Home / Romansa / Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku / Bab 4 Rasa Sakit yang Tak Pernah Tuntas

Share

Bab 4 Rasa Sakit yang Tak Pernah Tuntas

Author: Nurakila
last update Last Updated: 2025-08-16 10:07:02

Langkah-langkah kecilku terdengar begitu jelas di lantai marmer rumah mewah itu. Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Dingin di dalam kamar bukan hanya berasal dari pendingin ruangan, melainkan juga dari sikap dingin seorang lelaki yang kini sah menjadi suamiku.

"Kenapa aku begitu bodoh?" bisikku lirih sambil menatap jendela.

Bayangan pernikahan sederhana kami sore tadi masih terus terputar dalam ingatanku. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana bibirnya terkatup rapat saat penghulu mengucapkan ijab qabul. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya wajah kaku, dingin, dan penuh penolakan.

Aku menggigit bibir bawahku, menahan perih yang menyayat di dalam dada.

"Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku justru merasa seperti tawanan di rumahku sendiri?"

Pikiranku berlari pada sosok lelaki itu, Adrian. Suami sahku. Lelaki yang dulu hanya kukenal sebagai sosok jauh, dingin, bahkan menakutkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia yang akan menjadi imamku. Namun takdir seolah menjeratku pada jalan yang tak pernah kupilih sendiri.

Aku mendesah panjang. "Ya Allah, kuatkan aku."

Pagi hari datang terlalu cepat. Aku masih di tempat tidur, mencoba memulihkan diri setelah malam penuh air mata. Tiba-tiba pintu kamar terdengar diketuk pelan.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk," suaraku serak.

Seorang perempuan paruh baya muncul. Bibi Lila, pengurus rumah tangga Adrian sejak lama. Ia menatapku dengan raut wajah penuh iba.

"Non, sarapan sudah siap. Tuan Adrian menunggu di meja makan."

Aku terdiam sejenak. Menunggu? Untukku? Rasanya mustahil. Tetapi entah mengapa, tubuhku melangkah mengikuti Bibi Lila.

Di ruang makan, Adrian sudah duduk tegak dengan jas rapi, wajahnya tak berperasaan seperti biasa. Ia menoleh sekilas, hanya sekilas.

"Silakan makan," katanya datar.

Aku menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupan. "I-iya."

Kami makan dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Aku ingin membuka percakapan, sekadar menanyakan bagaimana pekerjaannya atau kabarnya, tetapi lidahku kelu. Hingga akhirnya ia sendiri yang bicara.

"kamu tidak perlu repot mengurus apa pun di rumah ini," ujarnya tanpa menatap.

"Aku sudah sediakan semua yang kamu butuhkan. Anggap saja... kamu hanya menumpang di sini."

Kalimat itu bagai pisau yang menancap di dadaku. Aku berhenti mengunyah.

"Menumpang?" ulangku dengan suara bergetar.

Adrian akhirnya mengangkat wajahnya. Tatapannya dingin, menusuk, seolah ingin memastikan aku benar-benar paham.

"Ya. Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan berharap aku akan memperlakukanmu lebih dari sekadar tamu."

Darahku terasa berhenti mengalir.

Aku menegakkan punggungku, berusaha menahan air mata. "Kalau begitu, kenapa kamu mau menikahiku?" tanyaku, meski aku tahu pertanyaan itu berisiko.

Adrian menaruh garpu dengan keras, membuat suara denting yang memecah suasana.

"Karena aku tidak punya pilihan. Karena keluargamu dan keluargaku... sudah membuat kesepakatan."

Aku terdiam. Jadi memang benar, aku hanyalah korban.

Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda. Adrian pulang larut malam, terkadang mabuk, terkadang hanya duduk di ruang kerja tanpa peduli aku ada atau tidak. Aku sering duduk di balkon, menatap langit malam, mencari jawaban pada bintang-bintang.

Hati ini terus bertanya, "Apakah aku bisa bertahan?"

Namun suatu malam, aku melihat sesuatu yang membuatku benar-benar terpukul.

Ponselnya berbunyi di meja kerja. Aku tak berniat mengintip, tetapi layar menyala menampilkan nama seorang wanita: Clara Sayang.

Darahku berdesir. Aku menelan ludah, mencoba menepis pikiran buruk. Namun tak lama, Adrian keluar kamar mandi, meraih ponselnya, lalu menjawab panggilan itu tanpa peduli aku ada di sana.

"Ya, Sayang. Aku akan segera ke sana."

Aku terdiam. Suaranya berbeda. Hangat. Lembut. Jauh berbeda dengan nada dingin yang selalu ia gunakan padaku.

Begitu telepon ditutup, ia mengenakan jasnya kembali.

"Kamu tidak perlu menungguku. Aku mungkin tidak pulang malam ini," katanya datar, seakan aku hanyalah benda mati di sudut ruangan.

Aku menggenggam jemariku erat-erat, menahan gemetar.

"Pergi ke Clara?" tanyaku akhirnya, meski suaraku hanya berbisik.

Adrian menoleh, tatapannya tajam. "Jangan ikut campur."

Setelah itu ia pergi, meninggalkanku dengan hati yang benar-benar hancur.

Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat suami sendiri mencintai wanita lain. Dan lebih buruk lagi, aku hanyalah istri sah yang bahkan tidak dianggap.

"Ya Allah... jika ini jalan yang Kau pilihkan, kuatkan aku. Jangan biarkan aku hancur," doaku dalam isak.

Tetapi di balik tangis itu, perasaan lain mulai tumbuh. Perasaan yang membuatku semakin takut: aku mulai menyadari bahwa aku benar-benar mencintai lelaki dingin itu.

Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada seseorang yang begitu melukaiku?

Malam itu begitu panjang. Udara kamar dingin menusuk kulit, tapi yang lebih menusuk adalah dinginnya sikap suamiku sendiri. Aku masih duduk di sisi ranjang, memeluk lututku sambil menatap punggungnya yang membelakangiku. Rasanya, aku hanya seorang asing yang kebetulan berbagi atap dengannya.

Aku mencoba menutup mata, berharap kantuk datang, tapi pikiran berisik di kepalaku tak mau diam. Kata-katanya sore tadi masih terngiang—"Jangan berharap banyak dariku." Kata-kata itu bagai pisau yang berulang kali menoreh luka lama di hatiku.

Air mata akhirnya menetes, tanpa bisa aku cegah. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan agar tangisanku tak terdengar. Aku takut dianggap lemah, tapi sungguh, aku hanyalah wanita biasa yang butuh dicintai.

"Ya Allah… jika memang aku harus melewati semua ini, beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku hancur sendirian," bisikku dalam doa lirih.

Saat itu, aku merasakan ranjang sedikit bergerak. Aku pikir dia bangun, tapi ternyata tidak. Hanya posisi tidurnya yang berubah. Punggungnya masih membelakangi ku. Seolah sekat tak terlihat semakin tebal di antara kami.

Aku berbalik menatap langit-langit kamar. Bayangan masa lalu tiba-tiba muncul—masa di mana aku pernah disakiti, dikhianati, ditinggalkan. Luka itu masih ada, dan kini luka baru bertambah. Luka yang dibawa oleh suamiku sendiri.

Pagi harinya, aku bangun lebih dulu. Meski tubuhku terasa berat, aku paksakan diri menyiapkan sarapan. Kupikir, mungkin lewat cara sederhana ini, aku bisa sedikit meluluhkan hatinya. Aku menata meja makan dengan hati-hati, memasak menu sederhana kesukaannya—meski aku tak yakin dia masih menyukainya atau tidak.

Saat dia keluar dari kamar dengan wajah dingin, aku tersenyum menyapanya, "Sarapan sudah siap."

Dia hanya menatap meja, lalu menoleh padaku sebentar. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan terima kasih. Hanya diam. Dia duduk, makan dengan tenang, lalu bangkit lagi tanpa berkata apa-apa.

Hatiku semakin sesak. Aku bahkan merasa keberadaan ku tak berarti. "Apakah aku hanya istri di atas kertas baginya?" batinku getir.

Saat aku membereskan meja, aku tak sengaja menemukan sebuah kertas kecil jatuh dari saku jasnya yang tergantung di kursi. Tanganku gemetar ketika membukanya. Ternyata itu adalah foto USG… bayiku. Jantungku berdegup kencang. Jadi, dia tahu… dia tahu aku mengandung anaknya. Lalu mengapa dia tetap bersikap dingin? Mengapa seolah tidak peduli?

Dadaku terasa perih. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku tanpa jawaban.

Malam itu aku kembali merenung, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku sadar: luka ini tidak bisa terus aku pendam. Suatu saat aku harus tahu alasan sebenarnya. Mengapa dia begitu dingin? Mengapa suamiku sendiri seakan tak mau menyentuhku… bahkan saat aku membawa darah dagingnya?

Dan aku tahu, malam itu hanyalah awal dari ujian panjang yang menantiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 5 – Luka yang Tak Pernah Sembuh

    Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan melalui celah jendela kamar, membawa aroma dingin yang menusuk tulang. Aira duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Adrian keluar tanpa sepatah kata pun. Lagi-lagi, suaminya memilih diam, meninggalkannya sendiri dengan seribu tanya yang berputar di kepala. “Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Sejak awal pernikahan, ia sudah mencoba menerima dinginnya Adrian. Namun, semakin lama, luka di hatinya kian dalam. Pernikahan yang semestinya membawa kebahagiaan, justru membuatnya merasa seperti tahanan dalam rumah tangganya sendiri. Aira menunduk, meraba perutnya yang datar. Ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—kehamilannya. Tapi melihat sikap Adrian, ia ragu. Bagaimana jika kabar itu justru membuat pria itu semakin menjauh? Bagaimana jika bayi yang ia kandung tak diinginkan?

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 4 Rasa Sakit yang Tak Pernah Tuntas

    Langkah-langkah kecilku terdengar begitu jelas di lantai marmer rumah mewah itu. Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Dingin di dalam kamar bukan hanya berasal dari pendingin ruangan, melainkan juga dari sikap dingin seorang lelaki yang kini sah menjadi suamiku. "Kenapa aku begitu bodoh?" bisikku lirih sambil menatap jendela. Bayangan pernikahan sederhana kami sore tadi masih terus terputar dalam ingatanku. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana bibirnya terkatup rapat saat penghulu mengucapkan ijab qabul. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya wajah kaku, dingin, dan penuh penolakan. Aku menggigit bibir bawahku, menahan perih yang menyayat di dalam dada. "Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku justru merasa seperti tawanan di rumahku sendiri?" Pikiranku berlari pada sosok lelaki itu, Adrian. Suami sahku. Lelaki yang dulu hanya kukenal sebagai sosok jauh, dingin, bahkan menakutkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia yang aka

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 3 – Antara Luka dan Rahasia

    Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Wajahku pucat, mata sembab karena terlalu sering menangis. Sejak malam pernikahan, air mataku tak pernah benar-benar berhenti. Semua terasa hambar, bahkan gaun tidur yang kupakai tak pernah benar-benar disentuh oleh suamiku. Andra, suamiku, selalu pulang larut malam. Kadang dengan jas yang masih menempel rapi, kadang dengan kemeja kusut yang menyisakan aroma parfum asing. Hatinya dingin, kata-katanya kaku, dan tatapannya menusuk seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Namun yang paling menyiksa bukan hanya dinginnya sikapnya, melainkan rahasia yang kusembunyikan dari semua orang. Rahasia yang membuatku harus terus berpura-pura tegar, meski dalam hati aku hancur. --- Malam itu, hujan turun deras. Aku menunggu Andra di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi ia belum juga pulang. Teleponku diabaikan, pesanku tidak pernah dibalas. Aku menggenggam perutku dengan lembut, meski samar

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 2 Dingin yang Membeku di Antara Kita

    Malam itu, setelah semua tamu undangan pulang dan pesta pernikahan berakhir, aku duduk sendirian di kamar yang kini resmi disebut kamar pengantin. Gaun putih yang tadi kupakai sudah kuganti dengan daster sederhana, namun perasaan asing tetap memenuhi dadaku. Suamiku—lelaki yang kini sah menjadi imamku—sedikit pun tidak menunjukkan ekspresi hangat. Tatapannya dingin, seolah aku bukan istrinya, seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. "Aku tidur di sofa," ucapnya singkat sambil menurunkan jas pengantin dan meletakkannya di kursi. Deg. Hatiku bergetar sakit. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Bukankah malam ini seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan? Bukankah malam pertama adalah awal yang manis bagi pasangan halal? Tapi suamiku justru memilih jarak, memilih dingin, memilih diam. Aku mencoba menahan air mata. "Kenapa?" tanyaku lirih, hampir tak terdengar. Dia menoleh sekilas, tatapannya tajam, lalu kembali menghela napas. "Aku le

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 1 Malam Pertama yang Membeku

    Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna. Aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku. Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya. Tapi kenyataannya? Malam pertamaku terasa seperti neraka. Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun. “Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status