Share

Rencana Makan Malam Keluarga

Suami Paruh Waktu – 7

“Sudahlah Renata. Papa lelah menunggu jawaban dari kamu yang bahkan tidak ada tanggapan sama sekali. Hanya baik, ramah, apalagi? Papa bahkan yakin, kamu sendiri pun juga tahu jawaban semacam apa yang sebenarnya papa inginkan.”

Wilyasa menarik napasnya dalam, sementara Renata hanya diam dengan pandangan mata yang ia coba sembunyikan dari ayah dan ibunya. Bukan Renata gugup atau takut, perasaannya lebih kepada bodoamat, acuh dan enggan membahas terkait hal yang menurutnya belum menjadi prioritasnya.

Namun, Renata tidak bisa menunjukkan bagaimana perasaannya begitu saja. Renata nampak diam dan terus saja mengambil jawaban paling aman dari pertanyaan – pertanyaan yang ayah dan ibunya sampaikan.

“Begini saja lah, Kalau kamu tidak ingin menjawab, bawa dia ke pertemuan keluarga kita besok malam. Papa akan adakan acara khusus untuk besok malam, dan biar papa sendiri yang akan menilai bagaimana karakter laki – laki itu,” tukas Pak Wilyasa dengan sangat tegas.

Wajah Renata lantas terangkat sempurna. “A-pa? Pah … mana mung --”

“Apa yang tidak mungkin sih, Renata? Kalian bahkan terdengar sangat dekat tadi … apa mungkin, … kalian sudah memiliki jadwal sendiri besok malam?”

Mama Erna ikut andil dalam pembicaraan mereka. Secara tiba – tiba, ia masuk dan menyela apa yang hendak Renata keluhkan. Seolah Mama Erna tahu persis bagaimana tabiat putrinya yang sudah berumur ini, ia pasti akan terus menolak dan terus saja berdalih mencari alasan untuk menolak permintaan papa dan mamanya.

“Bu – bukan itu maksut Rena, Ma…”

“Lantas?”

Hanya dalam waktu kurang dari lima detik, mama Erna lantas menyambar jawaban Renata hingga begitu seterusnya. Semakin jawaban yang Renata sampaikan terkesan mengelak, justru hal itu yang kemudian akan semakin membuat mama Erna penasaran bukan main.

Renata sempat terdiam. Ia membisu seperti sebuah patung.

“Lantas kenapa, Renata?” mama Erna mengulanginya sekali lagi.

Karena Renata tak kunjung menjawab, maka pembicaraan di ambil alih oleh Pak Wilyasa. “Sudahlah ya, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Papa rasa semuanya juga sudah tuntas. Papa harus buru – buru pergi karena papa sudah ada janji dengan rekan papa dikantor. Jangan lupa ya nanti malam, Rena! Awas kamu kalau sampai lupa hal itu, segera kabari itu … um, siapa namanyaa …”

“Darren!!”

Mama Erna segera membantu Wilyasa yang nampak kesulitan mengingat nama calon menantunya. Selain itu, memang Pak Wilyasa sudah nampak tidak fokus setelah ada panggilan tak terjawab yang masuk ke dalam ponselnya. Papa Renata memang terlihat sangat buru – buru bersiap untuk pergi.

“Nah iya, itu maksut papa. Darren!” tukasnya dengan lantang.

Kini, Wilyasa sudah berjalan jauh ke depan menuju pintu keluar yang mana juga merupakan pintu utama rumahnya ini. wilyasa sampai harus menuntaskan pembicaraannya itu sembari berjalan keluar.

“Tuh, Rena –”

“Tauk, ah! Renata pusing ma tiba – tiba. Rena masuk dulu ya ke kamar?”

Tidak perlu menunggu jawaban dan respon dari mamanya, Renata sudah lebih dulu berjalan ke lantai dua. Tempat dimana ruang kamarnya berada.

Melihat putrinya yang sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi dirinya dan ucapannya, mama Erna hanya bisa menghembuskan napasnya ringan sembari menatap langkah putrinya yang semakin menjauh.

‘Anak itu …. Masih belum berubah. Bagaimana jika nanti ia menikah? Semoga Darren bisa bertahan dengan keras kepalanya itu. Huftt!’ gumam mama Erna yang mendesah perlahan. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, sebab memang sudah menjadi hal yang biasa jika Renata selalu mengakhiri pembicaraan mereka tanpa ada akhir yang jelas.

KLAK!

Usai menutup pintu kamarnya, Renata sontak berjingkrak naik ke atas ranjangnya sembari mengggigit bibirnya. Ia segera mencari dimana letak ponselnya berada.

‘Hape mana hape!!? Argh! Handphone guee dimana???’ pekiknya sembari menggerakkan bola matanya ke segala arah, meja kerja, nakas, kasur, lemari, semuanya.

Drt

Drt

“Ah, ini dia!!”

Seolah lupa dengan usianya yang tak lagi remaja, Renata nampak sangat ekspresif. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk mengekspresikan perasaannya saat ini. Bukan senang, justru lebih ke arah panik dan bingung harus bagaimana dengan dua keadaan yang mengharuskannya memberi keputusan secepat mungkin.

“Halo, Darren … aku baru akan menghubungimu…”

“Halo?”

Dua kali, Renata memastikan bahwa yang menghubunginya memanglah Darren. Ia menatap layar ponselnya dengan sangat baik, tanpa melewatkan satu huruf pun saat membaca nama Darren.

Karena merasa tidak ada jawaban, Renata merasa kesal dan hampir marah. “Halo, kamu dengar aku atau tidak sih?” ungkapnya dengan nada bicara yang terdengar begitu lantang.

Namun rupanya, bukannya Darren tak menjawab karena berniat iseng atau berniat membuat Renata merasa kesal. Melainkan, Darren sedang mengulum senyum menahan tawanya kala ia tahu bahwa suara Renata terdengar begitu panik memanggil namanya.

“Jadi kau memang mencariku?” ujar Darren dengan suara yang begitu pelan dan penuh kelembutan. Suara Darren lebih terdengar seperti suara seorang pria yang sedang membujuk atau meledek sang kekasih.

“Halo? Hmm .. sekarang malah jadi kamu yang diam. Benar kan kalau kamu mencariku? Apa artinya … kamu benar – benar tidak bisa lepas dariku meski hanya satu menit pun? Hhh,” tukas Darren kembali sembari tersenyum penuh rasa bahagia dari sebrang sana.

‘Haish! Apa – apaan coba Darren … haduh, salah nih gue. Nggak seharusnya aku terlihat seolah mencari – cari dia. Tapi … ya gimana yaa?’ pikir Renata dalamm hati. Ia hanya bisa menggigit jemarinya karena merasa salah tingkah dengan ulahnya sendiri.

“Tidak! Aku tidak sedang mencarimu.”

“Pfft! Halah … sudah tak apa. Kalau pun iya, aku juga tidak masalah kok,” pukas Darren lagi yang kini mulai berani untuk meledek Renata lebih jauh. dareen hanya bermaksut untuk bisa mengenal Renata lebih jauh, sifat dan karakternya. Tidak ada maksut lain selain itu.

‘Iya, pasti buatmu tidak masalah. Tapi buat aku itu bermasalah. Zzz!’ jawab Renata di dalam hatinya. Tidak bisa rasanya Renata mengatakannya secara lantang di lisannya saat ini juga.

“Darren, berhenti bercanda. Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting,” nada bicara Renata, terdengar lebih lugas dan berat dari sebelumnya. Memang seolah mengindikasikan bahwa Renata memang sedang mengatakan sesuatu yang serius.

Darren bisa mengerti. Ia justru berpikir bahwa Renata akan menyampaikan penolakannya pada Darren. Sebab, sejak tadi Darren berusaha meledek, bercanda, dan berusaha untuk mencairkan suasana, rasanya Renata sama sekali tidak memberikan tanggapan lain selain intonasi bicaranya yang kian terdengar serius.

“Iya, katakan saja. aku siap mendengarnya.”

Darren benar – benar siap dengan keputusan yang mungkin akan keluar dari bibir Renata saat ini juga. ia sudah menarik napasnya sedalam mungkin menunggu jawaban dari Renata.

“Eum, tolong kamu jangan terkejut mendengar ini. daan … aku harus meminta maaf sebelumnya. Maaf karena mungkin –”

“Ya, tak apa. Katakan saja.” Darren semakin penasaran. Semakin lama kalimat pembuka yang Renata sampaikan, seolah membuat perasaan Darren semakin gugup tidak karuan. Justru, perasaan Darren semakin tidak enak bahwa memang betul Renata akan menolak tawaran pernikahan darinya.

“Hm, baiklah. Nanti malam papa mengundangmu untuk makan malam. Aku ingin kamu mulai bersiap – siap mulai saat ini. mungkin … papa akan menanyakan hal – hal yang tidak masuk akal,” balas Renata perlahan.

“A – apa? Apa aku tidak salah dengar? Pak Wilyasa mengundangku?” Darren berusaha memastikan.

“Iya. Kamu tidak tuli kan? Datanglah tepat pukul tujuh malam. Dan … sepertinya aku akan menyetujuinya.”

Kening Darren berkerut seketika. “Setuju … soal apa?”

“Pernikahan.”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status