"Tidak. Itu tidak mungkin."
Suara Asih bergetar hebat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kamu pasti sedang berbohong. Iya, kan?" Ada permohonan dalam nada suaranya, meminta Ardy untuk menyangkal kata-katanya sendiri. Tapi Ardy hanya menggeleng lemah. "Aku serius, Asih. Aku sudah punya istri," ucapnya lirih. "Aku memang salah sudah membohongimu, tapi aku benar-benar tidak bisa menikahimu." Ia mengusap air mata yang mulai mengalir di pipi Asih dengan ibu jarinya. "Tapi tidak usah khawatir, aku akan tetap bertanggung jawab membiayai anak kita. Aku berjanji." Air mata Asih akhirnya tumpah tak terbendung. Dadanya sesak oleh rasa sakit yang tak tertahankan. Seluruh tubuhnya gemetar hebat menahan isak tangis yang ingin meledak. Ia merasa dikhianati, dibodohi dan dipermainkan. Hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan hancur berkeping-keping dalam hitungan detik. Asih menjauhkan tangan Ardy dari wajahnya, matanya yang basah menatap tajam pria yang masih dicintainya itu. Cinta dan benci bercampur aduk dalam hatinya yang remuk. "Aku bisa membesarkan anak ini sendirian," ucapnya dingin. Harga dirinya yang terluka menolak untuk menerima belas kasihan dari pria yang telah menghancurkan hatinya. "Aku tidak butuh uangmu. Aku tidak butuh apapun darimu!" Dengan langkah gontai, Asih beranjak pergi, meninggalkan Ardy yang masih terpaku di tempatnya. Air matanya berjatuhan di sepanjang jalan setapak berbatu, sementara kedua tangannya memeluk perutnya sendiri. "Asih! Tunggu!" Ardy berteriak, tapi Asih tetap melangkah pergi tanpa menoleh. Ardy mengumpat keras, tangannya memukul batang pohon terdekat hingga buku jarinya berdarah. Ia jatuh berlutut, menyesali kebodohan dan keegoisannya yang telah menghancurkan hidup wanita yang benar-benar mencintainya dengan tulus. "Apa yang telah kulakukan?" bisiknya pada diri sendiri. ©©© Asih berlari sekuat tenaga, tidak peduli kakinya tersandung beberapa kali di jalan berbatu. Air matanya terus mengalir tanpa henti, memburamkan pandangannya. Akhirnya, ia tiba di rumahnya, sebuah rumah sederhana khas pedesaan dengan dinding dari bilik bambu yang sudah menguning dimakan usia. Rumah itu mungkin tidak layak, tapi selama ini adalah tempat yang penuh kehangatan dan kasih sayang dari ibunya. Asih masuk tergesa-gesa, tidak memedulikan tatapan heran tetangga yang kebetulan lewat. Ia langsung menuju kamarnya yang hanya dibatasi oleh tirai berwarna merah pudar. Tubuhnya ambruk di atas dipan bambu, wajahnya terbenam dalam bantal usang untuk meredam isak tangisnya yang semakin keras. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Tirai kamarnya tersibak perlahan, menampilkan sosok wanita paruh baya dengan wajah teduh yang dipenuhi kerutan. "Kenapa kamu, Nak? Kenapa menangis?" tanya Bu Darmi dengan nada khawatir. Ia duduk di tepi dipan, tangannya yang kasar oleh kerja keras membelai lembut rambut putrinya. Asih tidak mampu menjawab pertanyaan ibunya. Isak tangisnya semakin menjadi-jadi, tubuhnya bergetar hebat menahan perih yang mengiris hati. Pembungkus alat tes kehamilan yang masih digenggamnya terlepas dan jatuh ke lantai semen. Mata Bu Darmi yang tajam menangkap benda asing itu. Dengan penasaran, ia memungut dan menatapnya. Seketika, kedua matanya membelalak tak percaya saat menyadari apa yang sedang dipegangnya. "Ya Tuhan ...," desahnya pelan. Asih segera bangkit dan bersujud di kaki ibunya. Tubuhnya bergetar hebat dalam isak tangis yang memilukan. "Maafkan Aku, Bu. Aku sudah mengecewakan Ibu." Bu Darmi terdiam beberapa saat. Tapi kemudian, sorot matanya melembut. Ia mengangkat wajah putrinya yang basah oleh air mata. "Tidak apa-apa, Nak," ucapnya lembut, meski suaranya juga bergetar menahan tangis. "Siapa lelaki itu? Apa dia akan bertanggung jawab dan secepatnya menikahimu?" Asih kembali terisak keras. Namun, kepalanya menggeleng pelan. Dahi Bu Darmi berkerut dalam. "Apa dia tidak bertanggung jawab?" Bu Darmi penasaran, namun mencoba tetap tenang. "Atau ... kamu diperkosa?" Asih lagi-lagi menggeleng. Bu Darmi kebingungan. Ia menggenggam tangan Asih, mencoba memberikan dukungan. "Katakan, Nak. Tidak perlu takut." "Dia ... Dia tidak bertanggung jawab, Bu." "Ya Tuhan ... Tapi kenapa?" "Dia ... Dia sudah beristri. Selama ini, dia membohongiku," jelas Asih sambil terisak. Hati Bu Darmi remuk melihat putri semata wayangnya dipermainkan begitu kejam. "Tapi ... Siapa, Nak? Siapa yang melakukannya?" tanya Bu Darmi penasaran. Walau bagaimana pun, ia harus tahu siapa ayah dari cucunya itu. "Ibu akan berusaha meminta pertanggung jawaban darinya." Namun, lagi-lagi Asih menggeleng. Ia tidak bisa mengatakan kalau Ardy-lah pria yang menghamilinya. Pasalnya, siapa yang tidak mengenal keluarga Wijaya, keluarga kaya raya pemilik kebun itu terkenal angkuh dan sangat berkuasa di desa. Asih takut ibunya akan marah dan menuntut pertanggung jawaban pada Ardy. Demi keselamatan bersama, Asih memilih bungkam. "Percuma saja, Bu. Dia bilang, dia tidak bisa menikahiku." "Ya Tuhan ...." Bu Darmi langsung memeluk Asih erat-erat. Air matanya ikut jatuh membasahi bahu putrinya. Mereka berdua larut dalam tangis kepedihan yang sama. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Bu Darmi di sela isak tangisnya. Jika kamu mengandung tanpa suami, tentu orang-orang akan menggunjingmu." Tiba-tiba, terdengar suara dari balik tirai. "Saya akan menikahi Asih." Asih dan Bu Darmi tersentak kaget. Mereka sontak menoleh ke arah sumber suara.Asih dan Galih langsung menoleh."Eh, Ibu sudah pulang," kata Asih sambil mengusap keringat di dahinya. "Aku sedang menyiapkan makan sore.""Mau ibu bantu?""Sudah selesai, Bu," kata Galih sambil tersenyum. Ia mengambil serokan dan memindahkan ikan yang sudah matang ke dalam piring."Ya sudah, kalau begitu Ibu mau mandi dulu.""Aku juga, Bu," kata Galih. "Tapi Ibu duluan saja, nanti saya belakangan."Bu Darmi mengangguk dan meletakkan bakul di atas lantai semen di pojok ruangan seperti biasa, kemudian melangkah ke luar rumah menuju kamar mandi tradisional yang terletak di belakang rumah.Kamar mandi itu sangat sederhana, terbuat dari dinding bambu dengan atap seng. Di dalamnya hanya ada bak air besar dari semen dan gayung plastik. Tidak ada kloset modern, hanya lubang tradisional yang sudah lazim digunakan di desa-desa terpencil.Setelah semua selesai mandi, mereka berkumpul di ruang tengah yang tidak terlalu luas untuk makan bersama. Tikar pandan tua digelar di lantai, di atasnya ter
Satu minggu berlalu dengan tenang. Pagi itu, Bu Darmi baru saja keluar rumah untuk berjualan jamu seperti biasa. Bakul anyaman bambu sudah tertata rapi di punggungnya, berisi berbagai macam jamu tradisional yang masih hangat.Ketika melewati warung Pak Bambang yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Bu Darmi disapa oleh beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk sambil menikmati teh pagi."Pagi, Bu Darmi!" sapa Bu Ima yang sedang menyeruput teh manisnya. "Mau kemana? Tumben pagi-pagi sekali.""Pagi juga, Bu Ima. Seperti biasa, mau jualan jamu," jawab Bu Darmi sambil tersenyum ramah.Bu Wati, yang duduk di sebelah Bu Ima, ikut menyahut. "Wah, rajin sekali ya Bu. Padahal sekarang kan sudah ada menantu, masa masih kerja keras begitu?"Bu Darmi hanya tersenyum tipis. "Ah, biasa saja kok, Bu. Lagipula, hidup kan harus tetap berusaha.""Iya, sih," timpal Bu Ima sambil mengangguk-angguk. "Tapi semoga saja menantu ibu bisa bantu-bantu, ya. Kan kasihan kalau ibu terus yang kerja keras.""Amin,"
Ardy masih terduduk di atas batu besar itu, jemarinya menelusuri permukaan kasar yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka. Matanya menatap kosong ke arah semak-semak tempat mereka pernah berbagi kehangatan, sementara pikirannya berputar-putar seperti pusaran air.Tidak sedikitpun ia memikirkan anak dan istrinya yang ada di Jakarta. Wajah mereka seakan terhapus dari ingatan, digantikan oleh bayangan Asih yang terus menghantui. Rahangnya mengeras ketika mengingat pernikahan Asih dengan pria yang entah siapa."Aku harus menemui Asih," gumamnya, tangannya mengepal erat. "Pokoknya Asih harus mencabut pernikahannya dengan pria itu. Aku tidak rela anakku mempunyai ayah pengganti."Ardy bangkit dengan gerakan tiba-tiba, namun langkahnya terhenti ketika ingatannya kembali pada ancaman Bu Darmi yang mengatakan akan membongkar semuanya pada ayahnya. Dadanya naik turun, nafasnya tersengal-sengal karena pergolakan batin yang hebat.Sejenak ia goyah, tangannya meremas rambut dengan frustasi. Nam
Sesampainya di rumah, Bu Darmi belum sempat meletakkan bakul jamunya ketika Galih yang baru saja keluar dari kamar, bersiap hendak pergi, langsung menghampiri mereka dengan wajah heran."Loh, mengapa sudah pulang, Bu?" tanya Galih sambil memperhatikan bakul jamu Bu Darmi yang masih penuh. Matanya kemudian beralih pada Asih yang berdiri di samping ibunya dengan wajah pucat dan mata sembab bekas menangis.Bu Darmi melirik Asih sekilas, lalu dengan cepat mencari alasan. "Ah, ini ... katanya Asih mual-mual," ucapnya sambil menurunkan bakul dari punggungnya dengan gerakan sedikit terburu-buru."Mual?" Galih langsung panik, alisnya berkerut dalam. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia segera menghampiri Asih dan dengan lembut menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk dulu, jangan berdiri terus."Dengan gerakan cekatan, Galih mengambil air hangat dari termos dan menuangkannya ke dalam gelas. Ia duduk di samping Asih yang terduduk lemah di atas tikar, kemudian menyodorkan gelas tersebut
Dua hari berlalu, saatnya Bu Darmi kembali ke rutinitas, yaitu berkeliling desa untuk berjualan jamu. Kali ini, ia tidak sendirian. Asih bersikeras ingin menemani."Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja di rumah. Kondisimu kan sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Darmi sambil menyiapkan bakul jamu.Asih menggeleng keras. "Tidak, Bu. Asih tidak betah terus-terusan di rumah. Asih bosan. Lagipula, jalan-jalan sedikit tidak apa-apa untuk ibu hamil muda.""Tapi nanti kamu capek, Nak.""Asih janji tidak akan memaksakan diri. Kalau capek, nanti Asih langsung bilang. Asih rindu sekali berkeliling desa seperti dulu," rayu Asih sambil menggenggam tangan ibunya.Bu Darmi menghela napas. "Baiklah, tapi jangan sampai memaksakan diri."Sebelumnya, keseharian Asih adalah memetik kopi di perkebunan milik keluarga Wijaya. Namun, sudah dua minggu ini Asih tidak pernah kembali ke perkebunan kopi karena tidak ingin bertemu lagi dengan Ardy."Jamu ... jamu ...." Asih dan Bu Darmi berjalan sambil menawarka
Tiga hari kemudian, pagi yang cerah menyambut hari bahagia Asih dan Galih. Di kamar kecil yang beralaskan tikar pandan, Asih duduk di depan cermin retak yang dipasang di dinding kayu. Bu Darmi dengan tangan gemetar merias wajah putrinya."Tahan ya, Nak," bisik Bu Darmi sambil mengoleskan bedak tipis di wajah Asih. Tangannya yang biasa kasar menangani rimpang-rimpang kini bergerak lembut di wajah putrinya. Asih hanya mengangguk pelan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat, bukan karena riasan, melainkan karena kegugupan yang memenuhi dadanya. Ia mengenakan kebaya putih sederhana, warisan mendiang neneknya. Kain batik yang sudah mulai pudar warnanya diselipkan dengan rapi di pinggang. Rambut hitamnya diikat sanggul sederhana, dihiasi dengan bunga melati yang dipetik Bu Darmi dari pohon di halaman."Cantik sekali putri Ibu," bisik Bu Darmi sambil menyisir anak rambut Asih yang terjuntai di pelipis. Air matanya hampir menetes melihat putrinya yang cantik itu.