“Ya sudahlah, Kaira. Namanya juga laki-laki jadi wajar saja kalau bermalam dengan perempuan lain. Anggap saja itu sebagai jatah mantan. Kamu ini kolot banget, deh! Lagian kayak kamu enggak pernah gitu aja sama mantan!”
Ucapan yang bernada seperti cacian dari wanita paruh baya di hadapannya itu membuat manik cokelat milik Kaira seketika membulat sempurna. Wanita itu sangat terkejut mendengar pembelaan dari calon ibu mertuanya setelah ia melaporkan perselingkuhan calon suaminya tepat dua hari sebelum mengikat tali pernikahan. Bukannya merasa iba kepada dirinya, ibu mertuanya dengan enteng menganggap wajar kesalahan anaknya.
Dengan keberanian yang dimiliki, Kaira pun mencoba membela diri atas tuduhan yang dilakukan oleh Widya, calon ibu mertuanya.
“Jangan samakan aku dengan perempuan murahan itu, Bu! Aku perempuan baik-baik dan punya harga diri! Sedangkan yang dilakukan sama Mas Bayu ini sudah keterlaluan. Dia tidur dengan Melodi di apartemennya!” Kaira mencoba menyakinkan sekali lagi, Kaira menatap wajah Widya yang tampak santai ketika dirinya mengadu soal perselingkuhan Bayu juga Melodi, seakan menunjukkan jika selingkuh itu hal kecil dan biasa.
“Kamu tuh lebay banget, sih, Kaira! Bercinta satu malam itu hal biasa, hal lumrah kalau hidup di kota. Lagipula kamu tahu apa soal harga diri. Kamu ini hanya seorang anak yatim piatu yang tidak pantas mengatakan soal harga diri. Sudah untung Bayu mau sama kamu yang tidak jelas bibit, bebet, bobotnya. Kamu tuh harus banyak-banyak bersukur, Bayu memilih kamu untuk dijadikan istri dibanding sebagai wanita pemuas nafsu saja.”
“Hal biasa? Lumrah?! Itu namanya zina, Bu! Bahkan mereka bercinta di atas ranjangku sendiri padahal sebentar lagi kita akan menikah! Mereka benar-benar seperti tidak punya hati nurani dan malu!” sanggah Kaira dengan suara yang begitu lantang.
Amarah Kaira membuat napasnya tak beraturan. Netra cokelatnya terus menghunus tajam ke arah Widya, merasa kecewa dengan calon ibu mertuanya yang membela Bayu dan tutup mata dengan kesalahan anaknya yang jelas-jelas sudah Kaira berikan bukti kuatnya.
“Halah sudahlah! Mungkin Bayu memilih tidur dengan Melodi karena dia jauh lebih baik dari pada kamu yang banyak drama ini!”
Seolah tak peduli dengan perkataan maupun perasaan Kaira, Widya tetap bersikukuh membela anaknya, bahkan sampai memojokkan calon menantunya sendiri. Matanya yang sedari tadi melototinya itu bahkan menatap rendah ke arah Kaira yang tengah berdiri dengan tubuh lesu.
Kaira benar-benar merasa percuma menjelaskan soal perbuatan Bayu yang selingkuh. Bagaimanapun seorang Ibu pasti akan selalu membela anaknya, meski anaknya jelas-jelas salah. Kaira pun merasa sia-sia datang ke rumah ini.
Kini Kaira melangkahkan kakinya sedikit mendekat ke arah Widya, menatap sendu wajah yang sudah tampak jelas garis kerutan di beberapa titik bawah mata. Kaira mencoba memelas supaya Widya mengubah pikiran dan membuka hati agar membela dirinya meski sangat mustahil.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Widya. Kaira memegangi sebelah tangan calon ibu mertuanya, terus mengiba agar hati calon ibu mertuanya luluh.
“Aku mohon Bu, apa Ibu tidak bisa lakukan sesuatu? Kita berdua sama-sama perempuan. Bagaimana jika hal ini terjadi pada Ibu?”
Widya tersentak kaget mendengar ucapan calon menantunya itu. “Jangan kurang ajar kamu, Kaira! Ayahnya Bayu tidak akan berbuat seperti itu!”
“Lalu aku harus bagaimana, Bu. Aku tidak bisa menoleransi perselingkuhan yang dilakukan Mas Bayu.” Kaira menatap kecewa, namun hal tak terduga terjadi. Widya menampar Kaira karena merasa sudah lancang dan berani kepadanya.
“Dasar kamu gak tahu diri!”
Tidak bisa menahan rasa sakitnya karena cacian yang bertubi-tubi, Kaira memberanikan diri melawan Widya meski sudah diprediksikan jika dirinya akan mendapat caci maki lagi.
Dengan sekuat tenaga, Kaira mencoba mendongakkan kepala menatap Widya, membuktikan jika dirinya tidak gentar sama sekali meski tidak memiliki siapapun.
“Aku memang anak yatim piatu. Tapi tidak rendahan seperti Bayu, anak Ibu!” seru Kaira, tegas penuh penghinaan kepada Widya.
“Dasar jalang kamu, Kaira! Beraninya kamu menghina anak saya! Keluar kamu dari rumah ini!” teriak Widya lantang sambil mendorong tubuh Kaira untuk segera angkat kaki dari rumahnya.
Kaira yang diusir dengan begitu kasar, bahkan dituding-tuding menggunakan telunjuk oleh Widya kini berbalik arah, berlari keluar dari kediaman keluarga Wijaya.
Perasaan Kaira sangat campur aduk. Sakit, kecewa, sedih, semuanya menjadi satu. Kaira bahkan merasa frustrasi sendiri karena merasa tidak ada yang membelanya di saat kondisi seperti ini. Terlebih sahabat yang sangat dipercaya kini berani berkhianat. Kaira benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini semua.
Putus asa, Kaira bergegas pergi tanpa tujuan yang jelas. Yang dilakukannya hanya terus berlari kencang sembari membawa rasa sakit hati yang menyesakkan dada. Saking tidak memedulikan sekitarnya, Kaira langsung saja menyebrang jalan, hingga terdengar suara klakson mobil berdengung kencang yang membuat tubuh Kaira justru berdiam membeku di tengah jalan.
Tak lama terdengar suara gesekan decitan ban dengan aspal yang berhenti di depan tubuhnya, membuat Kaira jatuh terduduk sambil menangis tergugu.
Hal ini sontak membuat pemilik pengendara mobil buru-buru keluar untuk memastikan korban yang ditabraknya.
“Mbak, tidak apa-apa, ‘kan?”
Bukannya menjawab, Kaira justru menangis kencang dan menjadi-jadi yang membuat pemilik kendaraan itu ketakutan. Pemilik kendaraan itu mencoba mendekat untuk memastikan keadaan Kaira, yang sepertinya terluka parah jika didengar cara menangisnya.
“Mbak, mana yang sakit? Apa ada yang patah? Bengkok atau—” Belum selesai bertanya, suara tangis Kaira semakin kencang juga histeris, yang membuat pemilik kendaraan itu semakin kaget juga takut.
“Bajingan!” teriak Kaira, menatap sinis ke arah pria itu. “Semua pria sama saja! Semuanya bedebah!” maki Kaira dengan penuh emosi.
Pria itu merasa kaget juga bingung ketika Kaira justru memaki dirinya. Terlebih langsung dinilai ‘bajingan’ oleh perempuan yang baru dikenalnya ini. Merasa panik karena tangis Kaira makin kencang, pria itu mengajak Kaira untuk masuk ke dalam mobilnya, mengatakan akan bertanggung jawab kepada Kaira atas insiden ini. Kaira sendiri justru meluapkan perasaan sesaknya kepada pria yang entah siapa namanya ini, yang pasti Kaira merasa lega ketika mengeluarkan itu semua.
“Apa aku salah mengadu sama calon ibu mertua kalau anaknya selingkuh?! Tapi kenapa perselingkuhan itu justru dianggap lumrah oleh mereka! Apa karena aku hanya seorang yatim piatu yang tidak memiliki keluarga hingga pantas disepelekan, hah?! Apa aku tidak pantas bahagia seperti orang-orang itu! Aku juga manusia yang memiliki perasaan juga hati! Tega-teganya mereka berkhianat di belakangku tanpa memikirkan perasaan aku sedikit pun!” luap Kaira soal unek-uneknya barusan, yang semakin membuat pria itu bingung.
Kaira masih terus menangis kencang, meluapkan apa yang dirasakan oleh hatinya. Lain hal dengan pria yang kini bersama Kaira. Pria itu justru merasa heran dengan korban yang ditabraknya ini.
“Perasaan tadi kepalanya gak tertabrak, tapi kok …,” gumam pria itu pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh Kaira.
Kaira yang tidak terima dengan sindiran halus tersebut langsung melirik tajam ke arah pria yang tengah mengerutkan dahi tengahnya, seperti sedang berpikir keras. Bahkan melihat penampilan pria itu yang mirip seorang Aktor luar negeri membuat Kaira berpikir spontan atas ide gilanya ini.
“Aku minta pertanggung jawaban atas apa yang sudah kamu lakukan!”
“Iya, Mbak! Saya akan bertanggung jawab atas insiden tidak disengaja ini. Mbak ingin saya bawa ke rumah sakit mana?”
Kaira menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan. “Aku tidak mau ke rumah sakit!”
“Lalu?” Pria itu menatap Kaira sembari mengangkat sebelah alisnya ke atas, menunggu lanjutan dari ucapan Kaira yang membuatnya deg-degan, takut dimintai sejumlah uang yang fantastis.
“Aku mau kamu menikah denganku!”
Alle yang mendadak khawatir jika Raffa macam-macam kini langsung berjalan ingin keluar dari kamar hotel, namun dicegah oleh para teman-temannya.“Mau ke mana?”“Mau ke kamar sebelah.”“Jangan lah, itukan acaranya Raffa sama teman-temannya. Kita di sini aja seneng-seneng.”“Tapi kalau dia macam-macam gimana, Nin!?”“Iya gapapa dong? Itung-itung kasih free sehari apa salahnya.”“Gila lo semua!”Alle tetap keukeh ingin keluar dan mengecek kamar sebelahnya. Saat digedor-gedor dan dibuka oleh petugas hotel, Alle terkejut ketika di dalam kamar tidak ada siapa-siapa.Justru Alle merasa heran ketika kamar yang dimasuki justru memiliki konsep seperti film Disney. Alle berpikir kalau Nindi salah memberitahukan nomor kamar acara Raffa.Tak lama Nindi dan teman-temannya keluar. Mereka bahkan sudah berganti kostum yang membuat Alle merasa hampir gila sekarang.“Jadi … ini semua kerjaan kalian?” tanya Alle tidak percaya harus terkena jahilan mereka bertubi-tubi meski di dalam hati sangat senang lua
Melihat model gaun yang dipilih oleh Alle membuat Raffa langsung mendelik kaget. Yang benar saja? Bisa-bisanya Alle memilih model yang memiliki belahan panjang dari ujung kaki sampai paha. Ditambah bagian dada yang terbuka. Tentu saja Raffa tidak setuju dan tidak akan memberi kesempatan untuk para mata buaya darat melihat keindahan tubuh istrinya.“Aku nggak setuju!” tolak Raffa tegas.“Lha, kenapa? Bukannya bagus dan seksi?”“Kamu mau sengaja pamer paha sama payudara?” skakmat Raffa yang membuat Alle langsung terdiam. Niat Alle bukan seperti itu, tapi agar terlihat seksi saja. “Pilih yang kalem aja,” lanjut Raffa memberikan sarannya.“Yaudah kamu pilih sendiri aja. Aku bingung semuanya bagus-bagus.”Alle memberikan semua majalah ke arah Raffa. Membiarkan Raffa memilihkan gaun yang pas dan cocok untuknya. Lagian Alle bingung jika harus untuk memilih seperti ini.Pada akhirnya Raffa yang memilihkan gaun untuk Alle pakai di acara resepsi nanti. Tentu saja pilihan Raffa jatuh pada dress
Setelah acara kelulusan dua hari yang lalu, kini Raffa dan Alle sibuk mempersiapkan diri untuk resepsi pernikahannya. Alle bahkan meminta ijab qobul diulang saat acara resepsi nanti. Alle ingin foto buku nikah sekaligus agar orang-orang tahu kalau mereka menikah resmi.Dan, saat ini mereka berdua telah sampai di butik yang akan mendesain baju pengantin mereka nanti. Sebelum keluar mobil, Raffa mengambil kaca mata hitamnya terlebih dahulu di dalam dashboar dan segera memakainya yang justru semakin menambah akan pesona kadar kegantengannya.Lain hal dengan Alle yang mendecih sebal melihat penampilan Raffa. Bagi Alle sendiri, kalau Raffa terlalu tampan justru membuatnya khawatir karena akan banyak buaya betina untuk menggoda suaminya ini.“Kalau mau memuji nggak usah malu-malu,” celetuk Raffa meledek Alle yang saat ini menatapnya dengan sangat serius. “Percaya kok kalau aku ganteng,” lanjutnya penuh percaya diri.“Cih! Dasar kepedean! Padahal mirip tukang urut!”Beginilah kehidupan Raffa
Selesai hangout bersama Nindi, Alle pamit pulang tanpa menunggu Raffa menjemput terlebih dahulu.Setiba di rumah, Alle selalu melihat pemandangan di mana para adik-adiknya berkumpul dan berantem.“Kak, minta duit dong!” Januar menadahkan tangan di depan Alle, meminta uang untuk top up game.“Buat apaan?”“Beli jajan di mini market depan,” kilah Januar berbohong.Alle yang memang gampang percaya tentu saja memberikan uang dua lembar warna merah. Januar yang sehabis diberi uang langsung kabur pergi dari rumah.Awalnya tadi seperti biasa, lagi berantem sama Oky. Entah rebutan apa mereka berdua. Alle yang sehabis perawatan berjalan menuju ke arah kamar Yupi, ingin mengobrol dengan adiknya yang satu itu.Tok! Tok!“Masuk aja nggak dikunci!” seru dari dalam kamar yang membuat Alle langsung menekan handle pintu dan mendorong ke dalam.Cklek!“Eh, Kak Alle, sini Kak,” ujar Yupi yang menepuk ranjang di sampingnya, menandakan untuk Alle duduk di sana.Ketika Alle sudah duduk, bisa ia lihat kala
Baik Alle maupun Raffa sama-sama kaget mendengar suara cempreng dari Januar yang mirip dengan toa. Apalagi bocil itu tengah berlari-lari sambil teriak ‘Kak Alle ciuman’ dan hal ini membuat Alle sangat malu.Kesal memiliki adik seperti itu membuat Alle gregetan sendiri pengin masukin karung. Namun, melihat Raffa yang tampak santai membuat Alle heran.“Kenapa kamu nggak kesal, Bee?” tanya Alle menatap Raffa yang masih sibuk menikmati teh jahe buatan Alle.“Ngapain kesal sama anak kecil? Buang-buang tenaga aja. Biarkan aja Januar begitu,” lerai Raffa yang terkesan lebih membela Januar dibanding Alle.“Kamu kenapa jadi belain dia!?” sungut Alle semakin kesal.“Aku nggak belain, Sayang, hanya memaklumi tingkahnya yang memang lagi begitu. Nanti juga ada fase-nya dia bakalan nalar dan mengerti kok.” Raffa berkata sangat lembut hingga membuat Alle semakin tidak bisa berkutik untuk marah-marah.“Iya, sih, tapi ngeselin banget mulutnya kayak toa! Bikin heboh pagi-pagi begini.”Raffa yang paham
Pagi ini jika biasanya Alle akan sibuk dan heboh soal urusan sekolahnya, kali ini cewek itu jauh lebih santai. Lebih bisa menikmati hidup dan peran barunya sebagai istri. Terbukti dengan Alle bangun pagi-pagi hanya untuk menyiapkan pakaian milik Raffa yang akan digunakan pergi ke kantor Papa Regan.Katanya Raffa akan mengisi waktu luangnya dengan bekerja magang di kantor orang tuanya sendiri. Sebagai istri, Alle hanya bisa mendukung jika itu memang yang terbaik.Alle juga sudah berkutat di dapur hanya untuk memasak menu sarapan untuk Raffa. Alle ingin mencoba memasak menu berat untuk Raffa. Biar kalau sarapan jangan roti oles selai terus. Kasihan suaminya akan bosan jika seperti itu.“Lho, Non Alle masak apa?” tanya asisten rumah tangga yang kaget melihat anak majikannya pagi-pagi sudah berada di depan kompor. Pemandangan yang sangat langka.“Sayur sup, Bi. Buat Raffa sarapan nanti,” jawab Alle sambil mesam-mesem sendiri.“Owalah gitu toh, Non. Kekuatan cinta emang luar biasa sekali y