Share

Kita memang harus menikah

SUAMI PARUH WAKTU – 8

“Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu.”

“Ya, katakan saja. aku bisa mendengar dan menerima keputusan darimu.” Darren berusaha untuk melapangkan dadanya. Begitu mendengar suara Renata yang nampak berat, Darren sudah berpikir dan yakin bahwa Renata mungkin tidak setuju dengan pilihan pernikahan yang diajukan oleh Darren.

“Nanti malam papa mengundangmu secara khusus ke acara keluarga untuk makan malam. Eum …” Renata menjeda ucapannya. Jelas sekali terlihat bahwa Renata sedang berpikir dan menimbang – nimbang ucapannya. Sementara Darren secara perlahan mulai menarik ke atas lengkung di bibirnya, sembari menantikan kalimat selanjutnya dari Renata

“Aku memberitahumu sekarang agar kamu bisa mulai bersiap – siap mulai saat ini. Bisa jadi banyak pertanyaan yang nantinya akan papa tanyakan padamu.”

Darren kembali tersenyum. “Pertanyaan? Seperti apa?” tanya Darren yang berpura – pura seolah tidak paham dan butuh penjelasan lebih.

“Seperti …. Ah, sudah jangan banyak tanya. Ini ada kaitannya dengan kesepakatan kita tadi,” jawab Renata dengan ketus. Padahal, mulanya suara Renata masih terdengar rendah dan terkesan ragu – ragu.

‘Dalam sekejap gadis itu sudah kembali menjadi dingin dan galak.’ Pikir Darren.

“Kesepakatan apa lagi?”

“Jangan pura – pura lupa. Aku tahu kamu pasti menantikan jawabanku. Iya kan? Sepertinya aku akan menyetujuinya.”

Kening Darren berkerut seketika. “Setuju … soal apa?”

“Pernikahan. Kita harus menikah, apapun yang terjadi.”

Kali ini, Darren benar – benar tak bisa menahan senyum dan tawanya. Senyum itu … mengembang sempurna di wajah Darren yang nampak tegas dan menawan.

Sampai – sampai, Darren harus menjauhkan ponselnya barang beberapa detik saja untuk memberinya jeda tertawa kecil sembari mengusap dadanya. Darren benar – benar senang, ia khawatir suara tawanya atau desahan napasnya mungkin bisa terdengar jelas oleh Renata dari dalam panggilan itu.

“Kenapa kau diam saja? kamu tidak mendengarku?” pekik Renata. Ia kesal sebab Renata merasa Darren tidak sungguh – sungguh mendengarkan dirinya. Bahkan, Renata sempat ragu bahwa Darren memang berniat serius untuk menikah dengannya.

‘Bagaimana kalau Darren hanya memanfaatkan dirinya? Bagaimana kalau kemudian Darren menghilang begitu saja? padahal, Renata sudah cukup merasa nyaman berada di sisi laki – laki itu. Dan ia tak mungkin mencari laki – laki sementara ayah dan ibunya sudah tahu akan hubungan mereka.’

Itu lah yang kemudian berada di dalam pikiran Renata. Ia sempat meragukan kesungguhan Darren dan hampir saja membenci pria itu.

“Halo, kamu benar – benar mempermainkan aku ya? kenapa tidak menjawab sama sekali?! Halo, dasar –”

“Iya, aku mendengarnya. Tapi aku tidak paham maksutmu untuk menyetujuinya. Boleh aku bertemu denganmu sekarang?”

Baru saja Renata akan mengumpat, Darren sudah menjawab teriakan Renata. Dan tentunya itu bukan hal yang mudah, Darren harus menarik napasnya dalam untuk menahan dirinya agar tidak nampak salah tingkah dan semacamnya.

“Sekarang? untuk apa? Kita bahkan baru saja bertemu, belum ada lima jam yang lalu kan?” sahut Renata sembari menatap jam dinding yang menggantung di atas ranjang kamar pribadinya.

“Ya … untuk apa lagi? Untuk memastikan ucapanmu lah. Aku sudah bilang aku tidak paham. Maka dari itu aku butuh penjelasan. Begitu. Bisa kan? Perlu aku jemput??”

Renata diam sejenak. Jujur saja, ia malas sekali harus keluar rumah dan bertemu orang banyak. Renata masih belum siap bertemu dengan banyak orang, terlebih bertemu banyak laki – laki selain Darren yang mungkin berniat buruk lagi terhadapnya.

‘Ah, aku bisa pakai mobil. Oke … tidak akan terjadi apa – apa Renata, yakinlah. Kau juga perlu mendiskusikan ini dengan Darren kan? Tidak ada salahnya kalian bertmu sejenak di tempat tertutup. Ya … tidak apa – apa.’ Renata berusaha meyakinkan dirinya sendiri. ia bercakap – cakap, seolah sedang menasihati hati kecilnya sendiri untuk belajar mengurangi rasa takut dan traumanya.

“Bagaimana? Sudah, aku jemput saja ya? atau aku bisa menemuimu di rumahmu, tidak masalah. Aku akan segera berangkat, jadi tung –”

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri. kita bertemu di café tepat di sebelah menara pohon. Aku rasa tempat itu tidak terlalu ramai tapi nyaman. Aku akan tiba dalam waktu sepuluh menit.”

“Sungguh? Apa tidak –”

TUT!

TUT!

“Gadis ini …. Benar – benar membuatku tertarik. Bisa – bisanya dia mematikan panggilan sementara aku masih berbicara. Dan … tidakkah dia mengucapkan salam penutup karena memang dia yang menghubungi lebih dulu?? Hadeh …” keluh Darren sembari menggeleng – gelengkan kepalanya.

Darren merasa heran dengan sikap Renata yang memang angkuh dan berkuasa itu. Lebih anehnya lagi, Darren tidak bisa berbuat apa – apa selain tertarik padanya. Entah sejak kapan, sikap dingin dan jutek dari Renata justru membuat Darren ingin terus mengenal jauh soal Renata.

Darren segera mengambil kunci motornya, dan tancap gas menuju ke rumah Renata. Meski Renata benar – benar tidak ingin dijemput, Darren akan tetap menunggunya di rumah. menjaga seseorang dari jarak dekat akan lebih menenangkan daripada hanya melihatnya dari kejauhan.

Lima menit berlalu, Darren tiba di depan rumah Renata. Ia tiga menit lebih cepat dari perkiraannya. Darren kira jalanan akan sesak hari ini, beruntung bahwa ia bisa tiba tepat sebelum Renata pergi.

“Mau kemana kamu, Rena?”

“Uh?” Renata menjadi canggung saat mama Erna ternyata melihatnya dan membuatnya terpaksa menghentikan langkahnya seperti ini.

“Eum, ini … aku harus beli pembalut. Iya, jadi aku harus ke swalayan depan. Aku nggak tahu kalau ternyata milikku sudah habis di kamar.”

“Harus dengan pakaian seperti itu?” imbuh mama Erna lagi yang kini mulai melangkah mendekat.

“Hum?” Renata menundukkan kepalanya dan memperhatikan pakaiannya sejenak.

“Memangnya apa yang salah? Sudah ya, Ma … aku harus buru – buru. Takut hujan. Dah, Ma ….” Teriak Renata sembari melambaikan tangannya dua kali.

Mama Erna menunjukkan ekspresi yang tak bisa dijelaskan dengan kata – kata. “Hujan? Apa sih, Renaa???”

Benar – benar mama Erna dibuat bingung bukan main. Baru saja ia akan mendekat, Renata sudah kabur begitu saja dengan pakaian hitam, masker dan topi. Penampilannya lebih seperti maling atau pencuri di swalayan daripada seorang pelanggan.

Mama Erna semakin tidak mengerti dengan sikap Renata yang nampak berubah akhir – akhir ini. ia bisa merasakan bahwa ada yang sedang Renata sembunyikan darinya. Namun Mama Erna tidak tahu persis apa dan bagaimana yang sedang terjadi pada putri yang sudah masuk usia dewasa itu.

‘Huft, mama tidak biasanya masih berdiri di ruang tamu. Biasanya juga sudah masuk ke kamarnya selepas papa pergi,’ pukas Renata sembari turun dari tangga beranda rumahnya dan hendak membuka pintu mobilnya.

Darren mulai membelalakkan matanya dan sesekali memicingkan keduanya kala ia melihat seseorang dengan pakaian hitam mulai keluar dari rumah dan berjalan menuju mobil.

“Itu … Renata?”

“Pfft!! Kenapa dia harus mengenakan pakaian seperti itu? Setakut itu kah dia untuk keluar rumah?” ujar Darren dengan suara lirih.

Ia hanya bisa memperhatikan Renata dari kejauhan sampai kemudian mobil itu mulai mendekat ke arahnya, lalu melewatinya begitu saja. wajar Renata tak melihatnya, Darren memang bukan berhenti di depan gerbang utama rumah Renata. Ia memang sengaja bersembunyi dan ada sedikit lebih jauh agar tak terlihat oleh siapapun.

Tepat setelah Renata melaju lebih dulu dengan mobilnya sendiri, barulah Darren mengikutinya dari belakang.

“Kamu memang selalu membuatku penasaran, Renata.”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status