Sebagai orang tua yang bijak, jangan sampai membuat anak-anak merasa kecewa. Jangan juga merendahkan pilihan anak. Siapa tau anak yang direndahkan akan menjadi anak yang lebih sukses. * *Lagi-lagi Bu Erin merasa dilangkahi karena Ryana dan Hasfi pergi tanpa pamit. Sebenarnya walaupun mereka pamit, Bu Erin pasti tidak akan mengizinkannya. "Bapak pasti yang mengizinkan mereka kan?" tanya Bu Erin emosi. "Kali ini Bapak yang salah! Karena Bapak juga tidak ada niat bilang ke Ibu kan?" Emosi Bu Erin naik turun, kali ini ia begitu geram dengan anak dan menantunya. Niatnya untuk menyiapkan makan malam sekeluarga tentu saja buyar. Tentu saja membeli semua bahan makanan mentah itu pakai uang dari Hasfi. Sudah bisa ditebak, alasan utama Bu Erin tidak memperbolehkan Hasfi dan Ryana mengontrak adalah agar ia bisa mendapatkan uang belanja dari Hasfi. Padahal Hasfi tadi sengaja memberikan uang tersebut karena ia merasa tidak enak karena dianggap menumpang hidup oleh mertuanya. Lelaki mana yang
Ryana, Hasfi, dan Bu Hasna asyik bercengkrama hingga mereka melupakan Lia yang tadi mengantar Bu Hasna. Bu Hasna pun baru menyadari kalau ia ke rumah kontrakan putranya bersama dengan keponakannya itu. Bu Hasna beranjak dari duduknya. Ia setengah berlari menuju ruang tamu. Sepi. Ternyata benar, Lia sudah tidak ada duduk di sana. "Astaga, Lia kok enggak ada. Kemana sih tuh anak?" gumam Bu Hasna mencari keberadaan keponakannya itu. Ia memanggil Lia. Namun tidak ada jawaban. Sepeda motor matic Lia masih ada di sana. Kunci kontak motor Lia tergeletak di teras. Ryana dan Hasfi heran mendengar Bu Hasna memanggil Lia. Mereka pun beranjak ke depan dan menanyakan apa yang terjadi. "Emang kenapa dengan Lia, Bu?" tanya Hasfi dengan perasaan tidak enak. "Lia enggak ada, Fi. Tadi kan dia duduk di depan sendirian. Salah Ibu juga sih tadi Ibu enggak ngajak dia duduk di ruang tengah sama kita," jawab Bu Hasna menyesal. "Ya ampun, Bu. Kok bisa Lia enggak ada. Apa dia pergi tanpa pamit? Ibu suda
Memiliki pasangan yang mencintai dan setia dengan kita adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Meski Ryana masih dalam tahap belajar mencintai suaminya. Namun ia yakin kalau Hasfi bisa menjadi suami yang baik dan bisa membimbing dirinya menjadi istri yang sholehah. * * "Apa itu, Bang?" tanya Ryana penasaran. Ia juga tidak paham dengan apa yang ada di pikiran suaminya. Hasfi menghela nafas. Ia mencoba mengatur kata-kata yang akan ia ucapkan kepada istrinya. Takut kalau sang istri akan salah paham. Maka akan berdampak kepada hubungan dan keharmonisan rumah tangga mereka. Pastinya Hasfi harus menyusun kata-kata yang tepat agar sang istri tidak tersinggung. "Ka-kamu enggak keberatan kan kalau kita menunda anak dulu?" tanya Hasfi hati-hati. Ryana tersenyum. Sebenarnya ia pun ingin mengatakan hal yang sama kepada Hasfi , namun serasa tertahan. Ia takut kalau Hasfi tidak setuju dengan isi hatinya. "Aku justru senang, Sayang. Aku sudah beberapa hari yang lalu terpikir akan hal ini. Namu
"Wah, nama yang bagus," celetuk Lia yang kagum dengan Ezra. "Iya, dong. Oh ya, kamu pasti udah laper kan? Ayo, kita makan bareng gimana?" tanya Ezra tersebyum. "Iya, Mas. Aku sudah laper nih. Tau aja sih. Hehehe." Wajah Lia memerah karena Ezra begitu perhatian padanya. Baru kali ini seumur hidupnya, ada cowok yang begitu perhatian pada dirinya seperti ini. Kebanyakan cowok akan menjauhinya karena penampilannya yang kuper dan jadul. Namun semenjak ia bekerja dengan Tantenya alias Ibunya Hasfi. Penampilan Lia kini berubah menjadi modis. Wajahnya juga sudah mengenal skincare dan makeup minimalis. Semua itu bisa Lia lakukan karena Bu Hasna tidak pernah perhitungan soal gaji. Apalagi ia juga kasihan dengan keponakannya yang sudah kehilangan orangtuanya sejak duduk di bangku SD itu. "Mau makan dimana?" tanya Ezra dengan sabar. "Makan dimana aja, Mas. Terserah. Aku sih oke aja," jawab Lia yang tidak sungkan menerima ajakan Ezra. Ia lupa kalau tadi meninggalkan sepeda motornya di rumah
Begitu lah kehidupan. Kadang kita dihadapkan dengan orang-orang yang menghalangi jalan kita. Namun sebisa mungkin tetaplah kita teguh pada pendirian kira. Jangan sampai larut terhadap arus orang-orang yang tidak menyukai kita. * * Ezra terkejut bukan main karena bertemu dengan Ryana di sini. Sungguh ini adalah pertemuan yang tidak ia sangka sama sekali. "Lho jadi kalian saling kenal?" tanya Lia kebingungan. "Enggak kok. Ya, maksudnya cuma kenal gitu doang," jawab Ezra dengan cepat berkelit. Ryana tersenyum tipis. Ia mengajak Hasfi masuk. Ia paham maksudnya Lia tidak ingin diganggu oleh kehadiran mereka. "Ya Allah. Syukurlah kamu pulang, Lia. Tadi Hasfi menghubungi kamu, katanya nomor kamu enggak aktif. Kamu kemana aja sih?" celetuk Bu Hasna yang langsung memecah ketegangan di antara mereka. "Ma-maaf, Tante. Habisnya Lia tadi sibuk jalan sama temen. Maaf ya, kita tadi ada urusan penting," jawab Lia mencoba berkelit. "Oh iya, enggak papa. Suruh temannya masuk. Udah magrib, engga
Hasfi mengira keadaan akan baik-baik saja setelah dia pindah dari rumah mertuanya. Ia bahkan sempat berpesan kepada Pak Iman agar jangan memberi tau siapa pun dimana alamat rumah kontrakannya. Namun ia sendiri juga tak menyangka kalau ibu mertuanya akan nekat kemari. Tetapi ia yakin kalau yang memberikan alamat rumah kontrakannya pasti Bapak mertuanya itu. Hasfi mencoba untuk bersikap tenang. Baginya sudah biasa dan bahkan makanan sehari-hari dicibir hanya mahasiswa namun berani menikahi seorang gadis adalah hal yang biasa ia terima. Sekarang ia sudah terbiasa menikmati cibiran tersebut. Justru dengan cibiran tersebut bisa menjadi cambukan agar kehidupannya lebih baik. Hasfi tersenyum. Begitulah jawaban yang akan ia berikan kepada lontaran hinaan yang ditujukan pada dirinya. Terang saja hal tersebut malah membuat Bu Erin makin berang. "Ditanyain orangtua kok malah senyum-senyum? Emangnya kamu senang ya aku bilang pengangguran. Emang dasarnya kayaknya kamu pengangguran deh. Bohong
Hasfi dan pria tua itu saling bertatapan mata. Pria tua itu merasa sangat mengenal Hasfi. Begitu juga dengan Hasfi. Mereka berdua terkejut dan terperangah melihat satu sama lain. "A-ayah," gumam Hasfi lirih ketika menoleh ke pria itu. Kata-kata yang baru saja diucapkan Hasfi itu meluncur begitu saja, seolah tanpa ia sadari.Begitupun dengan pria tua itu. Sejak pertama kali pria tua itu sudah curiga kalau yang ia lihat itu adalah anaknya. Belasan tahun ia tidak melihat putranya. Ketika dulu ditinggalkan, Hasfi masih duduk di bangku SD. Kini Hasfi sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang berwajah tampan dan gagah. Tetapi garis wajah Hasfi tetap diingat oleh si pria itu. Hubungan darah sampai bagaimana pun tetaplah kental dan tidak akan pernah terputus sampai kapanpun. Begitu juga dengan Hasfi dan Pak Alfian. Keduanya saling mengenal. Hasfi juga tidak bisa menghindar. "Iya, Nak. Kamu Hasfi kan? Alhamdulillah, kamu masih ingat Ayah." Pak Alfian terharu. Matanya berkaca-kaca.Hasfi se
Pak Alfian malah semakin tertawa dengan pertanyaan Hasfi. Ya, ia baru tau Hasfi pernah menyambangi rumahnya ketika SMP dari Satpam Komplek. Itupun ketika sebulan sesudah kejadian. Waktu itu memang istri keduanya sedang hamil. Pak Alfian memarahi istrinya yang tidak memberitahukan kalau anaknya kemari. Tania pun berbohong dan berkata kalau Hasfi kemari karena ingin minta uang. Tania juga bilang ia langsung saja memberikan uang yang diminta Hasfi. Padahal Hasfi tidak ada menerima uang sepeser pun dari Ibu tirinya itu. Sebagai seorang suami yang baik. Pak Alfian percaya saja dengan kata-kata istrinya. Tentu saja Tania berusaha merayu dan menangis tersedu-sedu dengan air mata buayanya. Pria itu lama-lama luluh juga dengan tangisan istrinya. "Sudah Ayah usir dari rumah ini. Ketiga anak itu memang anak Tania. Sekalian juga Ayah usir, biarkan saja mereka ikut Mamanya," jawab Pak Alfian dengan santai."Bu-bukankah waktu Hasfi kemari, Bu Tania sedang mengandung?" tanya Hasfi dengan suara be