Share

Bab 2

"Sintia!" panggil Nadin.

Benarkan, Sintia berada di tempat favorit mereka, di salah satu sudut baca di perpustakaan ini. Mereka menyukai tempat itu karena dari sana, petugas perpustakaan tidak mendengar jika mereka tengah ribut bergosip.

"Nadin! Kenapa ke sini? Kau tidak kerja? Ini sudah sore loh?"

Sintia cukup terkejut sahabatnya ini datang menemuinya di sini, biasanya jam segini Nadin tidak bisa diganggu gugat karena akan pergi mencari nafkah.

"Aku dipecat!"

"Apa? Dipecat? Kok bisa? Kamu melakukan apa sampai dipecat?" 

Sintia jelas terkejut, soalnya di cafe tempat Nadin bekerja, gadis itu karyawan paling rajin dan penuh semangat.

"Yah, mau bagaimana lagi. Sejak mbak Marini meninggal dunia, cafe tidak bisa berjalan lagi, semua keuntungan dan modal sudah disetor ke rekening mbak Sintia, jadi cafe terpaksa tutup."

"Kalau gitu, namanya tempat usahanya yang bangkrut, bukan kamu dipecat. Padahal kamu sudah janji sama Bu Rumintang mau bayar kost dua hari lagi kalau gajian," keluh Sintia.

"Eh, tapi kamu tetap gajian kan bulan ini? Harusnya dapat pesangon juga," lanjutnya.

"Siapa yang mau menggaji? Jenazah mbak Marini dibawa pulang kampung, keluarganya siapa juga kami gak tahu, kampungnya di mana juga gak tahu. Apalagi aku cuma pekerja paruh waktu, manalah dapat pesangon."

"Duh, jadi gimana urusannya dengan Bu Rumintang? Bisa-bisa kamu diusir dari kos kalau gak bisa bayar."

"Itulah yang akan kudiskusikan sama kamu, Bestie. Uangku saja tinggal dua puluh ribu buat makan, entah cukup sampai kapan dua puluh ribu, uang sisa gajiku habis semua untuk pulang kampung kemarin. Aku nyesel banget setelah tahu bahwa aku pulang kampung untuk dijadikan tukang masak gratis untuk hari pertunangan Chika sama Adam, si cowok brengsek itu."

"Tenang, Bestie. Istigfar, sabar ya ... Semua akan indah pada waktunya jika bersabar, Allah pasti sudah menyiapkan jodoh yang lebih baik dari Adam."

Sintia memang sudah mengetahui cerita yang menimpa Nadin, karena hanya Sintia yang begitu dekat dengannya saat ini. Nadin tak kuasa menahan tangisnya, dia sudah sering menangis sejak putus dari Adam, tiga bulan yang lalu. Namun rasa sakit itu tak juga hilang begitu saja, semakin hari luka hatinya semakin menganga, walaupun tak berdarah.

"Besok kita cari kost atau kontrakan yang murah untukmu ya? Aku masih ada simpanan lima ratus ribu, kita cari yang sebulannya dua ratusan atau kalau bisa seratusan, ya?"

Nadin hanya mampu mengangguk, tangisnya bukannya reda, malah semakin terisak.

"Terima kasih, Bestie. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu, yang selalu ada di saat aku senang maupun sedih. Thanks Sintia."

Nadin mengelap kedua matanya dengan ujung jilbab yang dia kenakan, Sintia memeluk dan menenangkan gadis itu, yang lagi-lagi kembali menangis.

Di sudut kursi terhalang rak buku, sebuah bibir tersenyum mendengar pembicaraan dua gadis ini, sudut salah satu bibir terangkat membentuk seringai, sebuah pemikiran melintas di benak di pemilik bibir tersebut.

"Jadi dia dipecat dari pekerjaannya dan terancam tidak memiliki tempat tinggal? Hmm, ini menarik!"

*****

"jadi gimana? Cocok gak yang ini?" tanya Sintia 

Ini adalah tempat kost yang sudah ketiga kalinya yang mereka datangi, yang sebelumnya Nadin terkendala dengan dana karena tempat kost itu harus dibayar setahun full, memang harganya murah tetapi untuk membayar setahun full dia tidak sanggup.

"Boleh bayar bulanan, sebulan dua ratus lima puluh ribu," ujar pemilik kost.

Nadin memperhatikan sekelilingnya, harganya memang cukup murah, cuma lingkungan dan fasilitasnya?

"Di sini ada berapa kamar, Pak?" tanya Nadin.

"Ada sepuluh kamar, tinggal kamar ini yang kosong. Tiga bulan yang lalu penghuni kamar ini bunuh diri di kamar ini."

"Apa?"

Tanpa memikirkan apapun, Nadin dan Shintia langsung pergi dari tempat itu.

"Kau kalau nyari kamar kost yang bener dong, Sin. Kost-an tadi terlalu bebas, penghuninya cowok cewek campur, bahkan ada pasangan yang Kumbul kebo, apalagi kamar tadi bekas penghuni yang bunuh diri, ih ... Kau tahu darimana sih info kost murah seperti itu?" gerutu Nadin setelah mereka berjalan kembali dari kost-an yang ketiga tadi.

"Dari grup whatshap mahasiswa sekampung denganku. Mereka tahu informasi kost-an dari yang mahal sampai yang paling murah."

"Jadi sekarang kita ke mana lagi?"

"Sebentar, ini ada informasi lagi, tapi bukan tempat kost, ini rumah yang disewakan, lokasinya komplek BTN, masih seputaran kampus kok, kamu masih bisa jalan kaki kalau mau ke kampus, bisa ngirit ongkos."

"Rumah? Kalau sewa rumah pasti mahal."

"Kita lihat aja dulu."

Mereka sudah tiba di lokasi, sebuah rumah BTN tipe 36, rumah RSS subsidi. Keadaannya terlihat sangat tidak terawat, luas tanah yang hanya seratus meter persegi itu sudah ditumbuhi rumput liar, beratap seng, tanpa flatpon dan berdinding batu bata yang belum di plester dan berlantai semen.

Sintia mendekati rumah tersebut, setelah memegang handle pintu ternyata tidak dikunci.

"Wah, rumahnya hancur banget, mana masih melompong gini."

Nadin melihat-lihat isi rumah, terdapat dua kamar yang berukuran 2x2 meter, satu ruang tamu, ruang keluarga dan satu kamar mandi tidak ada ruang dapur, ruang keluarga nanti bisa dijadikan ruang dapur sekaligus.

"Ini rumah masih asli banget seperti awal angkat kredit, lihat rumah tetangga kanan kiri, rumah mereka sudah direnovasi jadi bagus dan layak huni," ujar Sintia.

"Rumah ini juga layak huni jika dibersihkan, aku suka sebenarnya, cuma berapa harga sewanya ya?" 

"Sebentar, ini ada no hp pemiliknya," ujar Sintia setelah melihat di depan rumah, di sana ada nomor hp pemiliknya yang ditulis di sebilah papan.

Sintia langsung menelpon pemiliknya, tidak berapa lama panggilan diangkat, Sintia berusaha bernegosiasi dengan pemilik rumah.

"Gimana?" tanya Nadin tidak sabar ketika Sintia selesai dengan panggilannya.

"Yang punya minta sejuta setengah setahun. Sebenarnya murah banget, cuma dia gak mau bulanan. Aku minta setengah tahun dulu, pemiliknya mau ke sini sebentar lagi, rumahnya dekat dari sini, sambil nyerahkan kunci rumah."

"Sebenarnya murah, cuma uang sejuta setengah, aku dapat dari mana? Uangku saja cuma lima ratus ribu dari kamu," keluh Nadin.

"Kalau bisa setengah tahun saja, nanti kuusahakan sisanya, aku pinjamkan nanti dari ayahku, dia pasti mau menolong, kan tinggal nambahin dua setengah lagi."

"Makasih, ya."

"Sudah, stop. Gak usah lagi bilang makasih, kayak sama siapa. Aku ini sahabatmu, sudah kewajiban ku menolongmu."

"Iya, deh."

Tak berapa lama pemilik rumah datang, seorang lelaki paruh baya berusia lima puluhan, lelaki itu mengendarai motor, dia menemui Sintia dan Nadin dengan senyum yang ramah.

"Kalian berdua yang akan menyewa rumah saya?"

"Benar, Pak. Tepatnya teman saya ini, saya sudah kost di daerah Utara kampus. Jadi berapa sewanya, Pak?" jawab Sintia.

"Rumah ini saya beli cuma untuk investasi, siapa tahu anak saya nanti mau tinggal di sini, cuma anak saya malah sudah beli rumah baru, makanya tidak saya renovasi. Saya menyewakan hanya agar rumah ini tidak rusak saja, jadi saya kasih harga murah saja sejuta setengah setahun."

"Bisa kurang lagi gak pak? Saya benar-benar tidak ada uang segitu, Pak," ujar Nadin 

"Gak bisa lagi, Dek. Ini sudah paling murah, mana ada jaman sekarang sewa rumah cuma seharga sejuta setengah. Tadi saya juga dapat telepon, ada yang akan melihat rumah ini juga, saya akan melepas sama yang cepat saja."

"Kalau saya sewa setengah tahun dulu, gimana Pak?"

"Saya nyewainnya setahun, Dek. Nanti kita lihat saja, orang yang akan menawar rumah ini bagaimana___"

"Permisi!"

"Nah, itu mereka datang."

Bapak pemilik rumah langsung ke luar menyambut calon penyewa lain, Nadin dan Sintia hanya saling tatap, mereka benar-benar kuatir jika bapak penyewa itu melepas rumah ini pada orang lain, lagipula Nadin sudah merasa cocok dengan lingkungan di sini.

Nadin dan Sintia buru-buru mengikuti bapak penyewa, melihat siapa yang akan menyewa rumah ini selain mereka. Sampai di luar, Nadin tercengang melihat siapa orang yang datang, ada dua orang pemuda, salah satunya Nadin pernah bertemu dengan pemuda itu kemarin, pemuda yang ditabraknya di tangga perpustakaan.

"Oh, kalian juga mau menyewa rumah ini?" tanya pemuda itu.

"Iya, Mas. Kalian sudah saling kenal?" tanya bapak penyewa.

"Iya."

"Tidak."

Nadin dan pemuda itu menjawab serentak, tetapi jawaban mereka berbeda, pemuda itu menyatakan iya, Nadin mengatakan tidak.

"Wah, kalian kompak banget," ujar bapak penyewa itu sambil tertawa.

Kompak darimananya? Jelas-jelas jawaban kami berbeda, gerutu Nadin dalam hati.

"Jadi rumah ini akan disewakan sejuta setengah setahunnya, Pak?"

"Benar, Mas."

"Bisa kurang lagi, Pak?"

"Ini sudah paling murah, Mas."

"Bisa nyewa setengah tahun saja?"

"Nggak bisa, Mas."

Nadin dan Sintia saling menatap, dia sangat tidak percaya, pemuda yang terlihat tampan dan berkulit bersih itu juga ternyata kekurangan uang, bukan hanya dia saja yang kekurangan uang rupanya, Nadin cukup menikmati wajah gusar pemuda itu dihadapannya.

"Nah, Adek ini juga menawar untuk menyewa setengah tahun, sementara Masnya juga hanya mampu menyewa setengah tahun, bagaimana kalau kalian berbagi tempat saja, rumah saya ini ada dua kamar loh, cuma ya itu tadi___"

"Itu apa, Pak?" tanya pemuda itu ketika suara bapak penyewa menjeda cukup lama.

"Di lingkungan sini dilarang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bisa-bisa digrebek warga dan dikenai denda yang cukup fantastik."

Yah, Nadin menghela napas, pasrah. Sepertinya dia juga bakalan gagal mendapat tempat tinggal kali ini.

"Nah, pikirkan baik-baik ya, anak muda. Saya harus pergi ada urusan kerjaan, nanti kalau sudah mantap, hubungi saya."

Setelah bapak penyewa pergi, keadaan keempat orang itu menjadi sangat canggung. Andai saja Nadin memiliki uang atau memiliki pekerjaan, dia sudah bayarin cash rumah ini walaupun uangnya minjam, kalau sekarang kondisinya yang tidak memiliki pekerjaan, tentu dia tidak berani berhutang banyak, dipinjami lima ratus ribu dari Sintia saja dia sudah cukup bersyukur.

"Ayo, kita menikah! Jika kau bersamaku, kau bisa mengurangi sedikit kesulitanmu, lumayan kan bisa patungan uang kontrakan."

"Apa?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fiyosi Berfenli 98
Very interes tes Story
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status