Setelah beberapa minggu pendekatan, Carlos akhirnya memutuskan untuk mengenalkan Ruby pada "keluarganya."
"Tunggu, kamu mau ngenalin aku ke keluargamu?" tanya Ruby, agak terkejut. Carlos mengangguk dengan ekspresi serius. "Iya, aku ingin mereka tahu tentang kamu. Aku serius sama hubungan ini." Ruby merasa tersentuh. Seorang pria kaya dan sukses seperti Carlos ternyata benar-benar serius dengannya. Hari yang ditentukan pun tiba. Ruby datang ke sebuah rumah mewah, agak gugup tapi bersemangat. Saat pintu dibuka, dia hampir menjatuhkan tasnya. Di depannya berdiri seorang wanita cantik dengan bayi dalam gendongannya. "Selamat datang, Ruby," kata Keira dengan senyum ramah. "Aku Keira, istri Carlos." Ruby membeku. "I-istri?" Carlos berdiri di belakang Keira, menggaruk tengkuknya, cengiran di wajahnya tampak sedikit bersalah. Ruby ternganga. Sial, aku dijebak! Ruby menatap Carlos dengan mata membelalak. Otaknya seakan berhenti bekerja sejenak. "Apa tadi?" suaranya tercekat, nyaris berbisik. Carlos masih cengengesan, mencoba mencairkan suasana. "Iya, jadi... Ini Keira, istriku. Dan ini anakku yang baru lahir." Ruby berkedip beberapa kali, berusaha mencerna situasi. Detik berikutnya, wajahnya memerah, entah karena marah, malu, atau syok luar biasa. "KAMU UDAH NIKAH?!" suaranya naik satu oktaf. Bayi di gendongan Keira merengek kaget. Keira dengan tenang menenangkan bayinya sambil tersenyum lembut ke Ruby. "Aku tahu ini mengejutkan buatmu. Maaf kalau Carlos belum bilang sebelumnya." Ruby merasa kepalanya mulai pening. Napasnya memburu, jantungnya berdebar kencang. Dia menoleh ke Carlos, yang masih memasang ekspresi cengiran sok tak bersalah. "Kamu pikir ini lelucon, hah?!" Ruby menunjuk wajah Carlos dengan gemetar. "Aku kira aku bakal dikenalin ke orang tua atau kakakmu atau semacamnya! Bukan KE ISTRI DAN ANAKMU!" Carlos mengangkat tangan, mencoba menjelaskan. "Tapi dengerin dulu, Ruby. Ini bukan seperti yang kamu bayangkan—" "Oh, JELAS INI BUKAN SEPERTI YANG AKU BAYANGKAN, CARLOS!" Ruby menepuk dahinya sendiri, merasa dirinya bodoh. "Aku pikir kamu serius, aku pikir kita punya masa depan, aku pikir—" "Dan aku memang serius," potong Carlos cepat. Ruby menatapnya tajam. "Serius apanya?! Kamu udah punya istri, punya anak!" Keira tiba-tiba berdeham pelan. "Sebenarnya aku yang menyuruh Carlos menikah lagi." Ruby menoleh ke Keira, matanya masih membulat penuh kebingungan. "Apa?" Keira mengangguk. "Aku sayang sama Carlos, tapi...aku bersedia dimadu" Carlos batuk-batuk, wajahnya memerah. "Keira, jangan bilang gitu..." Keira menepuk bahunya dengan santai. "Fakta, sayang." Ruby ingin tertawa tapi lebih ingin menjerit. "Kalian aneh!" Carlos mencoba mengambil tangan Ruby, tapi Ruby langsung mundur selangkah. "Dengar dulu, Ruby. Aku nggak main-main. Aku suka kamu. Aku pengen kamu jadi bagian dari hidupku." Ruby menggeleng keras. "Nggak, ini terlalu aneh. Ini... ini..." Dia menatap Keira, yang masih terlihat begitu tenang, seolah ini adalah hal biasa. Lalu menatap Carlos, pria yang dulu dia kira sempurna, ternyata adalah paket kejutan terbesar dalam hidupnya. Ruby akhirnya memegang kepalanya sendiri dan menghela napas panjang. "Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini..." Dan dengan langkah tergesa, dia keluar dari rumah itu, meninggalkan Carlos yang masih kebingungan dan Keira yang hanya bisa tersenyum penuh pengertian. -- Ruby berjalan mondar-mandir di kamar apartemennya, rambutnya berantakan karena terus-terusan diremas. “Astaga… aku suka dia. Tapi dia udah punya istri… dan anak?! APA-APAAN INI?!” Ruby berbicara sendiri, seperti orang gila. Dia duduk di sofa, lalu berdiri lagi. Duduk lagi. Berdiri lagi. “Carlos gila. Keira juga gila. Tapi kenapa aku jadi yang paling gila disini." Tapi sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar. Ruby menatap layar itu seperti melihat bom yang siap meledak. Lalu dia mengangkatnya. “Halo…” suaranya gemetar. “Ruby,” suara Carlos terdengar penuh keyakinan. “Aku serius.” Ruby menggigit bibir. “Serius gimana?” “Aku nggak main-main sama kamu. Aku suka kamu.” Jantung Ruby mencelos. “Carlos, kamu udah punya istri.” “Aku tahu,” Carlos menghela napas. “Dan Keira tahu aku nggak bisa berubah. Aku butuh seseorang yang bisa bersamaku dengan cara yang Keira nggak bisa.” Ruby mendudukkan diri di sofa. “Kamu sadar ini gila, kan?” Carlos tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa bohong soal perasaanku.” Ruby menutup mata, mencoba menenangkan diri. Dia sudah jatuh hati. Carlos memang brengsek karena tidak bilang dari awal, tapi dia tetap pria yang selama ini membuatnya tertarik. Lalu, terdengar suara lain di telepon. “Halo, Ruby?” Ruby membelalakkan mata. Itu suara Keira! “Eh… Keira?” Ruby tercekat. “Dengar,” kata Keira dengan suara lembut. “Aku tahu ini aneh buatmu. Tapi aku beneran nggak keberatan. Aku malah senang kalau Carlos sama kamu.” Ruby terdiam. Ini nyata? Ini bukan prank? “Kamu nggak jijik atau gimana?” Ruby akhirnya bertanya. Keira tertawa kecil. “Aku cuma ingin dia bahagia, dan aku tahu dia juga butuh kamu.” Ruby menarik napas panjang. “Aku setuju.” Tak lama kemudian Carlos datang ke Apartemen Ruby. "Kamu masih kelihatan ragu," ucap Carlos Ruby menghela napas. "Ya jelas. Aku ini cewek baik-baik, Carlos. Aku nggak pernah kepikiran bakal jadi istri kedua seseorang. Aku takut dicap pelakor." Carlos tertawa kecil. "Ruby, kamu bukan pelakor. Ini semua kesepakatan bersama." "Tapi tetap aja… ini aneh." Ruby menatapnya dengan curiga. "Kamu yakin menikah sama aku karena perasaan? Bukan karena alasan lain?" Carlos terdiam sebentar, lalu tertawa. "Kenapa? Kamu pikir aku nikahin kamu karena aku main main?" Ruby menatapnya tajam. "Aku nggak bilang gitu." Carlos masih tertawa. "Tenang aja. Aku akan adil padamu dan keira. Ruby memutar bola matanya. "Aku nggak mikirin itu!" Carlos menatapnya dengan senyum menggoda. "Yakin?" Ruby mendengus, tapi pipinya sedikit memanas. Kenapa cowok ini selalu bisa membuatnya salah tingkah?! Setelah beberapa saat hening, Carlos menghela napas. "Aku serius, Ruby. Aku suka kamu. Aku nggak mungkin nikahin orang kalau nggak ada perasaan. Aku tahu ini bukan situasi yang biasa, tapi aku nggak mau bohong sama kamu, sama Keira, atau sama diriku sendiri." Ruby menatap Carlos, melihat kesungguhan di matanya. Lalu dia teringat Keira—bagaimana wanita itu tampak begitu ramah dan tulus saat mereka berbicara. Keira benar-benar baik. Kalau Keira sendiri bisa menerima ini, kenapa dia masih ragu? Akhirnya, Ruby menarik napas panjang. "Baiklah." Carlos mengernyit. "Baiklah, apa?" Ruby memalingkan wajahnya, malu. "Baiklah, aku setuju. Tapi jangan main-main, Carlos. Kalau kamu mempermainkanku, aku akan pergi." Senyum Carlos melebar. Dia meraih tangan Ruby dan menciumnya lembut. "Aku janji, Ruby. Aku nggak akan main-main." Ruby menatap Carlos dengan perasaan campur aduk. Apa dia baru saja mengambil keputusan paling gila dalam hidupnya?Sukma menatap kosong ke arah meja makan. Tangannya mencengkeram erat surat cerai yang tadi siang ditemukannya di dalam mobil. Langkah kaki terdengar dari arah pintu depan, disusul suara khas Dimitri yang memanggilnya. “Sukma? Kamu sudah pulang?” Sukma mengangkat wajahnya, menatap suaminya yang masih mengenakan jas kerja dengan dasi yang sedikit longgar. Rambutnya sedikit berantakan, entah karena kelelahan atau… karena sesuatu yang lain. Senyum Dimitri muncul saat melihatnya, lalu seperti biasa, dia melangkah ke arahnya, menangkup wajahnya, dan mencium dahinya lembut. Sukma hanya diam. Biasanya, sentuhan ini akan membuatnya luluh. Tapi kali ini, sesuatu di dalam dirinya terasa mati rasa. "Aku lapar," ucap Dimitri santai. "Kamu sudah masak?" Sukma mengangguk pelan, lalu mengambil piring dan mulai menyiapkan makanan. Tangannya bekerja otomatis, tapi pikirannya berantakan. Dimitri duduk di kursi makan, memperhatikannya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu kenapa?"
Sukma sudah tahu. Sejak awal, dia bukan wanita bodoh yang mudah dibohongi. Dia tahu gerak-gerik Dimitri berubah. Dia tahu suaminya sering menghabiskan waktu di luar lebih lama dari biasanya. Dia tahu setiap kali Dimitri pulang dari dinas luar kota, aroma parfumnya bercampur dengan sesuatu yang bukan miliknya. Aroma perempuan lain. Dia tahu, tapi dia diam. Bukan karena dia lemah, tapi karena dia tidak ingin kehilangan Dimitri. Malam itu, Sukma duduk di tepi tempat tidur mereka, memeluk lututnya sendiri. Dimitri sedang mandi, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Tangannya yang kurus meraba laci kecil di nakas. Dengan cepat, dia menarik keluar botol kecil berisi pil-pil yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Obat depresi. Tidak ada yang tahu tentang ini. Bahkan Dimitri. Dia menatap botol itu dengan tatapan kosong, lalu membuka tutupnya dan menumpahkan beberapa butir pil ke telapak tangannya. Tangannya bergetar. Dia menel
Hujan turun pelan di luar jendela rumah sakit, seperti bisikan langit yang menyentuh bumi dengan lembut. Di dalam ruangan bersalin VIP Rumah Sakit St. Rosalie, aroma antiseptik bercampur dengan ketegangan yang nyaris menggantung di udara. Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mencengkeram sprei, tubuh mungilnya gemetar dalam kontraksi yang datang makin sering dan menyakitkan. Rambutnya basah oleh keringat, wajahnya pucat pasi. Perutnya besar—cukup besar untuk ukuran tubuh sekecil itu. Anak kembar. Dua laki-laki. Beratnya ditanggung sendiri, bukan hanya fisik… tapi juga batin. Dimitri berdiri di sisi ranjang, mengenakan pakaian khusus steril yang disiapkan tim medis. Wajahnya yang biasanya tegas dan dingin, kini terlihat panik. Matanya merah, tangannya berkeringat meski suhu ruangan dingin. “Sayang… aku di sini. Aku nggak ke mana-mana.” Suaranya parau, tapi tenang. Tangan besarnya menggenggam tangan Luna yang jauh lebih kecil. Luna mengangguk pelan. Air matanya jatuh tanpa
Sukma duduk membisu di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap. Jalanan ibu kota malam itu sunyi, lampu-lampu kota melintas bagai bintang jatuh yang tak sempat diminta harapan. Di sebelahnya, Zack—bodyguard setianya—mengemudi tanpa banyak bicara. Pria itu tegap, kalem, dan sudah lama menjaga Sukma sejak ia menikah dengan Dimitri. Tapi malam ini, Zack tahu ada sesuatu yang tak biasa dari tuannya. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ekspresi lelah. “Zack,” suara Sukma akhirnya pecah, pelan dan parau. Zack menoleh singkat. “Ya, nyonya?” “Kita langsung ke tempat dokter itu ya. Aku gak yakin bisa tidur malam ini.” “Sudah saya hubungi, nyonya. Dokter Farida siap terima konsultasi malam ini, meski mendadak.” Sukma mengangguk pelan. Tangannya meremas sisi blazer putih yang dikenakannya. Wajahnya cantik, tapi lusuh. Lipstik memudar. Foundation retak di bawah mata. Matanya sembab. Ia belum tidur nyenyak selama hampir seminggu. Semenjak tahu Luna hamil. Bukan dari mulut Dimit
Senja perlahan turun di atas kota. Langit berubah jingga kemerahan, membentang seperti lukisan yang disapukan oleh tangan Tuhan. Di dalam kafe hotel berbintang itu, cahaya temaram dari lampu gantung memantul di meja kaca bundar tempat dua perempuan duduk berhadapan. Sukma, dengan balutan blouse krem dan scarf tipis di leher, tampak anggun seperti biasa. Tapi sorot matanya sayu. Ada lelah yang tak bisa ditutupi bedak, ada hening yang tak bisa disembunyikan dengan senyum. Di depannya, Keira mengaduk teh hangat pelan-pelan. keira dikenal tenang, elegan, dan selalu punya cara halus untuk menyampaikan kebenaran, meskipun kadang pahit. "Maaf ya ngajak mendadak," kata Sukma akhirnya membuka suara. "Aku... cuma butuh ngobrol sama seseorang yang bisa aku percaya." Keira menatapnya penuh perhatian. “Kamu tahu aku selalu di sini, Suk.” Sukma tersenyum hambar. Ia menatap cangkir tehnya, seperti sedang mencari kata-kata yang tercecer di dasar minuman itu. “Akhir-akhir ini Dimitri...
Di rumah pinggiran kota, beberapa jam setelahnya— Dimitri berdiri di dapur Luna. Kaus kaki sebelah masih belum ia pakai, dan rambutnya belum sempat disisir. Di hadapannya: sepiring nasi goreng yang... bisa dibilang, lebih mirip nasi sisa kemarin dicampur garam dan saus cabai seadanya. Bentuknya tak karuan. Bau gosong samar menyeruak. “Maaf ya,” Luna menggaruk kepalanya. “Aku tadi pikir udah mateng... eh pas dibalik malah gosong,trus karena nasinya agak keras jadi aku tambah air dikit. Kamu masih mau makan?” Dimitri menatap piring itu. Ia bisa saja menolak. Ia bisa kembali ke penthouse dan menikmati makan siang lezat buatan Sukma. Tapi... entah kenapa, ia duduk. Dan makan. “Rasanya...”katanya sambil mengunyah pelan. Luna menatap penuh harap. “...kayak muntahan kucing.” “Hah?!” “Tapi... aku suka. Ia tersenyum kecil. “Kamu masak sendiri buat aku. Itu cukup.” Luna terkekeh. “Kamu gila. Kamu ini beneran suka aku atau cuma kasihan?” Dimitri menatapnya lama. Ada sesua