuek dan pendiam padahal aslinya kalau berada dengan orang terdekat terlihat jika gadis berambut pendek itu mudah berbaur. Dibandingkan dengan sosok Maya yang tampak seperti cewek humble padahal sebenarnya dia ini anak yang cukup pemalu. Hanya saja karena pembawaan Maya yang pintar ia mudah menutupi kekurangannya itu. Dia ini tipe orang yang malas bertemu dengan banyak orang. Pergi ke luar pun bisa dibilang sangat jarang, makanya Dita heran dengan ajakan sahabatnya itu.Dita melirik pada Maya yang masih diam, tapi ia bisa melihat kegugupan di wajah gadis itu. “Lo lagi nggak aneh-aneh kan?” Tatapan Dita lurus pada wajah Maya yang membuatnya semakin gelisah. “May, jangan bil—”“Sorry Dit. Tapi, please temenin yahh,” pinta Maya dengan wajah memelas. Ia menatap pada wajah Dita yang sudah menunjukan kekesalan pada dirinya. Maya tahu bahwa ia sedang mencari masalah untuk dirinya sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi. Ini semua gara-gara aplikasi kencan itu!Helaan napas lelah keluar dari mulut Dita. Ia hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan sikap sahabatnya ini. Maya mudah sekali terhasut oleh ajakan orang-orang membuat dirinya takut jika sahabatnya ini nanti tanpa sadar jatuh ke dalam lingkaran yang tidak baik. “Aku nggak mau ya kalo satu meja kayak kemaren. Nggak ada alasan malu atau apapun, harusnya lo tau konsekuensi mengiyakan seseorang. Biar lo berani untuk bertanggungjawab,” sahut Dita yang membuat Maya bungkam tak dapat membalas. Maya hanya bisa pasrah tidak bisa membantah perkataan temannya. Ia sadar jika Dita sudah kesal dengannya begitu juga pula dia pada dirinya sendiri. Maya menyalahkan dirinya yang suka gampang terjatuh oleh ajakan orang-orang. Berawal dari teman-teman sekitarnya yang sedang membicarakan topik aplikasi kencan hingga ada beberapa yang berhasil mendapatkan pasangan membuat dia jadi penasaran dan ingin mencoba. Maka dari itulah, ia memasang aplikasi ters
“Ayo kita pulang!” ajak Adip pada pacarnya. Pria itu bergegas mengambil barang bawaannya dan menggandeng tangan kekasihnya. Namun, baru saja Adip ingin melangkah suara seseorang menahannya. “Mau kabur ke mana?” Seorang pria dengan kaos polos berwarna putih dan bawahan celana berwarna beige melangkah mendekat. Ia berdiri di depan Maya menutupi gadis itu. “Anda siapa?” tanya Adip. “Saya kakaknya. Dari tadi saya mengawasi kalian berdua di sana, baru saja pergi sebentar sudah seperti ini.” Pria itu menoleh menatap pada pacar Adip. “Dia datang mengajak bertemu adik saya dan mengaku single. Kalian mengaku bertunangan, tapi saya nggak lihat cincin yang melingkar di jari laki-laki itu.” Perkataan pria tadi sontak membuat wanita itu menarik tangan Adip dengan keras untuk mengecek jarinya. Melihat tak ada cincin di sana ia bertanya dengan marah, “di mana cincinnya?” “Dia sengaja datan
Maya menatap pemandangan di luar dengan wajah cemberut. Sementara di sampingnya Zayyan mengemudikan mobilnya mengabaikan Maya. Ketika hari hampir petang Zayyan langsung menyuruhnya pulang. Meski Maya sudah menolak dan memberi alasan bahwa ia sudah besar, pria itu tetap kekeh dengan keputusannya. Bahkan saat Maya meminta bantuan pada Ian, laki-laki itu hanya mengendikkan bahu menolaknya. Dia malah asik menghabiskan camilan yang telah dipesan oleh Zayyan lagi. Dita yang belum mengenal dekat hanya bisa diam tak membantah jadi Maya tak mendapatkan dukungan dalam memprotes Zayyan. Baru saja mereka selesai mengantarkan Dita yang mana Zayyan mengikuti mobilnya dari belakang. Kemudian Maya berpindah ke mobil Zayyan untuk mengantarnya ke rumah. Tiba-tiba mobil berhenti. Mereka berhenti di minimart dan Maya melirik ke arah Zayyan yang turun dari mobil. Pria itu tak mengatakan apapun yang membuat Maya semakin sebal. Setelah sekian tahun tidak bertemu mengapa laki-laki yan
Semenjak kejadian kencannya terakhir kali Maya langsung menghapus aplikasi tersebut dari ponselnya. Ia trauma karena dituduh menjadi pelakor padahal dia ditipu saat itu. Dita pun juga mengomelinya habis-habisnya membuat telinga Maya panas mendengarnya. Tetapi, setidaknya dari kejadian itu dia bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Ian dan Zayyan yang sama-sama ia panggil Mas Yan. Ian sendiri adalah tetangganya dulu yang tiba-tiba pindah sedangkan Zayyan adalah teman sekolahnya yang sering datang untuk bermain atau mengerjakan tugas. Dulu kedua orangtua Maya sama-sama sibuk bekerja sehingga ia kadang dititipkan ke keluarga Ian. Maminya punya butik yang jaraknya hampir satu jam dari rumah sedangkan ayahnya adalah pengacara yang sangat jarang pulang. Kesibukan kedua orangtuanya membuat Maya sering datang ke rumah keluarga Ian untuk sekedar bermain hingga menunggu maminya pulang bekerja. Meski Maya merasa kesepiaan kala itu, namun kehadiran keluarga Ian serta
“May, serius lo dilamar?” Dita yang baru duduk langsung melempar pertanyaan pada Maya. Saat ini mereka berdua sedang berada di cafe. Kemarin adalah hari dimana ia dilamar oleh seorang pria. Dan pria tersebut adalah teman dari tetangga masa kecilnya. Orang yang tak pernah ia duga. Maya yang tadinya berusaha membujuk Zayyan untuk menarik lamarannya berakhir gagal. Pria itu benar-benar seperti gunung yang tak dapat digoyahkan. Lalu, Maya berencana untuk membicarakannya pada orangtuanya, namun melihat wajah sumringah di keduanya membuat ia jadi tak enak dan akhirnya memilih untuk pasrah saja. Usai kepulangan Zayyan dan keluarga, Maya langsung masuk ke kamar dan mengirim pesan pada Dita. Ia langsung mengirim ribuan pesan suara yang berisi kepanikannya akan kejadian hari itu. Dita yang kepo dan paham dengan kepanikan sahabatnya itu akhirnya langsung mengajak Maya untuk bertemu di cafe yang biasanya mereka datangi. “Gimana d
Zayyan melepaskan outernya, lalu ia taruh di atas paha Maya yang kebetulan saat ini sedang mengenakan skirt biru muda polos sepanjang lutut. Dua orang tersebut sedang berada di taman alun-alun yang jaraknya setengah jam dari rumah Maya. Sebelum itu mereka berdua sempat mampir ke minimarket untuk membeli es krim. Setelah Zayyan memastikan Maya telah nyaman, pria tersebut pamit sebentar untuk membeli sesuatu. Maya melihat punggung pria tersebut yang berjalan menuju stand yang menjual jajanan. Di alun-alun ini memang banyak orang berjualan. Dari makanan hingga mainan lucu yang menarik perhatian anak-anak. Untungnya mereka berdua mendapat tempat duduk, jika tidak mungkin Zayyan dan Maya hanya bisa duduk di mobil dengan suasana yang semakin canggung. Maya lega setidaknya dengan keramaian ini bisa membuatnya tenang. Zayyan menoleh mengamati Maya untuk mengawasinya memastikan gadis itu aman dan dalam jangkauannya. Setelah membayar segera ia kemba
“Halo, Tante! Masih inget sama Ian?” Ian tersenyum lebar saat melihat Ratih membukakan pintu untuknya. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Maya yang tak disengaja, Ian belum sempat berkunjung untuk bersilaturahmi. Ia masih disibukkan dengan masa transisi jabatannya. Ayahnya telah mengundurkan diri dalam jabatannya sebagai presiden direktur yang mana posisi tersebut dialihkan kepada dirinya. Makanya dalam beberapa hari terakhir ini dirinya sangat sibuk sekali. Dan kebetulan hari ini dia cuti setelah kemarin ia baru saja pulang dari dinasnya. Lalu, Ian memutuskan untuk menggunakan cutinya datang berkunjung ke rumah Maya. Ratih yang mendengar bel rumahnya berbunyi pergi membukakan pintu. Dirinya sangat terkejut saat melihat seorang pria muda berdiri di hadapannya ternyata adalah tetangganya dulu yang telah membantu banyak dirinya menjaga Maya. Wanita tersebut menarik Ian dan memeluknya. “Duh, nak lama nggak ketemu sekar
Maya dan Dita berjalan menuju halaman parkir fakultas setelah jadwal mata kuliah untuk hari ini selesai. Mereka berdua bercakap ringan membahas materi kuliah tadi hingga beberapa tugas yang perlu mereka kerjakan secara kelompok atau individu. Biasanya jika tugas yang didapat ditujukan perorangan, mereka berdua akan mencari waktu untuk mengerjakannya bersama-sama. Mereka akan pergi ke cafe atau salah satu rumah antara dua gadis itu. Ketika jarak gedung parkir semakin dekat, ia mendengar beberapa seliweran di antara mahasiswi yang tampak berbicara dengan wajah malu-malu. Tak hanya satu atau dua, tetapi hampir sebagian besar seperti itu sehingga membuat Maya dan Dita jadi penasaran. Selentingan percakapan mereka terdengar di telinga Maya dan Dita. “Mahasiswa baru? Atau jangan-jangan dosen? Gilak sih kalo beneran, bakalan rajin berangkat punya dosen modelan gitu!” Maya dan Dita bertukar pandangan hingga sama-sama membuat