Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Wajahku pucat, mata sembab karena terlalu sering menangis. Sejak malam pernikahan, air mataku tak pernah benar-benar berhenti. Semua terasa hambar, bahkan gaun tidur yang kupakai tak pernah benar-benar disentuh oleh suamiku.
Andra, suamiku, selalu pulang larut malam. Kadang dengan jas yang masih menempel rapi, kadang dengan kemeja kusut yang menyisakan aroma parfum asing. Hatinya dingin, kata-katanya kaku, dan tatapannya menusuk seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Namun yang paling menyiksa bukan hanya dinginnya sikapnya, melainkan rahasia yang kusembunyikan dari semua orang. Rahasia yang membuatku harus terus berpura-pura tegar, meski dalam hati aku hancur. --- Malam itu, hujan turun deras. Aku menunggu Andra di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi ia belum juga pulang. Teleponku diabaikan, pesanku tidak pernah dibalas. Aku menggenggam perutku dengan lembut, meski samar aku bisa merasakan sesuatu di sana. Ya, aku mengandung. Tapi bukan dari malam pernikahan kami. Bukan dari hubungan suci seorang istri dengan suami halal. “Astaghfirullah…” bisikku sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Bayangan masa lalu itu kembali muncul. Malam penuh dosa, malam ketika aku terjebak dalam kelemahan, ketika seorang pria asing memaksa masuk ke kehidupanku. Aku tak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan pada orang tuaku sendiri. Semua orang mengira bayi yang kukandung adalah anak Andra, padahal kebenarannya… hanya Allah dan aku yang tahu. --- Suara pintu terbuka membuatku tersentak. Andra masuk dengan langkah tergesa, wajahnya basah oleh air hujan. Ia tampak lelah, tapi tetap dengan sorot mata dingin yang tak pernah berubah. “Kamu belum tidur?” suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Aku menggeleng pelan. “Aku hanya… menunggu.” “Mengapa harus menunggu? Tidurlah. Aku tidak butuh ada yang menunggu di ruang tamu.” Ia melepas jasnya dan melemparkan ke sofa. Hatiku perih mendengar kalimat itu. Bukankah wajar seorang istri menunggu suaminya pulang? Mengapa seolah-olah keberadaanku adalah kesalahan besar? Aku menunduk, mencoba menahan tangis. “Andra… apakah kamu marah karena menikah denganku?” tanyaku dengan suara bergetar. Ia menoleh sekilas, matanya menatapku dingin. “Aku tidak marah. Hanya saja… jangan terlalu berharap banyak dariku. Aku menikah denganmu bukan karena cinta.” Kata-kata itu menamparku begitu keras. Aku ingin membalas, ingin menjerit bahwa aku juga menyimpan luka yang lebih dalam dari sekadar pernikahan tanpa cinta. Tapi bibirku kelu. Aku tak bisa. --- Malam itu, setelah Andra masuk ke kamar kerjanya, aku terduduk di ruang tamu sendirian. Air mata kembali jatuh, membasahi pipiku. Perutku terasa perih, mungkin karena stres, mungkin juga karena bayi kecil di dalam rahimku ikut merasakan sakitnya hati ibunya. “Ya Allah, bagaimana aku harus menjalani semua ini? Aku tidak sanggup jika kebenaran terbongkar…” Aku meremas perutku, berusaha meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti, mungkin Andra akan menerima. Atau setidaknya, aku bisa menyembunyikan rahasia ini sampai ajal menjemputku. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu rahasia sebesar ini tak akan bisa selamanya kusimpan. Cepat atau lambat, semuanya akan terbuka. Dan ketika saat itu tiba… aku tak tahu apa yang akan terjadi pada rumah tangga ini. Malam itu, aku duduk di tepi ranjang sambil menatap punggungnya yang kaku. Hening menyelimuti kamar kami, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Ingin rasanya aku bertanya, ingin aku tahu alasan di balik sikapnya yang seolah menolak kehadiranku. Namun lidahku kelu. Ada rasa takut kalau pertanyaanku justru membuatnya semakin menjauh. "Rafa..." panggilku dengan suara hampir berbisik. Ia menoleh sebentar, sekilas, lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Hanya itu, tanpa jawaban, tanpa sapaan balik. Hatiku semakin sesak. Apakah aku hanya seorang pengganggu di hidupnya? Aku menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. "Aku... aku hanya ingin tahu, apakah aku melakukan sesuatu yang salah?" tanyaku ragu, suaraku bergetar. Kali ini, ia menoleh sedikit lebih lama, menatapku dengan tatapan dingin. "Kamu terlalu banyak bertanya," jawabnya datar. Setelah itu ia kembali membuang pandangan. Perih. Jawaban singkat itu seperti sembilu yang menancap dalam. Dadaku bergemuruh, jiwaku seperti dihempas ombak. Bagaimana mungkin seorang suami bisa begitu tega berkata seperti itu pada istrinya sendiri? Aku terdiam, tak lagi berani melanjutkan. Malam itu ku putuskan untuk menarik selimut dan memeluk diriku sendiri. Meski dingin udara malam menusuk, justru hatiku terasa jauh lebih dingin. --- Keesokan paginya, aku terbangun sendirian. Tempat tidur di sebelahku kosong, hanya meninggalkan lipatan selimut yang sudah dingin. Entah sejak jam berapa ia meninggalkan kamar. Aku menatap sekeliling, berharap menemukan secuil tanda ia peduli, tapi nihil. Aku turun ke dapur dengan langkah gontai, berusaha menyiapkan sarapan seperti seorang istri pada umumnya. Ku potong roti, ku rebus telur, ku seduh teh hangat. Namun yang datang hanya sepi, ia tak kunjung muncul. Tak lama, suara pintu depan terbuka. Rafa muncul dengan setelan kerja rapi. Aroma parfum maskulin menyergap hidungku, membuatku sadar ia sudah siap berangkat. "Rafa, aku sudah siapkan sarapan," ucapku mencoba ramah. Ia hanya melirik sekilas, lalu meraih kunci mobil di meja. "Aku sarapan di luar," jawabnya singkat. Aku tercekat, tak bisa berkata apa-apa lagi. Jari-jariku yang masih memegang sendok gemetar. Aku menunduk, menatap meja makan yang penuh dengan hidangan sederhana. Roti, telur, teh—semuanya seolah tak ada artinya. Ketika pintu rumah kembali tertutup, meninggalkan aku seorang diri, barulah air mata yang sejak tadi ku tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah. Aku merasa hampa, seakan keberadaan ku di rumah ini tidak pernah dianggap. Dalam hati aku berdoa, "Ya Allah, beri aku kekuatan. Jika pernikahan ini adalah jalan yang Engkau pilihkan untukku, aku mohon... tunjukkan hikmahnya. Jangan biarkan aku terus merasa tak berarti di samping suamiku sendiri." Doa itu meluncur lirih bersama air mataku yang membasahi pipi. Aku tahu, hanya kepada Allah tempat aku bersandar. Meski suamiku dingin, meski aku seperti tak dianggap, aku percaya masih ada rencana indah yang tersembunyi di balik semua ini. Aku tak tahu bagaimana kelanjutannya. Yang aku tahu, pernikahan ini baru saja dimulai... dan aku harus bertahan.Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan melalui celah jendela kamar, membawa aroma dingin yang menusuk tulang. Aira duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Adrian keluar tanpa sepatah kata pun. Lagi-lagi, suaminya memilih diam, meninggalkannya sendiri dengan seribu tanya yang berputar di kepala. “Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Sejak awal pernikahan, ia sudah mencoba menerima dinginnya Adrian. Namun, semakin lama, luka di hatinya kian dalam. Pernikahan yang semestinya membawa kebahagiaan, justru membuatnya merasa seperti tahanan dalam rumah tangganya sendiri. Aira menunduk, meraba perutnya yang datar. Ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—kehamilannya. Tapi melihat sikap Adrian, ia ragu. Bagaimana jika kabar itu justru membuat pria itu semakin menjauh? Bagaimana jika bayi yang ia kandung tak diinginkan?
Langkah-langkah kecilku terdengar begitu jelas di lantai marmer rumah mewah itu. Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Dingin di dalam kamar bukan hanya berasal dari pendingin ruangan, melainkan juga dari sikap dingin seorang lelaki yang kini sah menjadi suamiku. "Kenapa aku begitu bodoh?" bisikku lirih sambil menatap jendela. Bayangan pernikahan sederhana kami sore tadi masih terus terputar dalam ingatanku. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana bibirnya terkatup rapat saat penghulu mengucapkan ijab qabul. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya wajah kaku, dingin, dan penuh penolakan. Aku menggigit bibir bawahku, menahan perih yang menyayat di dalam dada. "Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku justru merasa seperti tawanan di rumahku sendiri?" Pikiranku berlari pada sosok lelaki itu, Adrian. Suami sahku. Lelaki yang dulu hanya kukenal sebagai sosok jauh, dingin, bahkan menakutkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia yang aka
Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Wajahku pucat, mata sembab karena terlalu sering menangis. Sejak malam pernikahan, air mataku tak pernah benar-benar berhenti. Semua terasa hambar, bahkan gaun tidur yang kupakai tak pernah benar-benar disentuh oleh suamiku. Andra, suamiku, selalu pulang larut malam. Kadang dengan jas yang masih menempel rapi, kadang dengan kemeja kusut yang menyisakan aroma parfum asing. Hatinya dingin, kata-katanya kaku, dan tatapannya menusuk seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Namun yang paling menyiksa bukan hanya dinginnya sikapnya, melainkan rahasia yang kusembunyikan dari semua orang. Rahasia yang membuatku harus terus berpura-pura tegar, meski dalam hati aku hancur. --- Malam itu, hujan turun deras. Aku menunggu Andra di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi ia belum juga pulang. Teleponku diabaikan, pesanku tidak pernah dibalas. Aku menggenggam perutku dengan lembut, meski samar
Malam itu, setelah semua tamu undangan pulang dan pesta pernikahan berakhir, aku duduk sendirian di kamar yang kini resmi disebut kamar pengantin. Gaun putih yang tadi kupakai sudah kuganti dengan daster sederhana, namun perasaan asing tetap memenuhi dadaku. Suamiku—lelaki yang kini sah menjadi imamku—sedikit pun tidak menunjukkan ekspresi hangat. Tatapannya dingin, seolah aku bukan istrinya, seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. "Aku tidur di sofa," ucapnya singkat sambil menurunkan jas pengantin dan meletakkannya di kursi. Deg. Hatiku bergetar sakit. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Bukankah malam ini seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan? Bukankah malam pertama adalah awal yang manis bagi pasangan halal? Tapi suamiku justru memilih jarak, memilih dingin, memilih diam. Aku mencoba menahan air mata. "Kenapa?" tanyaku lirih, hampir tak terdengar. Dia menoleh sekilas, tatapannya tajam, lalu kembali menghela napas. "Aku le
Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna. Aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku. Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya. Tapi kenyataannya? Malam pertamaku terasa seperti neraka. Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun. “Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicar