Kedua mata Aldi terbelalak. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka kalau sebelum ijab qobul diucapkan, Ryana telah mengetahui aibnya. Aib yang selama ini ia tutup rapat-rapat agar jangan sampai ketahuan sang kekasih. Namun Tuhan memang Maha Baik, ia tidak akan membiarkan gadis baik seperti Ryana berjodoh dengan pria macam Aldi.
Sementara Rayyan tersenyum menyeringai. Seketika hatinya merasa puas, Ryana yang tadinya hanya diam saja. Kini berani buka suara dan bertindak. "K-kamu, d-dapat darimana video itu?" tanya Aldi gelagapan. Sementara di sofa, Bu Rusli banjir air mata. Sungguh wanita tua itu tidak dapat membendung segala perasaannya yang campur aduk menjadi satu. Bu Rusli merasa Aldi telah menaruh kotoran di wajahnya. Rasa malu dan sedih kini dirasakan di benaknya. Pak Rusli pun berusaha menenangkan istrinya sambil mengusap punggungnya. Mereka menyadari kesalahan yang dilakukan anaknya cukup besar dan sulit dimaafkan. "Halah, enggak penting kami tau darimana! Kamu enggak bisa mengelak lagi, Mas," seru Rayyan berang. Aldi bak seorang penjahat yang ketahuan mencuri. Pria itu kini merasa gelisah. Dia merasa kalau selama ini telah menutup rapat-rapat 'rahasianya' dari Ryana. Kalau ditanya, dia mencintai Ryana atau tidak. Jawabannya pasti iya. Namun cinta hanya sebatas di mulutnya saja. Percuma cinta hanya di mulut saja. Buktinya Aldi juga tidak bisa menahan nafsu syahwatnya sebelum ijab qobul ia lafadzkan. Jelas ini namanya sudah terang-terangan berzina. "Benar kan yang di video itu kamu, Mas?" Ryana terus saja mencerca Aldi. Aldi terdiam. Percuma saja mengelak. Bukti sudah ada di hadapan. Pernikahannya dengan Ryana yang sudah di depan mata terancam gagal."Sudahlah, Mas. Akui saja! Memang pria yang ada di video itu kamu kan, Mas? Huh, aku engga menyangka aja selama ini. Di balik sosok Mas Aldi yang baik, alim, dan pendiam. Ternyata kamu malah berzina dengan perempuan jal4ng. Kamu enggak pantas bersanding dengan kakakku, Mas. Lebih baik pernikahan kalian dibatalkan saja. Daripada kakakku menderita seumur hidup karena teringat oleh ulah kotormu," kata Rayyan kembali menimpali. Wajah Aldi memerah, ia begitu geram mendengar kalimat yang diucapkan oleh adik Rayyan. Ia menilai Rayyan terlalu ikut campur urusan dengan Ryana. Aldi benci bila urusannya terlalu diikut campur i Tentu saja, Aldi tidak ingin pernikahannya dengan Ryana besok batal. Ia masih ingin memperjuangkan Ryana menjadi istrinya. "Hei, anak kecil. Enggak usah ikut campur kamu! Jangan banyak bacot! Biarkan aku dan Ryana yang akan menentukan masa depan kami. Kamu itu cuma anak kecil yang enggak tau apa-apa. Ryana itu mencintaiku. Aku yakin itu. Masa cuma gara-gara kejadian kayak gini aja pernikahan kami harus batal. Ah, enggak akan. Mana masakan sudah dimasak, undangan sudah disebar, dan dekorasi juga sudah dipasang," sahut Aldi dengan percaya diri. Rayyan dan Ryana mencebikkan bibir mereka. Sudah tau salah, namun Aldi masih saja sombong. Tidak ingat kalau dirinya sudah melakukan kesalahan fatal. Lagipula wanita mana yang mau menikah dengan lelaki yang sudah bergonta-ganti pasangan. "Jelas persoalan ini juga urusanku, Mas. Karena Ryana adalah kakakku. Jadi aku berhak tau urusannya. Jangan kepedean juga kamu, Mas. Mana mungkin kakakku mau menikah dengan kamu," balas Rayyan makin kesal."Sudah, sudah, cukup! Pernikahan kita batal, Mas! Kesalahanmu sangat fatal. Mohon maaf, aku tidak mau menikah dengan pria yang telah berbagi tubuh dengan wanita lain. Jadi besok Mas dan kedua orantua Mas tidak perlu datang ke rumahku. Pernikahan kita batal. Maaf aku membatalkan pernikahan kita. Aku tidak peduli dengan makanan yang sudah dimasak maupun undangan yang sudah disebar. Hatiku saat ini hancur, Mas," kata Ryana dengan tatapan nanar. Aldi yang sudah terlanjur kepedean, kini tertegun. Ia tidak menyangka kalau Ryana yang polos malah membatalkan pernikahannya secara sepihak. Orangtua Aldi yang dari tadi hanya mendengarkan percakapan mereka, akhirnya pasrah. Mereka tidak bisa memaksakan kehendak Ryana. Biar bagaimanapun keputusan tetaplah di tangan Ryana. "Apa? Aku enggak salah dengar nih? Kamu membatalkan pernikahan kita? Oh, My God. Apa kata orang dan kata keluargamu, Ry? Apa kamu enggak malu?" sahut Aldi yang syok namun ia berusaha menutupi kegelisahannya. Aldi mengira kalau pernikahannya dengan Ryana akan tetap terjadi besok karena semua persiapan pernikahan mereka sudah matang seratus persen. Makanya ia tetap percaya diri walaupun ia sudah dengan sengaja mengkhianati Ryana. "Tidak, Mas. Aku sama sekali tidak malu membatalkan pernikahan kita. Daripada aku menjalani seumur hidupku dengan pengkhianat sepertimu, Mas." Kalimat yang diucapkan Ryana bagaikan sebuah bel4ti yang menusvk hatinya. Sangat sakit rasanya. "Tapi, Ry. Maaf aku khilaf. Aku enggak sengaja menaklukannya," jawab Aldi tertunduk. Kini penyesalan mulai menghinggapi benaknya. Ia memang awalnya tidak pernah memikirkan bagaimana dampak perbuatannya sebelum berbuat hal tidak terpuji itu. Ryana menatap ke arah lain. Sungguh nyeri hatinya menatap wajah kekasih yang begitu dicintainya, namun tega mengkhianatinya. Apa yang ia perjuangkan selama ini terasa sia-sia. "Maaf, maaf. Mudah sekali kamu mengucapkan kata maaf setelah luka yang kamu torehkan kepadaku, Mas? Wanita mana yang sanggup menerima lelaki pengkhianat seperti kamu," balas Ryana sambil menahan rasa sakit yang semakin lama malah kian terasa begitu menyakitnya. Ibaratnya Aldi sedang menuangkan cairan garam di atas lukanya yang menganga lebar. "Kenapa kamu enggak bisa memaafkanku, Ry. Aku cinta sama kamu. Kamu juga cinta sama aku kan. Oke, habis ini aku janji enggak akan mengulangi perbuatan itu lagi, Ry," jawab Aldi menyakinkan kekasihnya. "Semudah itu kamu mengucapkan janji setelah menyakitimu, Mas. Sama sekali kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku yang sudah tersakiti karena ulahmu. Bagiku tidak ada namanya maaf bagi seorang pengkhianat. Belum menikah saja sudah berani berselingkuh, apalagi nanti ketika sudah berumah tangga. Maaf, lebih baik kita putus saja. Pernikahan kita batal. Kamu tidak perlu bersedih kalau kita tidak jadi menikah, Mas. Kamu bisa menikah dengan wanita selingkuhan kamu itu. Permisi." "Bapak, Ibu. Maafkan saya tidak bisa melanjutkan hubungan ini ke jenjang pernikahan. Saya tidak sanggup, Bu, Pak. Maafkan saya memilih jalan saya sendiri. Saya yakin setelah ini saya dan Aldi mempunyai jalan masing-masing untuk meraih kebahagiaan tanpa harus kami bersatu dalam sebuah pernikahan," kata Ryana kepada Bapak dan Ibu Rusli. Bu Rusli pun beranjak dari tempat duduknya. Wanita tua itu menghambur memeluk Ryana. Ia tau perasaan yang kini dirasakan Ryana. Ia juga tidak bsia menahan keputusan Ryana. Ryana pun memeluk balik calon mertuanya yang tidak akan pernah menjadi mertuanya itu. Kini keduanya larut dalam isak tangis. "Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu dan Bapak yang telah gagal mendidik Aldi. Kami berdua menghargai keputusanmu, Nak. Kami juga tidak tega melihat gadis sebaik kamu bersanding dengan anak kami. Kamu berhak meraih kebahagiaamu sendiri," ujar Bu Rusli sambil memeluk erat tubuh Ryana.Pedih bagai tersayat-sayat yang dirasakan oleh Bu Hasna. Pak Alfian serasa kembali mengoyak luka lamanya yang perlahan sudah mulai sembuh. Padahal sebelumnya Bu Hasna berharap tidak akan pernah bertemu dengan mantan suaminya. Memang hanya sekali saja ia bertemu dengan suaminya setelah resmi palu perceraian itu terjadi. Ya, waktu itu ketika Hasfi dan dirinya melihat Pak Alfian membelikan mainan untuk ketiga anak tirinya. "Hasna! Tunggu, Hasna! Aku mohon jangan pergi," pekik Pak Alfian sambil mengejar Bu Hasna yang berjalan meninggalkannya. Lia merasa situasi saat ini sedang tidak kondusif. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia meninggalkan Tantenya dalam situasi sulit seperti ini. Ia pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bu Hasna. Ya, menjadi single parent bagi seorang Bu Hasna bukanlah hal yang mudah. Walau ia hanya punya anak tunggal. Bukan berarti ia bisa dengan mudah menjalani semua ini.Bu Hasna terus melajukan jalannya. Begitu juga Lia yang berada di
Ya, malam ini Hasfi tidak bisa tertidur. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terutama pikirannya tertuju pada masa lalunya yang kelam. Hidup beranjak dewasa tanpa didampingi dan mendapat kasih sayang dari sang ayah memanglah berat buat Hasfi. Tetapi sang ibunda terus menguatkannya dan memberikan semangat. Bahwa hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa ayah di sisinya. Mulanya Hasfi meratapi nasibnya. Nasibnya memang berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Perlahan ia mencoba menerima. Waktu bermainnya otomatis berkurang karena harus membantu ibunya mencari uang. 'Ya Allah, begitu pelik rasanya kehidupanku di masa lampau. Tidak menyangka kalau kehidupanku saat ini berubah total. Yang asalnya tidak punya apa-apa, sekarang malah berlebih. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas semua karunia yang Engkau berikan,' gumam Hasfi dalam hati. Pria muda itu melirik istrinya yang tertidur di sebelahnya. Wajah ayu Ryana terlihat teduh. Tak salah memang sejak lama ia mengagumi sosok Ryana. Y
Ryana sebenarnya senang saja karena akan pindah dari kontrakan ini. Apalagi kata Hasfi rumah yang akan mereka tinggali itu adalah rumah milik Ayahnya. Hanya saja mereka baru beberapa hari pindah ke rumah ini, masa baru pindah lagi? Ibarat kata, rasa lelah karena pindahan belum sepenuhnya hilang. Ryana terdiam beberapa menit. Begitu pun Hasfi. Makanan yang tadi dibawakan Hasfi dari rumah Ayahnya juga tidak ada mereka sentuh. Hasfi masih agak kenyang. Begitu pula dengan Ryana yang tadi siang makan di sekolah. Sampai-sampai Hasfi melupakan rasa sakitnya akibat jatuh dari sepeda motornya."Besok kamu pijat refleksi aja, Bang. Mana habis jatuh gitu," celetuk Ryana memecah keheningan di antara mereka. "Ah, iya. Boleh juga, Yang. Kamu juga ikut pijat ya, nemenin aku," balas Hasfi langsung menyetujui. "Oke. Ya sudah. Kita pindah aja lagi, Bang. Tapi jangan besok juga. Kan aku mesti ngajar, kamu juga harus kuliah. Belum lagi malam hari kita kudu pijat. Hari Minggu nanti aja kalo mau pindaha
"Kalau begitu Hasfi pulang dulu, Yah," kata Hasfi ingin berpamitan kepada Ayahnya. Ia merasa tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan kepada Ayahnya. "Lho kok pulang sekarang? Apa kaki dan tanganmu udah enggak sakit lagi? Biar Agus dan Budi aja nanti yang nganterin kamu pulang," jawab Pak Alfian terkejut karena Hasfi ingin pulang. Agus dan Budi adalah supir dan ART di rumah Pak Alfian. "Tapi Hasfi belum membuat video konten untuk pekerjaan, Yah." "Oh gitu ya sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Pak Alfian membuka tas kerjanya. Ia mengeluarkan uang sejumlah sepuluh juta dari dompet besarnya, lalu memberikan uang itu kepada putra sulungnya itu."Ini uang yang Ayah janjikan tadi. Terimalah. Anggap saja sebagai ganti bayar uang sewa dan hadiah pernikahanmu. Oh iya, nanti kalau sudah tiga bulan di kontrakan. Kamu sebaiknya pindah ke rumah Ayah. Cukup dekat dari sini. Hanya berbeda blok saja. Kalau rencanamu ingin membangun rumah, sebaiknya diurungkan saja rencanamu. Lebih baik uang
Hasfi kecewa dengan sikap sang Ayah yang tidak mempercayainya. Di sisi lain ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kembali dirinya dengan ayah kandungnya sendiri. Dari kata-kata Pak Alfian memang sudah terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya seperti sedang meremehkan anaknya sendiri. Padahal kualitas Hasfi jauh sekali di atas anak-anak Tania yang ia rawat bertahun-tahun. Tetapi mental mereka mental kerupuk. Tidak tahan banting. Jauh berbeda dengan Hasfi yang mentalnya sudah kuat, tidak lapuk karena badai kehidupan yang menghantam. "Apa tujuan kalau Hasfi berbohong dengan Ayah? Adakah Hasfi terlihat sebagai anak yang pembohong? Untuk apa juga Hasfi sombong berkata kepada Ayah kalau penghasilan Hasfi memang adanya begitu. Hasfi hanya ingin membuktikan kepada Ayah. Kalau anak yang dulu Ayah telantarkan demi wanita lain, malah lebih sukses dengan kaki dan tangan sendiri. Oh, tentunya juga dengan bimbingan dan kasih sayang Ibu yang tidak kenal lelah mendidik
Pak Alfian malah semakin tertawa dengan pertanyaan Hasfi. Ya, ia baru tau Hasfi pernah menyambangi rumahnya ketika SMP dari Satpam Komplek. Itupun ketika sebulan sesudah kejadian. Waktu itu memang istri keduanya sedang hamil. Pak Alfian memarahi istrinya yang tidak memberitahukan kalau anaknya kemari. Tania pun berbohong dan berkata kalau Hasfi kemari karena ingin minta uang. Tania juga bilang ia langsung saja memberikan uang yang diminta Hasfi. Padahal Hasfi tidak ada menerima uang sepeser pun dari Ibu tirinya itu. Sebagai seorang suami yang baik. Pak Alfian percaya saja dengan kata-kata istrinya. Tentu saja Tania berusaha merayu dan menangis tersedu-sedu dengan air mata buayanya. Pria itu lama-lama luluh juga dengan tangisan istrinya. "Sudah Ayah usir dari rumah ini. Ketiga anak itu memang anak Tania. Sekalian juga Ayah usir, biarkan saja mereka ikut Mamanya," jawab Pak Alfian dengan santai."Bu-bukankah waktu Hasfi kemari, Bu Tania sedang mengandung?" tanya Hasfi dengan suara be