Share

Tak Ingin Menikah Muda

Perbedaan usiaku dengan Pak Aidan pastinya sangat jauh, tapi bukan berati kami tidak bisa saling mengenal, lalu…. Astagfirullah, lagi-lagi aku berpikiran seperti ini. Padahal aku tidak tahu, apakah Pak Aidan sudah beristri atau belum. Andaikan belum, apakah ia masih jomblo atau sudah mempunyai pacar, aku tidak tahu.

Aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang dijelaskan oleh guruku ini. Mata melihat kearahnya tapi pikirannya melayang-layang. Semoga tidak ada pertanyaan diakhir penjelasannya.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi, aku dan teman-teman langsung keluar kelas. Aku pulang dengan mengendarai motorku, motor pemberian Papaku, dari kelas 10, aku sudah mengendarai motor sendiri, walaupun aku belum mempunyai SIM.

Sebenarnya jarak dari rumah kesekolahku tidak terlalu jauh, ada angkutan umum yang lewat, tapi karena aku sudah terbiasa mengendarai motor, jadi malas rasanya kalau harus naik angkot.

Aku termasuk anak yang tomboi, dari kecil senang bermain dengan anak laki-laki, teman-temanku dirumah kebanyakan laki-laki, aku senang bermain sepeda keliling komplek rumah. Diboncengi oleh anak laki, sampai ngebut lalu masuk kedalam selokan yang berukuran kecil, seluruh tubuhku yang kurus ini kotor dan bau, sering juga jatuh sampai kakiku bonyok. Pulang main, Mama langsung marah kepadaku, tapi Papa tidak pernah marah, Papa selalu berusaha menenangkanku jika terjadi sesuatu padaku, berbeda dengan Mama yang selalu marah-marah. Apa yang aku minta, Papa selalu berusaha untuk mengabulkannya.

Tapi aku sayang dengan keduanya, karena hanya mereka yang aku punya didunia ini. Semoga kelak aku bisa membahagiakannya.

"Assalamualaikum…" Ucap salamku.

"Waalaikumsalam…" Jawab Mama.

Aku langsung mencium tangan Mama.

"Aku lapar. Mama masak apa hari ini?"

"Mama masak soto ayam dan tempe goreng. Sana kamu makan dulu!"

Aku langsung mencuci tangan, lalu mengambil piring, lalu menyendokkan dua centong nasi keatas piringku.

"Deev, udah baca doa belum sebelum makan belum?" Tanya Mama.

"Udah, Ma!"

"Makannya pelan-pelan!"

"Iya!"

Aku melanjutkan makan siangku. Aku sangat lapar, walau pada saat jam istirahat sudah makan semangkuk bakso, tapi tetap wajib makan nasi agar kenyangnya bertahan lama.

Selesai makan, aku langsung sholat dzuhur. Setelah itu, aku merebahkan tubuhku diatas kasur, kupasang headset ditelingaku, sambil mendengarkan musik kesukaanku. Sambil kuberusaha memejamkan mata.

Bangun tidur, kulihat jam dinding sudah jam setengah 5 sore, aku segera bangun dari tempat tidurku, telingaku masih terpasang headset dan lagu kesukaanku masih berputar. Aku segera mematikannya. Aku beranjak kekamar mandi, untuk mandi, lalu sholat ashar.

Aku bercermin, usiaku masih muda, baru akan beranjak 17 tahun pada bulan Mei nanti. Aku ingin menghabiskan masa mudaku dengan bergaul bersama teman-teman. Setelah lulus dari SMA, aku akan berusaha menggapai mimpiku. Aku akan kuliah, lalu aku ingin menjadi wanita karir yang bekerja dikantor, aku ingin mempunyai uang sendiri, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku.

Sejujurnya, aku tidak ingin hanya menjadi Ibu rumah tangga seperti ibuku, aku ingin bekerja ataupun berkarya, aku ingin menghabiskan masa mudaku dengan bekerja dan bergaul dengan banyak teman, pokoknya aku tidak ingin menikah sebelum impianku terwujud.

Mama pernah bercerita kalau ia menikah muda karena dijodohi oleh kedua orang tuanya. Awalnya mama sudah punya pacar, tapi kedua orang tuanya tidak setuju, akhirnya dijodohkan dengan papa yang tak lain adalah guru ngajinya mama. Mama bilang, awalnya mama tidak cinta dengan papa, tapi seiring berjalannya waktu, cinta itu hadir dengan sendirinya. Alhamdulillah sampai saat ini mereka masih bersama, aku satu-satunya buah cinta mereka.

"Papa…" Sapaku ketika Papa sudah sampai dirumah, aku mencium punggung tangannya, lalu aku membuatkan Papa secangkir teh hangat.

Setelah itu, aku membantu Mama masak, menyiapkan makan malam untuk kami. Mama bilang, aku sudah harus terbiasa membantunya masak, agar kalau nanti aku menikah, aku sudah bisa masak.

"Tapi aku kan menikahnya masih lama, Ma!"

"Iya, Mama tau! Tapi kan ga ada salahnya juga kamu belajar masak dari sekarang, biar bisa masakin Mama dan Papa."

Benar juga sih, tak ada salahnya aku belajar masak dari sekarang. Aku pernah membaca, setinggi-tingginya gelar pada seorang wanita, ia akan tetap menjadi ibu rumah tangga dirumahnya, yang akan menyiapkan makanan untuk suami dan buah hatinya. Maka alangkah bahagianya bila seorang ibu selalu dirindukan rasa masakannya oleh anak-anaknya.

Adzan maghrib tiba, aku bersiap untuk melaksanakan shalat. Papa yang selalu jadi imam shalat kami.

"Nanti, kamu kalau cari suami, yang bisa menggantikan posisi Papa, selain jadi imam dalam rumah tangga, dia juga harus bisa menjadi imam dalam shalat dan juga selalu bisa membimbing kamu dalam kebaikan." Pesan Papa selesai kami shalat.

"Iya, Pa! Selain harus sholeh, aku juga mau cari suami yang kaya dan yang ganteng."

"Kaya dan ganteng masuk ke dalam tipe suami yang kamu inginkan juga?" Tanya Mama.

"Iya dong!"

"Tidak ada manusia yang sempurna, Sayang!" Ucap Mama.

Tidak ada salahnya jika aku menginginkan laki-laki yang sempurna, walau aku tahu, tidak ada manusia yang sempurna didunia ini.

"Kamu juga harus memantaskan diri, harus belajar jadi wanita sholehah yang pandai menjaga diri dan kehormatan. Karena laki-laki yang baik-baik itu untuk wanita yang wanita yang baik-baik, begitu pula sebaliknya." Pesan Mama.

"Kok kita jadi membicarakan tentang pernikahan sih? Kan masih lama, sekarang aja aku masih sekolah! Setelah lulus, aku masih mau kuliah dan kerja." Protesku sambil melipat mukena yang tadi kupakai.

"Ini hanya pesan dari Mama dan Papa, biar kamu selalu ingat!" Ucap Mama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status