Home / Romansa / Suami Perkasa / Jinakin Ruby

Share

Jinakin Ruby

last update Last Updated: 2025-07-07 16:49:08

Sementara itu, Carlos berdiri dipelaminan, menunggu Ruby dengan sabar. Dimitri, sahabatnya, berdiri di sampingnya sambil tersenyum jahil.

"Nggak nyangka lo bisa jinakin Ruby juga," kata Dimitri.

Carlos terkekeh. "Jinakin apaan? Dia yang nggak bisa lepas dari gue."

Dimitri mendengus. "Gue yakin ini gara-gara teknik ciumanmu yang legendaris itu."

Carlos cuma tertawa.

Langit malam di luar kamar hotel mewah itu tenang. Bintang bertaburan, bulan bersinar penuh, seolah memberkati malam pertama Carlos dan Ruby yang baru saja resmi menjadi pasangan suami istri.

Namun di dalam kamar, keadaannya jauh dari kata "tenang".

Ruby terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya tak mampu bergerak bebas. Seluruh ototnya terasa nyeri, punggungnya seperti habis dibanting, dan pahanya… ya Tuhan, bahkan menyentuh selimut saja rasanya seperti digesek amplas. Pandangannya masih buram, seperti efek mabuk yang terlalu keras. Tapi ini bukan alkohol. Ini efek dari satu malam penuh bersama Carlos.

Ya Tuhan… ini beneran terjadi.

Dia mengedarkan pandangannya pelan. Cahaya redup dari lampu meja menyinari ruangan yang luas dan elegan, seprai berantakan, gaun pengantinnya tergeletak di lantai, dan di sampingnya...

Carlos duduk santai dengan bertelanjang dada, rambutnya berantakan dengan cara yang sangat seksi, dan senyum puas menghiasi wajahnya. Dia sedang memainkan ponselnya, tampak sangat santai. Sementara Ruby… seperti korban kecelakaan yang butuh evakuasi helikopter.

"Bangun juga akhirnya," kata Carlos, menyeringai tanpa dosa. Matanya menyapu tubuh Ruby yang hanya tertutup selimut tipis. "Gimana? Masih hidup?"

Ruby berusaha bicara, tapi hanya bisa mengerang pelan. "Carlos… aku… nggak bisa gerak."

Carlos menaikkan alis. "Serius?"

"Serius banget! Aku merasa seperti ditabrak truk… atau lebih tepatnya… dihajar rudal raksasa!"

Carlos tertawa sampai bahunya terguncang. "Yah, ini sih sudah kuduga. Keira juga dulu gitu."

Ruby membelalak. "Jadi… ini yang dirasakan Keira dulu?"

Carlos mengangguk santai. "Kurang lebih. Makanya dia kasih izin aku nikah lagi. Dia udah lelah menghadapi aku sendirian. Katanya, ‘Carlos, kamu butuh lebih dari satu korban buat menyalurkan tenaga plus kamu.’”

Ruby menutup wajah dengan bantal. "Sial… kenapa aku nggak mikir sejauh ini sebelum menikah?! Aku kira kamu cuma romantis dan dominan, bukan… over-powered kayak monster final boss di video game!"

Carlos tertawa lebih keras. “Yah, kamu yang bilang suka cowok dominan.”

Ruby menyipitkan mata. "Aku nggak bilang suka cowok transformer turbo 7 kecepatan tanpa jeda!"

Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Tiga kali. Suaranya ringan, tapi jelas.

“Carlos! Ruby! Kalian masih hidup?” suara Keira dari luar terdengar ceria, namun ada nada cemas terselubung.

Carlos bangkit dari tempat tidur dan melangkah santai ke pintu. Ia membukanya sedikit.

"Masih, tapi Ruby tumbang," jawabnya ringan.

Keira menghela napas panjang. "Udah kuduga. Kasian juga dia. Gue dulu aja sampai jalan pincang seminggu. Nih, gue kasih salep otot sama minyak urut."

Carlos menyambut barang-barang itu dan mengangguk. “Thanks. Ruby bakal butuh ini.”

Setelah pintu tertutup, Carlos kembali ke tempat tidur dan duduk di samping Ruby yang belum bergerak sejengkal pun.

"Keira titip ini buat kamu." Ia mengangkat sebotol minyak urut dan sekotak salep. "Katanya bisa bantu mempercepat pemulihan."

Ruby mengintip dari balik bantal. "Apa aku terlihat seperti habis latihan bela diri ekstrem?"

Carlos meringis. "Lebih parah."

Ruby menghela napas lemah. "Oke. Mulai sekarang, kita bikin kontrak tertulis ya.olah raga malam hanya dua kali seminggu. Maksimal. Dan harus ada recovery time. Kamu harus kasih aku waktu buat hidup."

Carlos tertawa sambil mengangguk. "Deal. Tapi kalau kamu yang mulai duluan, aku nggak bertanggung jawab ya."

Ruby mencibir. "Mau gerak dikit aja aku nggak bisa. Nggak akan mungkin aku mulai duluan."

Carlos mengedipkan mata. "Tunggu tiga hari."

Ruby memelototinya.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Ruby memejamkan mata, mencoba menenangkan napasnya. Tubuhnya masih panas, efek dari keintiman semalam yang terlalu eksplosif.

"Carlos…" katanya pelan.

"Hmm?"

"Kamu nggak bisa… lebih kalem sedikit?"

Carlos tampak berpikir. "Gue bisa... mungkin. Tapi itu kayak nyuruh Ferrari ngebutnya maksimal 40 km per jam."

Ruby menggeleng putus asa. "Astaga… suamiku ini manusia atau mesin?"

Carlos mengangkat tangan, membuat tanda peace. "Manusia. Tapi spek-nya edisi terbatas."

Tak lama kemudian, Ruby mencoba bangkit perlahan. Wajahnya meringis.

Carlos langsung menghampiri dan menopangnya dengan lembut. "Pelan-pelan. Yuk, aku bantu."

Ruby bersandar di dadanya, merasa sedikit lebih baik saat disentuh dengan lembut begitu. Meskipun sebelumnya Carlos seperti tsunami, sekarang dia bisa jadi aliran sungai yang menenangkan. Itulah sisi Carlos yang sulit dilawan: gila di satu sisi, lembut di sisi lain.

"Besok kita nginep di mana?" tanya Ruby.

"Private villa. Tenang, tenang, jangan panik. Full view alam, spa, dan santai. Kamu cuma disuruh tidur dan makan enak."

"Dan?"

Carlos menyeringai. "Dan mungkin satu sesi pijat plus plus kecil-kecilan, kalau kamu sudah pulih."

Ruby menghela napas. "Carlos, demi Tuhan, aku masih trauma."

Carlos tertawa sambil memeluk Ruby erat. "Oke. Santai dulu. Aku jaga kamu."

Malam itu, Ruby tertidur lagi, kali ini dalam pelukan hangat suaminya yang—meski overpowered—tetap tahu kapan harus jadi pelindung, bukan penakluk.

Dan dia sadar satu hal: pernikahan dengan Carlos mungkin melelahkan, tapi juga penuh warna.

Kadang merah, kadang biru, kadang... ungu lebam.

Tapi selalu ada cinta di balik semua ledakan stamina itu.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Perkasa   Kakak Ipar

    Edgar duduk di ujung meja makan panjang yang entah kenapa terasa kayak meja interogasi KPK.Di depannya, Mas Carlos masih dengan ekspresi dingin—walau sesekali melirik ke arah pipi lebam Edgar yang sudah dikompres es batu.Mariana duduk di samping Edgar, terus menatapnya cemas.Setiap kali Edgar mau ngambil lauk, Mariana buru-buru nyodorin sendok, “Udah aku ambilin aja, kamu jangan gerak banyak.”Sementara Carlos hanya berdehem pelan. “Dia masih punya tangan, kan?”“Mas!” Mariana melotot.“Ya kan cuma nanya,” jawab Carlos santai sambil menambahkan sambal ke nasinya.Edgar tersenyum kaku. “Gak apa-apa kok, Mariana. Aku kuat. Cuma… tangan kanan agak lupa caranya ngangkat sendok.”Carlos menahan tawa, tapi suaranya ketahuan juga keluar sedikit.“Baguslah, berarti tinjuku masih ampuh.”Mariana mendengus, “Mas Carlos!”Di tengah ketegangan ringan itu, suara lembut seorang wanita terdengar dari arah dapur.“Carlos, kamu jangan ganggu mereka terus, dong.”Semua menoleh.Masuklah seorang pere

  • Suami Perkasa   Jaga Adikku

    Pagi itu, langit agak mendung — pertanda baik kalau kamu mau tidur lagi, tapi pertanda buruk kalau kamu berniat datang ke rumah orang yang gak suka kamu. Edgar berdiri di depan mansion Mariana dengan napas setengah gugup, setengah yakin hidupnya bakal tamat hari ini. Kemarin, Mariana bilang, > “Besok kamu ketemu kakakku, ya. Namanya Mas Carlos. Tapi tenang, dia cuma mau kenalan.” Kata “cuma kenalan” dari Mariana ternyata punya makna lain. Karena begitu sampai di halaman, Edgar langsung disambut pemandangan tak biasa: Mas Carlos berdiri di tengah taman belakang… pakai celana pendek tinju, tangan bersarung, dan di sebelahnya ada pelatih Muay Thai beneran. --- “Mas… Carlos?” suara Edgar lirih, setengah berharap ini prank. Carlos menatapnya dengan senyum tipis yang lebih menakutkan daripada marah. “Kamu yang namanya Edgar?” “I-iya, Mas.” Carlos menepuk-nepuk sarung tinjunya. “Katanya kamu dulu nolak adikku waktu dia masih nyamar jadi pembantu dirumahmu?” Edgar keringat dingin

  • Suami Perkasa   Senyum Edgar

    Begitu Mariana menyerahkan secarik kertas berisi alamat rumahnya, Edgar langsung tersenyum. Tangannya gemetar, tapi hatinya berteriak: Yes! Dikasih alamat rumah! Ini kode keras banget! Ia sama sekali tidak sadar kalau Mariana cuma berkata datar, > “Datang aja kalau mau ngomong lebih jelas.” Namun di kepala Edgar, kalimat itu berubah jadi, > “Datanglah… dan lamar aku.” --- Sepanjang perjalanan pulang, Edgar tak berhenti nyengir sendiri di kursi belakang taksi online. Supirnya sampai beberapa kali melirik lewat spion, curiga penumpang satu ini baru saja menang undian rumah dan mobil sekaligus. “Pak, kelihatannya lagi senang banget, ya?” tanya sang supir. “Banget. Besok mungkin saya bakal lamaran,” jawab Edgar dengan senyum tak henti. “Wah, selamat, Pak! Calonnya cantik?” “Cantik banget. Kaya raya juga. Tapi lagi marah.” Supir itu melirik sebentar, heran. “Lho, terus kenapa malah senang?” “Makanya saya besok akan bawa cokelat, bunga, dan niat suci.” Supir menghela napas,

  • Suami Perkasa   Hati Yang Kuat

    Sudah tiga hari sejak Mariana meninggalkan kamar rumah sakit itu. Edgar sudah pulih, setidaknya secara fisik. Tapi setiap kali malam datang, ia menatap plafon dan mengulang kalimat terakhir Mariana: > “Kalau aku mau hidup yang nyata, aku harus mulai dari cinta yang nyata juga.” Cinta nyata, pikir Edgar, seharusnya membuat hati ringan. Tapi kenapa malah terasa berat. --- Pagi itu, setelah dokter menyatakan ia boleh pulang, Edgar langsung bersiap. Kemeja putih, celana abu-abu, rambut disisir asal tapi wajah tetap segar—setidaknya cukup layak untuk muncul di hadapan seorang Mariana, pewaris perusahaan tambang emas terbesar di kota. Di tangannya, ia membawa sebuket bunga lili putih—bunga favorit Mariana, yang dulu sering ia beli tiap kali perempuan itu berhasil menenangkan hatinya. > “Oke, Edgar. Hari ini lo bukan pasien, lo pejuang cinta.” Ia bicara pada bayangan di cermin rumah sakit, mencoba tersenyum walau matanya jelas gugup. --- Kantor Mariana berdiri megah di tengah kota

  • Suami Perkasa   Kamu Datang

    Kabar Edgar sakit cepat menyebar di seluruh apartemen. Bu Rini menjadi sumber berita paling cepat sekaligus paling berisik. “Saya tuh udah feeling dari awal,” katanya di depan apartemen, dengan nada bangga seperti wartawan infotainment. “Cowok yang suka bengong depan balkon jam dua pagi tuh pasti lagi galau berat.” Para ibu-ibu lain langsung menimpali. “Aduh, kasihan ya. Ganteng-ganteng rapuh.” “Salah sendiri, kan kita udah tau dari dulu mereka tuh… ya, suka melakukan aktivitas dewasa,” celetuk yang lain sambil menahan tawa. “Si Marni sama Edgar, itu lho. Dulu tiap malam lampunya mati jam delapan tapi listrik tagihan naik.” Lift langsung hening dua detik sebelum pecah lagi oleh tawa. “Eh tapi denger-denger, Marni-nya kabur loh!” “Iya, katanya mau nikah sama juragan kerbau dari kampung,gosipnya si mukanya kayak dompet tapi tajir itu.Salah sendiri Edgar gak siap nikahin Marni.” “Pantes Edgar pingsan. Mungkin bayangin Marni disayang orang lain sambil ngasih makan sapi

  • Suami Perkasa   Skincare

    Malam itu hujan turun pelan. Edgar pulang ke apartemennya sambil menggigil, celananya masih basah oleh kopi — tapi yang lebih parah adalah hatinya, kayak habis direndam es batu lalu diperas sampai kering. “Hebat banget ya, Marni,” gumamnya lirih sambil menjatuhkan diri ke sofa. “Bisa senyum selebar itu ke Max, padahal dulu kita, satu selimut aja ,bisa main sampe tiga ronde.” Ia mau bikin teh biar hangat, tapi malah nyeduh air panas di gelas yang masih ada sisa kopi. Hasilnya? Rasa pahit campur getir. Pas banget sama mood-nya malam itu. “Udahlah, hidup juga gak pernah manis,” desahnya pelan. Lima menit kemudian, dia mulai meriang. Dua jam kemudian, badannya panas tinggi. Dalam ngigauannya, Edgar bergumam, “Marni jangan nikah dulu… aku kangen pelukanmu…” Dan di saat itulah — tok tok tok! — pintu apartemennya diketuk keras. “Mas Edgar! Paket COD!” suara kurir berteriak di luar. Tidak ada jawaban. Kurir mengetuk lagi. “Mas, tolong dong, ini COD, bukan donasi!” Masih se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status