Share

Bab 3

Kebisuan mereka dipecahkan oleh suara pemuda itu, Sintia dan Nadin terkejut mendengar pemuda itu berbicara, bukan karena dia berbicara tapi ajakan  pemuda itu yang cukup membuat Nadin syok

"Menikahlah denganku! Pertimbangkan penawaranku ini."

Nadin membeku mendengar perkataan lelaki asing di depannya, lelaki yang baru ditemuinya dua kali ini. Menikah palak lu! Demi membayar kontrakan dia harus menikah dengan lelaki ini? Miris sek

"Menikah? Kau pikir menikah itu cuma mainan rumah-rumahan kayak bocil? Maaf, aku masih bisa mengusahakan cari kontrakan sendiri, tanpa harus menikah denganmu!"

"Aku yang gak bisa, aku butuh bantuanmu, kalau kita menikah, kita bisa berbagi tempat tinggal tanpa harus digrebek warga."

Pelipis Nadin berdenyut nyeri, kenyataan hidupnya yang sangat melelahkan dan kacau balau ini tidak bisa dia tutupi, dia memang kekurangan uang. Selalu kekurangan, untuk makan sehari tiga kali saja dia kesulitan dan dalam waktu dua puluh empat jam dia harus angkat kaki dari kost-an, ke mana dia akan berteduh? Tidak mungkin dia akan menumpang pada Sintia, gadis itu pernah bilang, dia tidak betah berbagi kamar, Nadin tidak mungkin memaksa sahabatnya itu, Sintia juga sudah membantunya meminjamkan uang saja sudah syukur.

"Berapa nomor HP mu?" tanya lelaki itu sambil mengeluarkan ponsel.

Nadin hanya bergeming, Sintia berinisiatif mengambil HP lelaki itu dan mengetik nomor telpon Nadin.

"Sintia! Kenapa kau beri nomorku?" Nadin berbisik tidak suka.

"Woles saja, siapa tahu ada info apa gitu dari dia?" jawab Sintia santai.

"Kenapa tidak kau kasih saja nomormu?"

"Lah, yang diajak nikah kan dirimu, Bestie. Iya kan?" ujar Sintia sambil tersenyum ke arah pemuda itu.

"Oh ya, kamu sudah main ngajak nikah saja, kita belum kenalan loh, aku Sintia."

"Aku Zaki, ini temanku Fahmi."

"Halo ...." Sintia menyalami mereka berdua.

"Ini?"

Zaki menunjuk Nadin dengan nada penasaran, namun Nadin masih diam saja, gadis itu masih syok mendengar lelaki di depannya mengajaknya menikah.

"Ini, Nadin. Dia sebenarnya yang akan menyewa rumah ini, aku hanya menemani," ujar Sintia 

"Baiklah, Nadin. Pikirkan dengan baik, nanti saya hubungi, ya? Aku pergi dulu kalau gitu. Ayo, Mi."

Fahmi yang dari tadi diam saja menganggukkan kepala, sebelum dia pergi dia masih sempat mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam," balas Sintia 

Nadin terpaksa mencubit sahabatnya itu yang tiba-tiba senyum sendiri.

"Ih, sakit tahu!"

"Kenapa senyum-senyum? Gak lihat aku lagi galau?"

"Sabar, Nadin. Mungkin ini jawaban Tuhan untuk kesusahanmu selama ini, kau dicampakkan oleh Adam, sekarang tiba-tiba kau dilamar orang. Positif thingking saja, Bestie. Ketampanan Adam gak seberapa dibanding dengan Zaki. Yah, walaupun dia kere, kuharap kau bukan cewek matre ya?"

"Ngomong apa kau, Sintia? Aku hanya syok! Kenal nggak, ketemu baru dua kali, yang pertama itupun gak sengaja, kemarin aku menabraknya di perpustakaan waktu akan menemuimu."

"Yah, mungkin saja sejak pertemuan pertamanya itu dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Lebih baik gitu, sat set singkat aja yang penting jadi nikah, daripada pacaran lama-lama eh, tahunya cuma jagain jodoh orang."

"Gak mungkin bisa sesingkat itu dia jatuh cinta sama aku. Lihat tatapan matanya yang sedingin salju itu? Dia saa sekali tidak punya perasaan sama aku, dia hanya mau memanfaatkan aku agar punya tempat tinggal."

"Yah, sudah kalau gitu, anggap saja hubungan simbiosis mutualisme, dengan kalian menikah, kalian berdua bisa punya tempat tinggal, soal perasaan dan rasa cinta itu urusan belakangan lah, lagi hidup lagi kepepet tuh Din, manfaatkan semua sumber daya, yang penting kita tidak melakukan perbuatan dosa, menikah kan tidak dosa ya, kan? Malah dapat pahala."

Kepala Nadin benar-benar pening mendengar perkataan Sintia. Kenaoa sahabatnya itu malah mendukung pernikahan yang aneh ini?

"Kau kok tega sih, Sin? Menyuruhku menikah dengan pria asing yang gak kukenal sama sekali?"

"Aku gak memaksamu, Bestie. Aku hanya memberi solusi atas permasalahan kalian berdua, pikirkan lagi, tapi jangan terlalu lama, soalnya besok sudah tenggat waktu kau bayar kost."

*****

"Zak, kau yakin mau menikah dengan gadis itu?" tanya Fahmi 

Mereka sudah tiba di rumah yang cukup besar, rumah ini juga dipakai untuk kantor, dengan kursi dan meja serta banyaknya perangkat komputer yang ada di rumah itu.

"Yakinlah, memangnya kenapa?"

"Sepertinya dia gadis baik-baik, Zak. Sepertinya kau harus menyelidiki lebih detail lagi."

"Menyelidiki apalagi? Kalung itu sudah jadi bukti yang valid, hanya dengan menikahi gadis itu aku bisa membuat keturunan Purnomo merasakan apa yang mama dan aku rasakan selama ini."

Fahmi hanya menghela napas berat melihat sahabatnya selalu dihantui dendam masa lalu, dendam yang membuatnya terobsesi hingga dia bisa sukses seperti sekarang ini. 

"Aku hanya kuatir, kau melampiaskan dendammu pada orang yang salah, Bro."

"Tidak, aku tidak mungkin salah."

*****

"Nadin! Kenapa Wa-mu gak aktif dari tadi?" tanya Sintia yang sudah masuk ke kamar kost Nadin.

"Aku gak punya kuota."

"Tapi kenapa nomormu ditelpon juga tidak aktif?"

"Sengaja, pusing aku lihat HP tapi gak punya kuota."

"Dasar kau ini! Ini, ada telpon dari calon suamimu," Sintia menyodorkan HP nya ke hadapan Nadin.

"Calon suami?" Mata Nadin sukses membulat mendengar perkataan absurb sahabatnya itu.

"Iya, Zaki."

"Mau apa dia?"

"Pakek tanya, ya mau ngajak nikah lah."

Nadin mencubit Sintia, gemas melihat kelakuan sahabatnya yang membuat darahnya naik, tetapi Sintia yang dicubit dengan kuat oleh Nadin malah tertawa melihat tingkah temannya itu.

"Nikah! Nikah! Ini bukan candaan, Rosalinda! Bisa gak sih serius dikit?" 

"Siapa yang bercanda, kamu saja yang langsung Heng otaknya cuma diajak nikah ini, sampai manggil namaku saja Rosalinda."

"Sintia!" 

"Iya, maaf ... Maaf! Cepat ini diangkat telponnya, kasihan sudah dari tadi."

Sintia masih setia menyodorkan ponsel ke arah Nadin, ponsel itu langsung direbut dan ditempelkan ke daun telinganya.

"Halo!" sapa Nadin ketus.

"Bisa kita ketemu?" ujar suara di seberang telpon dengan nada dingin.

"Buat apa?"

"Ada yang ingin aku bicarakan soal kemarin. Aku tunggu di depan perpustakaan seperti kemarin sejam lagi."

Tuth 

Nadin menatap ponsel di tangannya dengan tatapan nanar, apa itu tadi? Lelaki itu memerintahnya dengan seenak hati? Apa seperti itu etika memintanya menikah dengan orang lain.

"Sudah belum? Dia bilang apa?" tanya Sintia.

"Brengsek, dia mematikan telepon begitu saja setelah menyuruhku menemuiny sejam lagi. Belum jadi suami saja sudah arogan begitu, apalagi nanti kalau sudah nikah? Gak kebayang gue!"

"Lah, mungkin dia gak bisa lama-lama nelpon, mungkin juga pulsanya terbatas jadi to the point saja. Tahu sendiri kan, dia nyewa rumah saja gak mampu, apalagi buat beli pulsa, kuota, yah nasibnya samalah kayak lu."

Nadin ingin membantah ucapan Sintia, namun mulutnya hanya menganga, apa yang dibilang sahabatnya itu memang kenyataan, jadi dia hanya bisa bersabar menghadapi temannya yang suka bener dan ceplas-ceplos kalau bicara.

"Nadin! Nadin! Keluar kamu, Nadin!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
YaniWuri62819
dari awal kog ceritanya sangat konyol !
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status