Carlos tak butuh waktu lama setelah menalak. Keesokan harinya, Sukma resmi dicerai. Semua berkas perceraian dikirim melalui pengacara keluarga. Tak ada pertemuan. Tak ada perpisahan. Hanya selembar surat yang singkat tapi tajam: "Kau bebas sekarang. Tapi dia—akan menyesal seumur hidup." Sukma memandangi surat itu dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak cepat. Ia seharusnya lega, bukan? Bukankah ini yang ia inginkan? Tapi kenapa perutnya terasa kosong... seperti ada sesuatu yang hilang dari jiwanya? Tak lama setelah surat itu sampai, Arvand menghilang. Sejak malam kejadian, ia tak pernah terlihat di rumah atau markas keamanan Carlos. Ponselnya mati. Keluarganya juga tak tahu ke mana ia pergi. Sukma gelisah. Ia takut. Sangat takut. Carlos bukan pria biasa. Ia punya koneksi. Ia bisa melacak siapa saja, kapan saja. Dan benar saja—dua hari kemudian, Sukma menerima paket misterius. Di dalamnya ada satu foto. Foto Arvand. Diikat. Di dalam gudang. Luka di wajahnya tampak parah.
--- Malam itu, hujan turun pelan dengan irama yang tak beraturan, seolah langit sendiri tengah larut dalam kegelisahan yang sama seperti hati Sukma. Awan kelabu menggantung berat di atas kota, menyelimuti segala sesuatu dengan nuansa suram. Di dalam kamar hotel sederhana yang disewanya sendiri, Sukma berdiri terpaku di depan cermin besar yang menggantung di dinding. Sosoknya yang kurus dengan rambut hitam yang panjang dan tergerai terpantul samar dalam kaca, namun matanya yang sayu menyiratkan beban yang jauh lebih berat dari sekadar kelelahan fisik. Jari-jarinya yang lentik bergerak pelan menyisir rambutnya, seperti mencari ketenangan yang tak kunjung datang. Napasnya berat, sesekali menarik udara panjang yang bergetar oleh kecemasan yang membuncah. Di meja kecil dekat tempat tidur, sebuah ponsel bergetar lembut, layar menyala dengan notifikasi pesan masuk dari Arvand: “Saya di parkiran, nyonya.” Sukma menatap layar itu, bibirnya bergetar namun tanpa suara. Dia tahu, pertemuan it
Gugatan cerai yang Sukma titipkan lewat pengacara ternyata mentah di meja hakim. Tak butuh waktu lama untuk Carlos tahu semuanya. Ia muncul di ruang sidang seperti raja yang sedang bosan: jas hitam, senyum tipis, dan tatapan tajam. Pengacara Sukma bahkan tak berani melanjutkan pleidoi—kabarnya, ia menerima ancaman langsung dari orang suruhan Carlos. Setelah sidang, Sukma ditarik masuk ke mobil oleh Carlos tanpa banyak kata. Di dalam mobil, Carlos hanya berkata pelan, “Kamu pikir bisa lepas dari aku semudah itu, Sayang?” Sukma gemetar, tapi tidak menangis. Ia tahu, ini bukan soal cinta lagi—ini tentang kekuasaan. Carlos menyentuh wajahnya dengan ujung jari, lalu berbisik, “Kamu istriku. Dalam hukum agama dan negaraku, kamu hanya bisa cerai kalau aku rela melepaskan. Dan aku… tidak akan pernah rela.” Sejak hari itu, Sukma dijaga lebih ketat. Dia tetap boleh bekerja.tapi semua akses dibatasi. Bahkan teman-teman, istri lainnya tak bisa lagi bertemu tanpa ijin dari Carlos. Sukm
Sukma tidak pernah menyangka bahwa hidup dalam harem ini akan membawa begitu banyak luka—bukan hanya luka emosional, tetapi fisik. Dia tahu bahwa hidup dengan Carlos, seorang pria yang memegang kendali atas segalanya, akan penuh dengan dinamika kekuasaan yang rumit. Saat itu, di ruang tamu yang sunyi, Sukma duduk di sofa, merasa lelah dan cemas. Sebelumnya, Carlos telah meninggalkannya untuk pergi ke kamar dengan istri-istrinya yang lain.Sukma masih memikirkan banyak hal. Bagaimana semua ini berakhir? Bagaimana dirinya bisa menemukan kedamaian lagi.Tanpa peringatan, Livia mendekat dengan cepat, dan sebelum Sukma sempat menyadari,sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sukma.Sukma terkejut, merasakan rasa sakit yang menyebar ke seluruh wajahnya. Ia terjatuh ke sisi sofa, sedikit pusing dan bingung."Dasar perempuan berengsek!" teriak Livia dengan suara gemetar penuh amarah. "Kamu pikir kamu bisa merusak hidup kami begitu saja? Carlos adalah milikku! Kamu tak punya hak apa-apa!"Sukma
Ruang rapat lantai 27 penuh dengan aroma kopi dan dentingan gelas. Sukma berdiri di ujung meja panjang, memaparkan slide terakhir dari presentasinya. Di seberang, Leon duduk dengan gaya santai khasnya, jas abu-abu muda, senyum tipis yang dari dulu selalu punya efek aneh di hati Sukma — campuran nostalgia dan rasa waspada. “Kalau ini berjalan sesuai timeline,” ujar Leon sambil menandai dokumen di depannya, “proyek ini akan jadi kolaborasi terbesar perusahaan kita tahun ini.” Sukma mengangguk, berusaha menahan tatapannya tetap profesional. “Ya. Semua detail sudah disetujui board, tinggal tanda tangan kontrak.” Mata Leon sedikit menyipit, seperti ingin mengatakan sesuatu di luar bisnis, tapi ia hanya menutup map. “Senang bisa kerja sama lagi, Sukma.” Ucapan sederhana itu sudah cukup untuk membuat udara di ruangan berubah sedikit tebal. Sukma sadar, ada masa lalu yang belum sepenuhnya mati di antara mereka — masa lalu yang Carlos akan benci kalau tahu. --- Sore itu, Sukma pu
Pagi di Amalfi itu terasa terlalu tenang untuk sebuah kabar buruk. Sukma baru saja selesai menyeruput kopi ketika ponsel Carlos berdering panjang. Ia melihat suaminya melirik layar sebentar, wajahnya tak berubah sedikit pun. Lalu ia menjawab, suara di seberang terdengar tergesa-gesa. Carlos hanya mengucapkan beberapa kata singkat: “Baik. Urus saja pemakamannya. Aku transfer sekarang.” Telepon berakhir begitu cepat, seakan itu hanyalah urusan bisnis. Sukma yang duduk di seberang meja menatapnya heran. “Siapa?” tanyanya. “Rubi,” jawab Carlos datar sambil menekan layar ponsel, membuka aplikasi bank. “Ada apa? Anakmu…?” Sukma merasa jantungnya mulai berdetak cepat. Carlos mengangguk pelan, seolah mengonfirmasi berita kecil saja. “Meninggal. Demamnya semalam parah. Dia bilang sudah dibawa ke rumah sakit, tapi terlambat.” Sukma terdiam. Kopinya kini hambar. Ia menunggu Carlos menunjukkan sedikit saja kesedihan, tapi pria itu malah mengisi formulir transfer di layar ponsel. A