Home / Romansa / Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku / Bab 2 Dingin yang Membeku di Antara Kita

Share

Bab 2 Dingin yang Membeku di Antara Kita

Author: Nurakila
last update Last Updated: 2025-08-16 09:52:53

Malam itu, setelah semua tamu undangan pulang dan pesta pernikahan berakhir, aku duduk sendirian di kamar yang kini resmi disebut kamar pengantin. Gaun putih yang tadi kupakai sudah kuganti dengan daster sederhana, namun perasaan asing tetap memenuhi dadaku.

Suamiku—lelaki yang kini sah menjadi imamku—sedikit pun tidak menunjukkan ekspresi hangat. Tatapannya dingin, seolah aku bukan istrinya, seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya.

"Aku tidur di sofa," ucapnya singkat sambil menurunkan jas pengantin dan meletakkannya di kursi.

Deg. Hatiku bergetar sakit. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Bukankah malam ini seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan? Bukankah malam pertama adalah awal yang manis bagi pasangan halal? Tapi suamiku justru memilih jarak, memilih dingin, memilih diam.

Aku mencoba menahan air mata. "Kenapa?" tanyaku lirih, hampir tak terdengar.

Dia menoleh sekilas, tatapannya tajam, lalu kembali menghela napas. "Aku lelah."

Itu saja. Hanya dua kata. Tak ada penjelasan lebih. Tak ada alasan yang bisa membuatku merasa tenang.

Aku menunduk, menatap jemariku yang saling bertaut di pangkuan. Suasana hening menyelimuti kamar. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas, menambah sesak di dadaku.

Malam itu aku tidak berani banyak bertanya. Aku tahu dia tidak suka diganggu. Aku memilih diam, meskipun hatiku menangis.

---

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal. Kamar itu masih sama—sunyi, dingin, tanpa kehangatan. Dia sudah tidak ada di sofa. Entah sejak jam berapa dia bangun, entah ke mana dia pergi.

Aku melangkah ke dapur dengan perasaan asing. Rumah besar yang kini kutinggali terasa begitu megah, tapi juga begitu hampa. Aku mencoba menyiapkan sarapan sederhana—telur dadar, nasi hangat, dan teh manis.

Ketika dia turun, aku menyapanya pelan. "Aku sudah siapkan sarapan."

Dia hanya menatap sebentar, lalu duduk tanpa kata. Aku buru-buru menuangkan teh ke dalam gelasnya.

"Semoga kamu suka," ucapku mencoba ramah.

Dia hanya mengangguk kecil, tanpa senyum. Lalu makan dengan tenang, tanpa sepatah kata pun.

Hatiku perih. Aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Aku merasa seperti pembantu yang hanya menyiapkan makanan untuk majikan, bukan seorang istri yang sedang melayani suami dengan penuh cinta.

"Ada yang bisa aku lakukan hari ini?" tanyaku lagi, memberanikan diri.

Dia meletakkan sendok garpu, menatapku datar. "Jangan terlalu banyak bicara. Aku tidak suka ribut."

Lidahku kelu. Aku hanya bisa mengangguk.

Air mataku hampir jatuh, tapi kutahan sekuat tenaga. Aku tidak ingin dia melihatku lemah. Aku tidak ingin dia tahu betapa hatiku terluka.

---

Hari-hari berikutnya, semuanya terasa sama. Dia selalu dingin. Dia jarang sekali menatap mataku. Jika berbicara pun hanya seperlunya. Aku merasa seperti hidup bersama dinding yang membisu.

Malam demi malam kulewati dengan perasaan kosong. Aku berdoa setiap selesai salat, berharap Allah melembutkan hatinya. Aku berharap ada secercah cahaya yang bisa menembus beku di antara kami.

Namun semakin aku berusaha, semakin aku merasa tak berdaya.

Pernah suatu malam, ketika aku memberanikan diri duduk di sampingnya, dia justru bergeser menjauh. "Aku butuh ruang," katanya singkat.

Aku menunduk, hatiku runtuh berkeping-keping. Apa salahku? Apa aku terlalu cepat berharap?

Aku ingat jelas janji akad nikah kemarin. Dengan lantang dia mengucapkan ijab kabul. Dengan mata berkaca aku mendengarnya, berharap itu adalah awal dari kehidupan baru yang penuh cinta. Tapi mengapa kenyataannya seperti ini?

Apakah pernikahan ini hanya sebuah kewajiban? Apakah aku hanyalah pelengkap hidupnya yang tak berarti?

---

Hari berganti minggu. Aku mulai terbiasa dengan dinginnya sikapnya, meski tidak pernah benar-benar bisa menerima.

Sampai suatu hari, aku melihatnya duduk di ruang tamu dengan wajah muram. Tangannya menggenggam sebuah foto yang entah dari mana.

Aku mendekat perlahan. "Itu foto siapa?" tanyaku hati-hati.

Dia terkejut, lalu buru-buru menyembunyikan foto itu. "Bukan urusanmu."

Kalimat itu menusukku. Ada rahasia besar yang disembunyikannya dariku. Sesuatu yang membuatnya terus menjaga jarak.

Aku hanya bisa terdiam, meski hatiku penuh tanya.

Malam itu aku kembali menangis dalam diam. Tubuhku meringkuk di ranjang besar, sementara dia masih setia dengan sofa kesayangannya.

Aku berbisik lirih pada diriku sendiri, "Ya Allah... sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?"

Namun di lubuk hatiku yang paling dalam, ada suara kecil yang berkata: Bertahanlah. Karena rahasia ini suatu saat pasti akan terbongkar. Dan saat itu, semuanya akan berubah.

Malam itu, aku terjaga cukup lama. Hujan turun di luar, menimpa kaca jendela dengan suara ritmis yang menambah sepi. Di ranjang besar ini, aku seorang diri. Ardan masih di sofa, terlelap tanpa peduli aku ada di sini.

Aku memandanginya dalam diam. Wajahnya tampan, garis rahang tegas, alis yang tebal, dan mata yang selalu dingin bila menatapku. Anehnya, saat tidur, ekspresinya tampak berbeda. Ada kelembutan samar yang tersembunyi di balik ketegasan itu.

Hati kecilku berbisik lirih, andai saja dia bisa menatapku dengan kelembutan yang sama saat dia terjaga...

Aku menghela napas panjang, menutup mata, dan mencoba tidur. Namun malam itu, aku sadar satu hal—aku telah jatuh hati. Meski disakiti, meski diabaikan, aku tetap mencintainya. Cinta yang menyiksaku diam-diam.

---

Hari-hari selanjutnya semakin menyesakkan. Ardan semakin sibuk dengan pekerjaannya. Pulang larut malam, kadang mabuk kelelahan, dan lebih sering mengurung diri di ruang kerja rumah. Aku hanya bisa menyiapkan makanan dan menunggu.

Suatu sore, aku menunggu di ruang makan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Makanan di meja sudah dingin, tapi Ardan tak kunjung datang. Aku menghela napas, lalu memberanikan diri mengantarkan makanan itu ke ruang kerjanya.

Tok tok tok.

“Ardan, aku bawakan makan malam.”

Tidak ada jawaban.

Aku memberanikan diri membuka pintu sedikit. Di dalam, dia sedang duduk menatap layar komputer, wajahnya serius. Aroma kopi pekat menyebar di udara.

“Boleh aku masuk?” tanyaku pelan.

Dia hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap layar. “Letakkan di meja. Dan jangan ganggu aku.”

Hatiku kembali terasa perih. Aku meletakkan piring itu di meja kecil dekat pintu, lalu menutup pintu dengan hati-hati. Air mataku jatuh begitu saja saat melangkah pergi.

Aku mulai sadar, aku hanya bayangan baginya. Aku ada, tapi seolah tak terlihat.

---

Keesokan paginya, aku bangun dengan tubuh lelah. Pandanganku kosong, langkahku lunglai menuju dapur. Kupikir aku akan kembali menyiapkan sarapan yang mungkin tak disentuhnya. Tapi pagi itu berbeda.

Saat aku sampai di dapur, aku terperanjat. Ardan sudah ada di sana, duduk sambil meminum kopi.

Aku terdiam, tak percaya. “Kamu… bangun pagi?” tanyaku ragu.

Dia menatapku sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Aku ada rapat penting. Jangan harap ini akan sering terjadi.”

Jawabannya dingin, tapi entah kenapa aku justru merasa sedikit lega. Setidaknya, untuk pertama kalinya sejak pernikahan kami, aku bisa melihatnya di meja makan saat pagi.

Aku menyiapkan roti dan telur, lalu meletakkannya di hadapannya. “Makan dulu. Kamu butuh energi untuk rapat.”

Dia menatap piring itu sebentar, lalu tanpa bicara mulai menyuapinya. Aku tersenyum tipis. Meskipun tanpa ucapan terima kasih, meskipun tanpa tatapan hangat, aku tetap merasa sedikit dihargai.

“Ardan…” aku mencoba bicara.

Dia mendongak. “Apa?”

Aku menunduk, jantungku berdegup cepat. “Aku hanya ingin bilang… aku akan berusaha menjadi istri yang baik. Aku tahu kamu tidak menyukaiku, tapi setidaknya izinkan aku untuk tetap di sisimu.”

Dia terdiam cukup lama, lalu akhirnya menjawab dengan suara rendah, “Jangan terlalu berharap banyak, Kiara. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.”

Jawaban itu membuat dadaku sesak lagi. Tapi aku mengangguk, pura-pura kuat. “Aku tahu.”

Di balik senyum getirku, aku kembali menguatkan hati. Aku harus bertahan. Mungkin suatu hari, es akan mencair. Mungkin suatu hari, dia akan melihatku dengan cara berbeda.

Namun jauh di lubuk hatiku, aku sadar… jalan yang harus ku lewati masih panjang, penuh luka, penuh rahasia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 5 – Luka yang Tak Pernah Sembuh

    Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan melalui celah jendela kamar, membawa aroma dingin yang menusuk tulang. Aira duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Adrian keluar tanpa sepatah kata pun. Lagi-lagi, suaminya memilih diam, meninggalkannya sendiri dengan seribu tanya yang berputar di kepala. “Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Sejak awal pernikahan, ia sudah mencoba menerima dinginnya Adrian. Namun, semakin lama, luka di hatinya kian dalam. Pernikahan yang semestinya membawa kebahagiaan, justru membuatnya merasa seperti tahanan dalam rumah tangganya sendiri. Aira menunduk, meraba perutnya yang datar. Ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—kehamilannya. Tapi melihat sikap Adrian, ia ragu. Bagaimana jika kabar itu justru membuat pria itu semakin menjauh? Bagaimana jika bayi yang ia kandung tak diinginkan?

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 4 Rasa Sakit yang Tak Pernah Tuntas

    Langkah-langkah kecilku terdengar begitu jelas di lantai marmer rumah mewah itu. Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Dingin di dalam kamar bukan hanya berasal dari pendingin ruangan, melainkan juga dari sikap dingin seorang lelaki yang kini sah menjadi suamiku. "Kenapa aku begitu bodoh?" bisikku lirih sambil menatap jendela. Bayangan pernikahan sederhana kami sore tadi masih terus terputar dalam ingatanku. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana bibirnya terkatup rapat saat penghulu mengucapkan ijab qabul. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya wajah kaku, dingin, dan penuh penolakan. Aku menggigit bibir bawahku, menahan perih yang menyayat di dalam dada. "Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku justru merasa seperti tawanan di rumahku sendiri?" Pikiranku berlari pada sosok lelaki itu, Adrian. Suami sahku. Lelaki yang dulu hanya kukenal sebagai sosok jauh, dingin, bahkan menakutkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia yang aka

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 3 – Antara Luka dan Rahasia

    Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Wajahku pucat, mata sembab karena terlalu sering menangis. Sejak malam pernikahan, air mataku tak pernah benar-benar berhenti. Semua terasa hambar, bahkan gaun tidur yang kupakai tak pernah benar-benar disentuh oleh suamiku. Andra, suamiku, selalu pulang larut malam. Kadang dengan jas yang masih menempel rapi, kadang dengan kemeja kusut yang menyisakan aroma parfum asing. Hatinya dingin, kata-katanya kaku, dan tatapannya menusuk seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Namun yang paling menyiksa bukan hanya dinginnya sikapnya, melainkan rahasia yang kusembunyikan dari semua orang. Rahasia yang membuatku harus terus berpura-pura tegar, meski dalam hati aku hancur. --- Malam itu, hujan turun deras. Aku menunggu Andra di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi ia belum juga pulang. Teleponku diabaikan, pesanku tidak pernah dibalas. Aku menggenggam perutku dengan lembut, meski samar

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 2 Dingin yang Membeku di Antara Kita

    Malam itu, setelah semua tamu undangan pulang dan pesta pernikahan berakhir, aku duduk sendirian di kamar yang kini resmi disebut kamar pengantin. Gaun putih yang tadi kupakai sudah kuganti dengan daster sederhana, namun perasaan asing tetap memenuhi dadaku. Suamiku—lelaki yang kini sah menjadi imamku—sedikit pun tidak menunjukkan ekspresi hangat. Tatapannya dingin, seolah aku bukan istrinya, seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. "Aku tidur di sofa," ucapnya singkat sambil menurunkan jas pengantin dan meletakkannya di kursi. Deg. Hatiku bergetar sakit. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Bukankah malam ini seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan? Bukankah malam pertama adalah awal yang manis bagi pasangan halal? Tapi suamiku justru memilih jarak, memilih dingin, memilih diam. Aku mencoba menahan air mata. "Kenapa?" tanyaku lirih, hampir tak terdengar. Dia menoleh sekilas, tatapannya tajam, lalu kembali menghela napas. "Aku le

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 1 Malam Pertama yang Membeku

    Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna. Aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku. Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya. Tapi kenyataannya? Malam pertamaku terasa seperti neraka. Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun. “Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status