Ryana yang masih belum bisa menerima kenyataan yang ada, semuanya terasa begitu cepat badai ini menghantam dirinya dan meluluhlantakkan perasaannya tanpa perasaan. Semuanya bagaikan mimpi buruk namun mimpi itu menjadi kenyataan yang sulit diterima.
Semenit berlalu begitu saja, mereka lalui tanpa suara. Akhirnya mengiyakan ajakan adik laki-lakinya. Biar bagaimanapun ia harus meminta penjelasan kepada Aldi tentang semua ini. "Ayo cepat Mbak, kita ke rumah Aldi! Tunggu apa lagi? Aku malah pengen cepet-cepet menghaj*rnya," kata Rayyan sambil mengepalkan kedua tangannya. Rasanya pemuda itu tidak sabar ingin segera melayangkan tinjunya ke wajah pria yang katanya menjadi calon suami."Bentar, bentar, Yan. Aku ngambil kerudung dan tas dulu." Ryana yang sudah memakai daster lengan panjang untuk tidur, kemudian dengan cepat memakai jaket rajut, kerudung bergo berwarna hitam, dan tas tangannya. Rayyan juga ke kamarnya mengambil jaket dan dompet. Ia segera memakai jaket kesayangannya dan memasukkan dompetnya ke celana saku celana jeans-nya. Ryana malah tertegun di depan pintu kamarnya. Ada perasaan ragu tiba-tiba menyusup di dalam hatinya. Entah ada apa gerangan, ia merasa sangsi akan melakukan hal ini. Padahal esok adalah hari bahagianya. Esok dirinya dan Aldi akan sah menjadi bersanding sebagai sepasang suami istri. Namun hal itu nampaknya akan mustahil bisa terjadi besok. "Mbak, kenapa kamu malah bengong gitu? Buruan kita ke rumah Aldi!" seru Rayyan yang sudah tak sabaran ingin memberikan pelajaran pada calon suami kakaknya itu. "Eh, enggak, Yan. Kita enggak izin dulu kalau mau pergi dengan Ayah dan Ibu?" balas Ryana mengalihkan pembicaraan. "Lah, enggak usah, Mbak. Keburu kabur itu calon suamimu sebelum kukasih pelajaran. Bukan enggak mungkin kan kalau si Mas Ezra dengan bangga memberi tau dia kalau kamu sudah tau yang sebenarnya." "Eh, iya juga ya." Ryana terlihat agak berat. Memang sakit ia rasakan saat ini, namun ada rasa ragu juga menyelinap. "Ayo, Mbak tunggu apa lagi! Kita enggak punya banyak waktu." Rayyan sudah tidak sabara dengan kakaknya yang masih banyak memikirkan segala sesuatu yang akan terjadi. Mereka berdua segera bergegas menuju rumah Aldi dengan mengenakan sepeda motor Rayyan. Rayyan mengebut karena kesal dan geram dengan Aldi. Bu Erin terbangun karena mendengar suara pintu garasi dibuka dan deru sepeda motor Rayyan. Sebenarnya wanita paruh baya itu mendengar suara anak-anaknya sedang bercakap-cakap. Namun ia hanya mengira kalau kedua anaknya hanya berbicara hal biasa. Lelah juga sudah mendera tubuhnya karena dari tadi sibuk memasak. Walaupun sudah ada beberapa tetangga dan sanak saudara yang membantu, namun Bu Erin tidak enak kalau tidak turun tangan langsung. "Lho tadi kayaknya suara si Ryana dan Rayyan lagi ngobrol? Kok tiba-tiba ada suara deru motor? Apa mereka pergi? Tapi pergi kemana?" gumam Bu Erin yang firasat hatinya tidak enak. Bu Erin mengucek matanya dan bangkit lalu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Kemudian ia melirik suaminya yang dari tadi sudah mendengkur karena juga lelah dan sibuk seharian mengurus persiapan pernikahan putri sulungnya. Wanita itu seperti enggan membangunkan suaminya dari tidur nyenyaknya. "Aku harus mengecek kamar Ryana." Bu Erin turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar putrinya. Namun betapa terkejutnya ketika mendapati kamar putrinya yang sudah tidak ada. Kamar yang sudah dihias dengan dekorasi ala kamar pengantin itu juga sedikit berantakan. Terlihat dari seprai dan selimut yang tidak karuan bentuknya. "Astaghfirullah, Ry, Ryana! Ryana." Berkali-kali Bu Erin memanggil putrinya dan mencarinya hingga ke sudut ruangan rumahnya. Namun hasilnya nihil. Pak Iman--Ayah Ryana dan Rayyan-- terbangun karena mendengar suara istrinya yang terdengar seperti orang panik. Langsung saja lelaki tua itu bangkit dan menghampiri sang istri. "Ada apa ribut-ribut sudah larut malam begini, Bu?" tanya Pak Iman dengan heran. Kening pria itu tampak berkerut. Bu Erin wajahnya seperti orang yang putus asa karena anaknya besok yang akan menikah malah pergi menghilang tanpa pamit. "Ryana tidak ada di kamarnya, Pak. Ibu juga sudah mencarinya dimana-mana tapi Ryana tetap tidak ada. Ibu takut kalau terjadi apa-apa dengannya," jawab Bu Erin cemas. "Ya Allah, tenang, Bu. Apa Ryana perginya bersama dengan Rayyan?" Pak Iman tetap berusaha untuk tenang. Walau kecemasan juga melanda hatinya. "Iya, ya. Rayyan juga enggak ada kayaknya, Pak." "Coba cek dulu Rayyan di kamarnya. Kali aja emang dia beneran enggak ada. Siapa tau ada yang sesuatu yang mendadak yang harus dibeli. Ibu jangan panik dulu." Pak Iman berusaha menenangkan istrinya. Namun tetap saja perasaan tidak enak mengusik bathinnya. Naluri seorang Ibu memang tidak dapat dibohongi.Bu Erin langsung bergerak menuju kamar Rayyan dan mendapati sang putra bungsu tidak ada di sana. Hati wanita itu sedikit tenang, namun tetap saja sedih mendapati kedua anaknya tidak ada di rumah. "Benar katamu, Pak. Anak-anak memang tidak berada di rumah? Bagaimana ini? Semoga mereka baik-baik saja," keluh Bu Erin yang malah semakin khawatir. Bukannya hatinya tenang mendapati Ryana yang akan menikah pergi bersama Rayyan. Pak Iman hanya bisa menghela nafas panjang. Sebenarnya hatinya sama khawatirnya dengan sang istri. Bu Erin pun mengambil ponselnya dan mencoba menelepon kedua anaknya. Namun tidak ada jawaban dari mereka. Lemas lah rasanya kini persendian Bu Erin dan Pak Iman. Keduanya hanya bisa berharap kepada Sang Maha Kuasa agar anak-anak mereka selalu dalam lindunganNya. * * Ryana terpaksa berpegangan erat-erat ke pinggang adiknya karena gadis itu takut terjatuh. Rayyan memang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Rasa emosi telah memicu adrenalinnya untuk bekerja lebih keras. Tak ayal saat ini ia sudah tidak peduli lagi dengan keselamatannya, yang terpenting cepat tiba di tujuan. "Yan, pelan-pelan dong! Kamu kira kamu naik motor sendirian. Aku takut," seru Ryana dengan keras agar adiknya mendengar perintahnya. Ia juga memukul bahu adiknya agar adiknya memelankan laju motornya. "Sabar ya, Mbak. Pegangan yang erat. Kita sudah tidak ada waktu lagi untuk si pengkhianat. Kita harus segera memberikan pengkhianat itu pelajaran. Sebelum dia kabur dan tau kalau kamu telah mengetahui semua aibnya," tukas Rayyan dengan geram. Ryana semakin mengencangkan pegangan tangannya di pinggang adiknya. Memang sedari kecil dua kakak beradik itu sudah akrab. Jadi mereka tidak canggung lagi. Mereka jarang bertengkar, walau sifat Rayyan keras. Namun ia tidak mau ada orang apalagi yang katanya mengaku sebagai calon suami tetapi malah mengkhianatinya. Sepuluh menit mereka tiba di rumah Aldi yang berada di sebuah komplek. Padahal jarak rumah mereka dan Aldi cukup jauh. Biasanya ditempuh dalam waktu dua puluh menit. Ryana langsung turun dari sepeda motor adiknya. Sementara itu Rayyan juga memarkir sepeda motornya sembarang. Ia sudah tidak mempedulikan lagi keadaan yang ada di sekitarnya. Suasana di lingkungan komplek rumah Aldi cukup sepi karena orang-orang sudah pada istirahat. Tetapi sebentar lagi Rayyan akan membuat keributan dan perhitungan. Rumah Aldi tidak berpagar. Memang komplek yang ditempati oleh Aldi adalah komplek masyarakat menengah. Jadi masih ada beberapa rumah di blok ini yang belum berpagar. Rumah Aldi adalah rumah dengan bangunan gaya sederhana. Aldi juga sama seperti Ryana Rayyan yang sudah terlanjur geram dan emosi, berjalan menuju pintu rumah Aldi. Ryana sudah berpesan agar sang adik tidak terlalu menimbulkan kegaduhan karena ia takut kalau-kalau mereka akan diamuk oleh warga karena berani membuat keributan di kampung orang. "Aldi! Aldi! Keluar kamu baj*ngan!" Rayyan mengetuk dengan keras pintu rumah Aldi berkali-kali. Padahal ada Rayyan bisa saja memencet bel. Tetapi ia merasa lebih puas jika menggedor pintu rumah Aldi dengan keras. Ryana nampak khawatir dengan sikap adiknya. Meski kemarahan dan rasa nyeri tidak tertahankan menghimpit dadanya. Namun ia panik. Apalagi mereka sengaja kemari untuk membuat onar. "Yan, pelan-pelan dong mengetuknya. Kalau memang Mas Aldi terbukti bersalah, kita masih bisa membicarakannya baik-baik. Bukan membuat onar di rumah orang lain," sergah Ryana yang mulai panik. Merasa kakaknya yang masih bersikap lembek, malah membuat Rayyan semakin kesal. Harusnya Ryana mendukung aksinya. Namun ternyata raut wajah gadis itu masih memancarkan kekhawatiran dan kepanikan. Memang Rayyan sadar kalau yang dia lakukan salah dan akan memicu pertikaian. "Ya ampun, kenapa kamu masih lembek begini, Mbak? Udah jelas kalau calon suamimu itu selingkuh dan main sama cewek lain! Andaikan claonmu itu baik-baik aja. Ngapain aku bikin onar di rumah orang?" jawab Rayyan dengan gemas. Terdengar derap langkah cepat dari dalam rumah Aldi. Entah Aldi sendiri atau orangtuanya yang menghampiri mereka. Kriitt. Pintu pun dibuka. Sesosok lelaki paruh baya membuka pintu untuk mereka. Lelaki yang seharusnya akan menjadi ayah mertua Ryana itu menatap kedua anak muda itu dengan mata nyalang. "Ada apa malam-malam ribut begini? Siapa kamu?" Pak Rusli--Ayah Aldi-- beberapa detik kemudian melihat Ryana yang berada di belakang Rayyan. Ryana nampak ketakutan melihat raut emosi dari wajah Pak Rusli. Apalagi pria itu juga baru saja larut ke alam mimpi. Tetapi Ryana dan Rayyan malah membangunkannya. "Lho ternyata kamu Ryana? Ada apa malam-malam begini kemari, hah? Lah ini siapa kamu? Selingkuhan kamu kah?" Pak Rusli malah mencerca Ryana.Padahal seharusnya Ryana lah yang marah atas ulah Aldi, tetapi kali ini malah Ayah Aldi yang marah duluan pada mereka. Pak Ruli sebenarnya sudah pernah bertemu dengan Rayyan ketika acara lamara, namun pria tua itu lupa dengan hal tersebut. "Langsung saja, Pak. Tidak usah berbasa-basi. Saya adiknya Mbak Ryana. Bukankah kita sudah pernah bertemu ketika acara lamaran Mbak Ryana dan Mas Aldi? Apa Bapak lupa. Saya kemari hanya ingin memberitahukan kalau saya sebagai adik dari Mbak Ryana ingin membatalkan pernikahan Mbak Ryana dan Mas Aldi karena Mas Aldi sudah terbukti berkhianat terhadap Mbak Ryana," sahut Rayyan berapi-api.Pedih bagai tersayat-sayat yang dirasakan oleh Bu Hasna. Pak Alfian serasa kembali mengoyak luka lamanya yang perlahan sudah mulai sembuh. Padahal sebelumnya Bu Hasna berharap tidak akan pernah bertemu dengan mantan suaminya. Memang hanya sekali saja ia bertemu dengan suaminya setelah resmi palu perceraian itu terjadi. Ya, waktu itu ketika Hasfi dan dirinya melihat Pak Alfian membelikan mainan untuk ketiga anak tirinya. "Hasna! Tunggu, Hasna! Aku mohon jangan pergi," pekik Pak Alfian sambil mengejar Bu Hasna yang berjalan meninggalkannya. Lia merasa situasi saat ini sedang tidak kondusif. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia meninggalkan Tantenya dalam situasi sulit seperti ini. Ia pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bu Hasna. Ya, menjadi single parent bagi seorang Bu Hasna bukanlah hal yang mudah. Walau ia hanya punya anak tunggal. Bukan berarti ia bisa dengan mudah menjalani semua ini.Bu Hasna terus melajukan jalannya. Begitu juga Lia yang berada di
Ya, malam ini Hasfi tidak bisa tertidur. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terutama pikirannya tertuju pada masa lalunya yang kelam. Hidup beranjak dewasa tanpa didampingi dan mendapat kasih sayang dari sang ayah memanglah berat buat Hasfi. Tetapi sang ibunda terus menguatkannya dan memberikan semangat. Bahwa hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa ayah di sisinya. Mulanya Hasfi meratapi nasibnya. Nasibnya memang berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Perlahan ia mencoba menerima. Waktu bermainnya otomatis berkurang karena harus membantu ibunya mencari uang. 'Ya Allah, begitu pelik rasanya kehidupanku di masa lampau. Tidak menyangka kalau kehidupanku saat ini berubah total. Yang asalnya tidak punya apa-apa, sekarang malah berlebih. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas semua karunia yang Engkau berikan,' gumam Hasfi dalam hati. Pria muda itu melirik istrinya yang tertidur di sebelahnya. Wajah ayu Ryana terlihat teduh. Tak salah memang sejak lama ia mengagumi sosok Ryana. Y
Ryana sebenarnya senang saja karena akan pindah dari kontrakan ini. Apalagi kata Hasfi rumah yang akan mereka tinggali itu adalah rumah milik Ayahnya. Hanya saja mereka baru beberapa hari pindah ke rumah ini, masa baru pindah lagi? Ibarat kata, rasa lelah karena pindahan belum sepenuhnya hilang. Ryana terdiam beberapa menit. Begitu pun Hasfi. Makanan yang tadi dibawakan Hasfi dari rumah Ayahnya juga tidak ada mereka sentuh. Hasfi masih agak kenyang. Begitu pula dengan Ryana yang tadi siang makan di sekolah. Sampai-sampai Hasfi melupakan rasa sakitnya akibat jatuh dari sepeda motornya."Besok kamu pijat refleksi aja, Bang. Mana habis jatuh gitu," celetuk Ryana memecah keheningan di antara mereka. "Ah, iya. Boleh juga, Yang. Kamu juga ikut pijat ya, nemenin aku," balas Hasfi langsung menyetujui. "Oke. Ya sudah. Kita pindah aja lagi, Bang. Tapi jangan besok juga. Kan aku mesti ngajar, kamu juga harus kuliah. Belum lagi malam hari kita kudu pijat. Hari Minggu nanti aja kalo mau pindaha
"Kalau begitu Hasfi pulang dulu, Yah," kata Hasfi ingin berpamitan kepada Ayahnya. Ia merasa tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan kepada Ayahnya. "Lho kok pulang sekarang? Apa kaki dan tanganmu udah enggak sakit lagi? Biar Agus dan Budi aja nanti yang nganterin kamu pulang," jawab Pak Alfian terkejut karena Hasfi ingin pulang. Agus dan Budi adalah supir dan ART di rumah Pak Alfian. "Tapi Hasfi belum membuat video konten untuk pekerjaan, Yah." "Oh gitu ya sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Pak Alfian membuka tas kerjanya. Ia mengeluarkan uang sejumlah sepuluh juta dari dompet besarnya, lalu memberikan uang itu kepada putra sulungnya itu."Ini uang yang Ayah janjikan tadi. Terimalah. Anggap saja sebagai ganti bayar uang sewa dan hadiah pernikahanmu. Oh iya, nanti kalau sudah tiga bulan di kontrakan. Kamu sebaiknya pindah ke rumah Ayah. Cukup dekat dari sini. Hanya berbeda blok saja. Kalau rencanamu ingin membangun rumah, sebaiknya diurungkan saja rencanamu. Lebih baik uang
Hasfi kecewa dengan sikap sang Ayah yang tidak mempercayainya. Di sisi lain ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kembali dirinya dengan ayah kandungnya sendiri. Dari kata-kata Pak Alfian memang sudah terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya seperti sedang meremehkan anaknya sendiri. Padahal kualitas Hasfi jauh sekali di atas anak-anak Tania yang ia rawat bertahun-tahun. Tetapi mental mereka mental kerupuk. Tidak tahan banting. Jauh berbeda dengan Hasfi yang mentalnya sudah kuat, tidak lapuk karena badai kehidupan yang menghantam. "Apa tujuan kalau Hasfi berbohong dengan Ayah? Adakah Hasfi terlihat sebagai anak yang pembohong? Untuk apa juga Hasfi sombong berkata kepada Ayah kalau penghasilan Hasfi memang adanya begitu. Hasfi hanya ingin membuktikan kepada Ayah. Kalau anak yang dulu Ayah telantarkan demi wanita lain, malah lebih sukses dengan kaki dan tangan sendiri. Oh, tentunya juga dengan bimbingan dan kasih sayang Ibu yang tidak kenal lelah mendidik
Pak Alfian malah semakin tertawa dengan pertanyaan Hasfi. Ya, ia baru tau Hasfi pernah menyambangi rumahnya ketika SMP dari Satpam Komplek. Itupun ketika sebulan sesudah kejadian. Waktu itu memang istri keduanya sedang hamil. Pak Alfian memarahi istrinya yang tidak memberitahukan kalau anaknya kemari. Tania pun berbohong dan berkata kalau Hasfi kemari karena ingin minta uang. Tania juga bilang ia langsung saja memberikan uang yang diminta Hasfi. Padahal Hasfi tidak ada menerima uang sepeser pun dari Ibu tirinya itu. Sebagai seorang suami yang baik. Pak Alfian percaya saja dengan kata-kata istrinya. Tentu saja Tania berusaha merayu dan menangis tersedu-sedu dengan air mata buayanya. Pria itu lama-lama luluh juga dengan tangisan istrinya. "Sudah Ayah usir dari rumah ini. Ketiga anak itu memang anak Tania. Sekalian juga Ayah usir, biarkan saja mereka ikut Mamanya," jawab Pak Alfian dengan santai."Bu-bukankah waktu Hasfi kemari, Bu Tania sedang mengandung?" tanya Hasfi dengan suara be