Accueil / Romansa / Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku / Bab 5 – Luka yang Tak Pernah Sembuh

Share

Bab 5 – Luka yang Tak Pernah Sembuh

Auteur: Nurakila
last update Dernière mise à jour: 2025-08-16 10:11:08

Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan melalui celah jendela kamar, membawa aroma dingin yang menusuk tulang. Aira duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Adrian keluar tanpa sepatah kata pun. Lagi-lagi, suaminya memilih diam, meninggalkannya sendiri dengan seribu tanya yang berputar di kepala.

“Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Air mata mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Sejak awal pernikahan, ia sudah mencoba menerima dinginnya Adrian. Namun, semakin lama, luka di hatinya kian dalam. Pernikahan yang semestinya membawa kebahagiaan, justru membuatnya merasa seperti tahanan dalam rumah tangganya sendiri.

Aira menunduk, meraba perutnya yang datar. Ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—kehamilannya. Tapi melihat sikap Adrian, ia ragu. Bagaimana jika kabar itu justru membuat pria itu semakin menjauh? Bagaimana jika bayi yang ia kandung tak diinginkan?

“Ya Allah, berikan aku kekuatan…” Aira memejamkan mata, berusaha menenangkan hatinya. Namun, doa itu justru membuat tangisnya pecah semakin dalam.

Keesokan paginya, Aira bangun dengan mata sembab. Ia berjalan ke dapur, menyiapkan sarapan seadanya. Nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi, makanan favorit Adrian—setidaknya yang ia tahu dari cerita masa lalu pria itu.

Saat Adrian turun dengan setelan jas rapi, Aira mencoba tersenyum.

“Mas, aku buat sarapan. Semoga Mas suka.”

Adrian hanya melirik singkat, tanpa ekspresi. Ia duduk, mengambil piring, lalu menyendok nasi tanpa menatap Aira sedikit pun. Hening menyelimuti meja makan, hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar.

Aira menunduk, menggenggam erat ujung bajunya.

“Mas… aku… aku ingin bicara,” ucapnya pelan.

Adrian berhenti makan, meletakkan sendoknya. Tatapannya dingin menusuk Aira.

“Kalau tentang perasaanmu lagi, simpan saja. Aku sudah terlalu lelah mendengar keluhan.”

Ucapan itu membuat Aira tercekat. Bibirnya bergetar, tapi ia menelan kembali kata-kata yang sempat ingin keluar. Ia tahu, jika memaksa, yang akan ia dapat hanyalah penolakan lebih dalam.

Adrian kembali melanjutkan sarapannya, lalu berdiri tanpa menuntaskan makanannya.

“Aku ada rapat. Jangan tunggu aku pulang malam ini.”

Lalu pintu tertutup keras, meninggalkan Aira yang membeku di kursinya. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.

Siang harinya, Aira duduk di kamar, menatap hasil test pack yang ia sembunyikan di laci meja rias. Dua garis merah terang terpampang jelas. Ia hamil.

Tangannya gemetar, air mata jatuh satu per satu. Seharusnya ini kabar bahagia, tapi mengapa yang ia rasakan justru ketakutan?

“Bagaimana kalau Mas Adrian tidak mau menerimanya?” gumamnya.

Hatinya bimbang. Ia ingin memberi tahu, tapi wajah dingin Adrian terus menghantui pikirannya. Bagaimana jika pria itu menganggap bayi ini sebagai beban?

Namun, suara kecil dalam hatinya berbisik: Bayi ini anugerah, jangan takut.

Aira mengelus perutnya lembut, seolah sedang berbicara dengan kehidupan kecil yang mulai tumbuh di dalam sana.

“Tak apa, Nak. Meski ayahmu dingin, Ibu akan selalu mencintaimu.”

Malam itu, Aira menunggu Adrian pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi suaminya belum juga datang. Ia menahan kantuk, tetap duduk di ruang tamu dengan segelas teh hangat yang sudah lama dingin.

Pintu akhirnya terbuka. Adrian masuk dengan wajah lelah, jasnya tergantung di bahu. Aroma parfum asing yang menyengat membuat Aira tersentak.

“Mas…” Aira berdiri, menatap suaminya dengan perasaan campur aduk.

Adrian hanya menghela napas, melempar jas ke sofa. “Kenapa belum tidur?”

“Aku… aku menunggu Mas.”

Pria itu mengernyit, lalu berjalan menuju kamar tanpa menoleh lagi. Aira mengejarnya, memberanikan diri memegang lengan Adrian.

“Mas, aku… aku punya kabar penting.”

Adrian menoleh, tatapannya dingin dan penuh kejengkelan.

“Besok saja. Aku lelah.”

“Mas, ini penting. Aku—”

“Cukup, Aira!” suara Adrian meninggi, membuat Aira terdiam ketakutan. “Aku bilang aku lelah! Jangan paksa aku untuk mendengar hal-hal yang tidak perlu.”

Kata-kata itu menusuk jantung Aira. Air matanya jatuh begitu saja, tapi ia menutup mulutnya, menahan diri agar tidak menangis di hadapan suaminya.

Adrian masuk ke kamar, membanting pintu dengan kasar. Aira terduduk di depan pintu, memeluk lututnya.

Di dalam hati, ia berbisik lirih, “Andai Mas tahu, aku sedang mengandung darah dagingmu. Mungkin hatimu tak akan sedingin ini…”

Namun, sayangnya, malam itu Aira kembali menangis sendirian, memeluk rahasia yang seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya.

Air mataku sudah mengering, tapi dadaku tetap terasa sesak. Malam itu aku memilih duduk di teras rumah, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin berembus pelan, namun tak mampu menenangkan pikiranku yang kalut.

“Ya Allah… sampai kapan aku harus menahan semuanya sendiri?” bisikku dengan suara bergetar.

Aku meraba perutku, membayangkan bayi mungil yang tumbuh di dalam rahimku. “Nak… maafkan Ibu. Ibu tidak tahu apakah Ayahmu akan pernah menerimamu atau tidak. Tapi percayalah, Ibu akan tetap berjuang.”

Saat itu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku buru-buru menghapus sisa air mata, tak ingin ada yang tahu aku habis menangis. Ternyata itu Andra. Suamiku yang sejak tadi kukira sudah tidur.

“Kenapa di luar? Dingin,” ucapnya singkat.

Aku menoleh, mencoba tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, cuma butuh udara segar.”

Andra terdiam sebentar, lalu tanpa berkata apa-apa, ia masuk lagi ke dalam rumah. Tidak ada pelukan, tidak ada pertanyaan apakah aku baik-baik saja. Hanya keheningan yang makin menusuk hati.

Aku kembali tertegun. Bukankah seharusnya seorang suami memberi kehangatan? Tapi Andra… ia hanya memberi dingin, seolah aku hanyalah orang asing di rumah ini.

Keesokan paginya, aku sengaja menyiapkan sarapan lebih rapi dari biasanya. Aku berharap, meski kecil, ada percakapan hangat di meja makan. Aku goreng kan telur kesukaannya, ku potongkan buah segar, bahkan membuat kopi dengan aroma khas yang biasanya ia suka.

Namun saat duduk di meja makan, ia hanya melirik sebentar. “Aku buru-buru, ada rapat penting. Sarapan di kantor saja.”

Aku tercekat. “Tapi… aku sudah—”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Andra sudah berdiri dan mengambil jasnya. “Jangan tunggu aku makan malam. Mungkin pulang larut.”

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Air mataku kembali menetes tanpa bisa ku tahan. Usaha kecilku, seolah tak pernah dihargai.

---

Hari demi hari terasa semakin berat. Aku benar-benar merasa menjalani pernikahan seorang diri. Seolah aku menikah hanya dengan status, tanpa kehadiran hati.

Tapi di balik semua rasa sakit itu, aku masih menyimpan satu harapan: semoga suatu hari, Andra benar-benar menyadari bahwa aku sedang mengandung darah dagingnya.

Aku yakin, setiap anak pasti punya cara untuk meluluhkan hati ayahnya. Dan aku berharap, bayi ini kelak bisa menjadi alasan Andra untuk berhenti bersikap dingin padaku.

Aku menggenggam erat tanganku sendiri, berusaha kuat. “Ya Allah… jangan biarkan aku menyerah.”

Di dalam keheningan rumah itu, aku tahu, badai baru saja dimulai. Dan aku harus bersiap, karena jalan yang kupilih tidak akan mudah. Tapi demi bayi dalam kandunganku, aku akan tetap berdiri, meski dengan hati yang hancur.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 5 – Luka yang Tak Pernah Sembuh

    Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan melalui celah jendela kamar, membawa aroma dingin yang menusuk tulang. Aira duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Adrian keluar tanpa sepatah kata pun. Lagi-lagi, suaminya memilih diam, meninggalkannya sendiri dengan seribu tanya yang berputar di kepala. “Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Sejak awal pernikahan, ia sudah mencoba menerima dinginnya Adrian. Namun, semakin lama, luka di hatinya kian dalam. Pernikahan yang semestinya membawa kebahagiaan, justru membuatnya merasa seperti tahanan dalam rumah tangganya sendiri. Aira menunduk, meraba perutnya yang datar. Ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—kehamilannya. Tapi melihat sikap Adrian, ia ragu. Bagaimana jika kabar itu justru membuat pria itu semakin menjauh? Bagaimana jika bayi yang ia kandung tak diinginkan?

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 4 Rasa Sakit yang Tak Pernah Tuntas

    Langkah-langkah kecilku terdengar begitu jelas di lantai marmer rumah mewah itu. Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Dingin di dalam kamar bukan hanya berasal dari pendingin ruangan, melainkan juga dari sikap dingin seorang lelaki yang kini sah menjadi suamiku. "Kenapa aku begitu bodoh?" bisikku lirih sambil menatap jendela. Bayangan pernikahan sederhana kami sore tadi masih terus terputar dalam ingatanku. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana bibirnya terkatup rapat saat penghulu mengucapkan ijab qabul. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya wajah kaku, dingin, dan penuh penolakan. Aku menggigit bibir bawahku, menahan perih yang menyayat di dalam dada. "Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku justru merasa seperti tawanan di rumahku sendiri?" Pikiranku berlari pada sosok lelaki itu, Adrian. Suami sahku. Lelaki yang dulu hanya kukenal sebagai sosok jauh, dingin, bahkan menakutkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia yang aka

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 3 – Antara Luka dan Rahasia

    Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Wajahku pucat, mata sembab karena terlalu sering menangis. Sejak malam pernikahan, air mataku tak pernah benar-benar berhenti. Semua terasa hambar, bahkan gaun tidur yang kupakai tak pernah benar-benar disentuh oleh suamiku. Andra, suamiku, selalu pulang larut malam. Kadang dengan jas yang masih menempel rapi, kadang dengan kemeja kusut yang menyisakan aroma parfum asing. Hatinya dingin, kata-katanya kaku, dan tatapannya menusuk seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Namun yang paling menyiksa bukan hanya dinginnya sikapnya, melainkan rahasia yang kusembunyikan dari semua orang. Rahasia yang membuatku harus terus berpura-pura tegar, meski dalam hati aku hancur. --- Malam itu, hujan turun deras. Aku menunggu Andra di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi ia belum juga pulang. Teleponku diabaikan, pesanku tidak pernah dibalas. Aku menggenggam perutku dengan lembut, meski samar

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 2 Dingin yang Membeku di Antara Kita

    Malam itu, setelah semua tamu undangan pulang dan pesta pernikahan berakhir, aku duduk sendirian di kamar yang kini resmi disebut kamar pengantin. Gaun putih yang tadi kupakai sudah kuganti dengan daster sederhana, namun perasaan asing tetap memenuhi dadaku. Suamiku—lelaki yang kini sah menjadi imamku—sedikit pun tidak menunjukkan ekspresi hangat. Tatapannya dingin, seolah aku bukan istrinya, seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. "Aku tidur di sofa," ucapnya singkat sambil menurunkan jas pengantin dan meletakkannya di kursi. Deg. Hatiku bergetar sakit. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Bukankah malam ini seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan? Bukankah malam pertama adalah awal yang manis bagi pasangan halal? Tapi suamiku justru memilih jarak, memilih dingin, memilih diam. Aku mencoba menahan air mata. "Kenapa?" tanyaku lirih, hampir tak terdengar. Dia menoleh sekilas, tatapannya tajam, lalu kembali menghela napas. "Aku le

  • Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku   Bab 1 Malam Pertama yang Membeku

    Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna. Aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku. Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya. Tapi kenyataannya? Malam pertamaku terasa seperti neraka. Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun. “Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicar

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status