Pagi di Amalfi itu terasa terlalu tenang untuk sebuah kabar buruk. Sukma baru saja selesai menyeruput kopi ketika ponsel Carlos berdering panjang. Ia melihat suaminya melirik layar sebentar, wajahnya tak berubah sedikit pun. Lalu ia menjawab, suara di seberang terdengar tergesa-gesa. Carlos hanya mengucapkan beberapa kata singkat: “Baik. Urus saja pemakamannya. Aku transfer sekarang.” Telepon berakhir begitu cepat, seakan itu hanyalah urusan bisnis. Sukma yang duduk di seberang meja menatapnya heran. “Siapa?” tanyanya. “Rubi,” jawab Carlos datar sambil menekan layar ponsel, membuka aplikasi bank. “Ada apa? Anakmu…?” Sukma merasa jantungnya mulai berdetak cepat. Carlos mengangguk pelan, seolah mengonfirmasi berita kecil saja. “Meninggal. Demamnya semalam parah. Dia bilang sudah dibawa ke rumah sakit, tapi terlambat.” Sukma terdiam. Kopinya kini hambar. Ia menunggu Carlos menunjukkan sedikit saja kesedihan, tapi pria itu malah mengisi formulir transfer di layar ponsel. A
Carlos bukan tipe lelaki yang merayakan sesuatu dengan sederhana. Bahkan untuk bulan madu, ia memilih vila privat di Amalfi yang lebih mirip istana, lengkap dengan kolam pribadi, balkon menghadap laut, dan kamar tidur dengan ranjang sebesar lapangan futsal mini. Sukma sampai heran, “Kamu yakin ini bulan madu atau mau pindahan sekalian?” Carlos hanya mengangkat bahu sambil tersenyum licik. “Kalau bulan madu, aku maunya tempat yang luas. Biar… kita punya banyak arena.” Sukma mendecak, tapi pipinya sudah panas. “Arena? Ini bulan madu, bukan pertandingan gladiator.” “Mmm… siapa bilang nggak ada pertarungan? Nanti kamu tahu,” balas Carlos sambil membukakan pintu balkon. Angin laut yang hangat menerpa wajah mereka, aroma asin bercampur wangi melati yang entah dari mana datangnya. Mereka mulai malam dengan makan malam mewah di teras vila. Meja dihiasi lilin-lilin besar dan piring porselen putih. Carlos duduk di seberang Sukma, tapi matanya tak pernah lepas darinya. Dia memotong stroberi
Aldrich menyandarkan tubuhnya di dinding marmer dingin, mengaduk teh celup dalam cangkir putih bertuliskan Queen Bee. Matanya melirik ke arah kakaknya yang berdiri dengan tangan terlipat, menatap kosong keluar jendela. Hujan mengguyur kota Jakarta, tetapi bukan itu yang membekukan udara di antara mereka."Aku masih nggak habis pikir," Aldrich membuka suara, suaranya pelan tapi mengandung racun manis yang biasa ia semburkan saat bergosip. "Bu Sukma… CEO kita… ternyata seriusan jadi istri keempatnya Carlos."Steve bergeming, tetapi rahangnya mengeras."Empat, Kak. Empat! Udah kayak koleksi limited edition aja tuh istri-istrinya si Carlos," lanjut Aldrich sambil menyeruput tehnya. “Dan yang paling... ewh—tau nggak, tadi pagi pas aku mau nganter dokumen ke ruang direktur…”Ia menatap Steve, menunggu efek dramatis kalimat berikutnya."Aku denger suara... aktivitas. Yang nggak bisa disalahartikan. Temboknya memang kedap suara, tapi pintunya—ya Tuhan, Kak, pintunya kebuka sedikit ! Dan aku
Sudah tiga hari ini Sukma rasanya lelah bukan main. Bukan karena pekerjaannya, bukan juga karena drama para istri lain—tapi karena Carlos.Suaminya itu lagi masuk fase “hiper”. Sukma sendiri bingung, ini pria minum vitamin apa sih?Baru masak di dapur, lagi aduk sayur bayam, tiba-tiba dipeluk dari belakang. “Sayang, kamu wangi banget walau cuma bau bawang,” bisik Carlos sambil mencium lehernya.Sukma reflek mundur. “Eh! Panas ini! Awas kuahnya muncrat!”Carlos ketawa sambil nyium cepat pipi Sukma lalu kabur. Tapi belum selesai di situ. Waktu Sukma mau mandi sore, Carlos tiba-tiba nongol di pintu kamar mandi, telanjang dada, dengan senyum nakal.“Mandinya bareng aja ya, biar hemat air.”“Carlos! Aku mau cuci rambut, bukan berantem di shower!”Dan pagi tadi, saat Sukma buru-buru mau kerja, pakai blazer sambil pakai sepatu, Carlos malah narik dia ke sofa.“Lima menit aja…”“Carlos!” Sukma nyaris teriak. “Aku kerja! Aku nggak bisa telat terus!”Tapi Carlos malah cemberut kayak anak kecil.
--- Langkah Carlos mantap saat membuka pintu rumah utama. Di belakangnya, Sukma melangkah pelan, matanya menyapu ruangan bergaya klasik yang terkesan hangat—sama sekali tidak seperti rumah seorang pria dengan tiga istri. Mungkin karena penataannya yang feminin dan penuh sentuhan personal. Tapi suasana itu segera terasa dingin saat tiga pasang mata menatapnya serempak. “Ini Sukma istri ke empat,” ujar Carlos tenang. “Dia akan jasi bagian kita mulai sekarang.” Keira berdiri lebih dulu. Wajahnya tetap sama lembut dan tenang seperti dulu—manis, bersahaja, dan tak banyak bicara. Ia melangkah mendekat, lalu menyambut Sukma dengan anggukan dan senyum sopan. “Selamat datang,” katanya, tulus meski terdengar hati-hati. Sukma balas mengangguk. “Terima kasih.” Rubi hanya bersedekap sambil mencibir. Dari semua, dia yang terlihat paling terusik. “Yang dulu paling vokal menentang poligami,” kata Rubi sinis, memiringkan kepala ke arah Sukma. “Bilang gak akan mau poligami.Gak nyangka ternyata
--- Kasur empuk bergoyang seolah sedang berada di atas kapal layar yang dihantam ombak tinggi. Carlos tergeletak terlentang dengan napas terengah, rambut acak-acakan, dada telanjang berkilau oleh keringat, dan wajahnya campuran antara girang, takut, dan kagum. Sukma, dengan mata berbinar dan rambut awut-awutan, duduk jongkok di atasnya, tangan bertolak pinggang. “Siap, Bos?” katanya dengan nada centil berbahaya. Carlos terkekeh, tapi jelas kelihatan tegang. “Tunggu dulu, tunggu dulu… Jangan langsung nyelonong begitu, sayang. Kita harus bicara tentang... sejarah kelammu.” Sukma menyipitkan mata. “Sejarah kelamku?” “Yang bikin Dimitri trauma duduk selama dua bulan itu,kamu matahin alat tempur Dimitri.” kata Carlos sambil mengangkat alis, mencoba mengatur napas. Sukma tertawa ngakak, langsung tergeletak di dada Carlos. “Astaga, itu sudah bertahun-tahun lalu. Salah teknik." Carlos mengangkat jari telunjuknya. “Tapi yang patah punyaku nanti, bukan punyanya. Aku harus ambil